Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Swadesi Menangkal Korupsi

Agama | Wednesday, 24 Aug 2022, 13:41 WIB
Ajaran swadesi Gandhi relevan di Indonesia untuk meningkatkan cinta tanah air dan melawan berbagai ancaman merusak negara dan bangsa.

Mohandas Karamchad Gandhi atau yang lebih dikenal Mahatma Gandhi mengajarkan swadesi yang berarti "menggunakan apa yang dihasilkan oleh negeri sendiri". Sebagai konsep, swadesi mengarah pada "swaraj" yang bermakna self rule yang senjatanya bertumpu pada kekuatan sendiri (self reliance). Konsep ini menjadi relevan bagi Indonesia di tengah berbagai ancaman dan tantangan yang dihadapi. Semangat untuk mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.Itu intinya.

Lalu, apakah ajaran swadesi ini bisa digunakan untuk menangkal korupsi? Ini tentu mengarah pada mental individu. Apakah dia memiliki keyakinan bahwa penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan akan berdampak banyak pada banyak orang? Apakah korupsi akan merusak negaranya? Jika individu memiliki keyakinan seperti itu, maka ajaran Gandhi menemukan relevansinya.

Selain swadesi, Gandhi juga mengajarkan ahimsa, hartal dan satyagraha. Keempat ajaran Gandhi itu dipraktikan ketika India dijajah Inggris. Dan, terbukti India mampu keluar dari ancaman penjajahan hingga saat ini menjadi negara kuat.

Swadesi adalah manifestasi dari cinta tanah air. Semua diproduksi dari, oleh dan untuk kepentingan nasional. Tidak tergantung dan terpengaruh oleh kepentingan asing. Swadesi juga menjadi gerakan boikot produk asing, seperti hasil pangan, bahan baku dan lain sebagainya untuk kemudian mengajak masyarakat menggunakan produk lokal.

Satyagraha berarti kekuatan kebenaran. Maknanya adalah masyarakat senantiasa diajarkan untuk berpihak pada kebenaran meski pahit. Ajaran ini relevan ketika sebuah negara sudah dikooptasi oleh kekuatan kezaliman, keserakahan dan koruptif. Gandhi mengajarkan satyagraha dilakukan dengan penuh kesopanan dan keadaban.

Hartal berarti mogok. Ini menjadi senjata ampuh ketika negara memang sudah benar-benar rusak. Di zamannya, Gandhi menggunakan hartal untuk melawan penjajah Inggris dengan cara menutup toko, menghentikan aktivitas sosial dan mogok massal para pekerja. Sontak, perlawanan mogok ini efektif untuk melawan kekuasaan yang menindas.

Ahimsa berarti tidak membahayakan orang lain. Ajaran ini diadopsi dari ajaran Budha, Hindu serta Janisme yang menjadi aliran keagamaan di India. Ahimsa bermakna persatuan antar sesama tanpa memandang ras, budaya, agama dan identitasnya. Individu yang menghormati orang lain tentu tidak memiliki keinginan untuk membahayakan sesamanya.

Dari empat ajaran Gandhi ini, rakyat Indonesia membutuhkan pegangan yang kuat yang bertumpu pada kemampuan diri sendiri.

Mungkin kita akan menyebut "usang" bila mempromosikan semangat swadesi saat ini. Barangkali kita terkagum-kagum pada paham ekonomi global, paham yang kini tengah melindas kita semua. Barangkali pula kita takjub dengan politik liberal yang justru pada kenyataannya mencerai-beraikan kesatuan kita.

Kita membutuhkan swadesi Indonesia yang kemudian mengalami penyesuaian dengan alam pikir kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Beberapa negara yang menerapkan Swadesi ini salah satunya adalah Korea Selatan dan Jepang. Kedua negara itu tumbuh menjadi negara maju dengan menggunakan prinsip swadesi yang intinya adalah cinta negara sendiri. Begitu pula, sebelumnya, Jepang yang mengimplementasikan swadesi hingga akhirnya bisa keluar dari keterpurukan setelah dibom atom oleh Amerika.

Profesor Harvard, Michael Eugene Porter mengadopsi ajaran swadesi ini dengan teorinya "keunggulan kompetitif". Porter menjadikan swadesi sebagai pijakan untuk bersaing di pasar global dengan sebutan "penguasaan pasar di negara asal."

Kembali pada jati diri bangsa yang sebenarnya adalah solusi yang tidak bisa ditawar lagi. Mari kita kobarkan semangat antikorupsi, semangat Swadesi yang tujuannya adalah menguatkan kembali keutuhan bangsa dan negara kita.(*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image