Dibalik Angka 77, Kepekaan Spiritual, Animal Laboran dan Homo Faber
Agama | 2022-08-20 08:27:10Saya sependapat jika ada pembaca tulisan ini yang menyatakan interpretasi terhadap angka 77 dalam tulisan ini merupakan kirata alias dikira-kira tapi nyata. Interpretasi kirata tersebut adalah jika kita menjumlahkan angka 77 menjadi 7 + 7 = 14, kemudian angka 14 dijadikan nomor surat dalam Al-qur’an, maka kita akan menemukan nomor surat ke-14 adalah surat Ibrahim.
Karena jumlah ayat surat Ibrahim hanya 52 ayat, angka 77 kita ambil satu angka saja, yakni 7 dan kita jadikan nomor ayat, kita akan menemukan surat ke-14 ayat ke-7 yang berbunyi, “(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.”
Dibalik interpretasi kirata terhadap angka 77 tersebut, kita akan menemukan perintah wajib bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Salah satu nikmat tersebut adalah nikmat kemerdekaan. Lalu bagaimana cara mensyukuri nikmat kemerdekaan tersebut?
Kemerdekaan itu identik dengan futuh (kebebasan) seperti halnya futuh Makkah, langkah syukur pertama yang harus dilakukan adalah memperbanyak memuji Allah, bertasbih, dan istighfar. Hal ini seperti Allah perintahkan dalam surat An-Nashr yang turun bekenaan dengan futuh Makkah.
Dengan demikian, langkah syukur pertama dalam mengisi kemerdekaan adalah meningkatkan kepekaan nurani, menyadari bahwa hakikat dari kemerdekaan merupakan rahmat dan karunia Allah. Berkenaan dengan hal ini, kita harus mengakui kecerdasan spiritual para pendiri negara kita yang telah mengakui kemerdekaan negara kita sebagai rahmat dan karunia Allah swt seperti yang disuratkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Langkah syukur selanjutnya adalah berkarya untuk kemajuan bangsa dan negara. Bekerja dan berkarya dengan baik didasari dan disadari sebagai perintah Allah merupakan konsep pembangunan bangsa yang dilakukan para Nabi, salah satunya Nabi Daud a.s.
Allah swt memberi perintah kepada Nabi Daud a.s, keluarga, dan para pembantunya untuk bersyukur kepada Allah melalui karya nyata yang bermanfaat bagi umat dan bangsanya.
“Mereka (para jin) selalu bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan kehendaknya. Di antaranya (membuat) gedung-gedung tinggi, patung-patung, piring-piring (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur. Sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang banyak bersyukur.” (Q. S. Saba : 13).
Untuk keberkahan hidup dalam mengisi kemerdekaan ini sudah selayaknya apabila kita selalu menekankan bekerja dan berkarya secara profetik dan profesional. Secara profetik bermakna kerja dan karya apapun yang kita lakukan harus seperti kerja dan karya para Nabi yang dilandasi kepekaan spiritual, yakni atas ketaatan akan perintah Allah.
Secara professional bermakna bahwa kerja dan karya yang kita lakukan benar-benar berdasarkan keilmuan dan kompetensi yang kita miliki, sungguh-sungguh dalam melaksanakannya. Selain itu, kerja dan karya yang kita lakukan haus memiliki tujuan mulia, yakni bermanfaat bagi perkembangan diri, agama, orang lain, bangsa, dan negara.
Secara filosofis terdapat perbedaan antara bekerja dan berkarya. Hannah Arendt dalam salah satu karyanya The Human Condition (versi ebook, 1998 : 110) membedakan antara bekerja dan berkarya. Bekerja lebih menekankan kepada pemenuhan kebutuhan diri sendiri, belum menyentuh kepada ruang publik atau kebutuhan publik.
Sementara berkarya memiliki derajat lebih tinggi daripada bekerja. Berkarya merupakan wujud dari sosok manusia sebagai homo socius, makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran orang lain, hidup saling membantu satu sama lainnya. Berkarya bermakna pula melipatgandakan kekuatan daya agar hasilnya dapat dirasakan dirinya sendiri dan orang lain.
Jika seseorang baru mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, tidak peduli terhadap kebutuhan orang lain, maka ia baru menjelma sebagai animal laboran (makhluk yang bekerja). Barulah seseorang menjadi manusia seutuhnya apabila ia mampuh merubah dirinya menjadi homo faber (sosok makhuk yang berkarya), yang hasilnya tidak saja bermanfaat bagi dirinya sendiri, tapi juga bermanfaat bagi orang lain.
Dalam konsep ajaran Islam, homo faber merupakan manusia terbaik. Rasulullah saw menyebutkan, manusia terbaik adalah mereka yang mampu memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia lainnya.
“Pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat“ yang dijadikan slogan HUT RI ke-77 akan cepat terwujud bukan hanya menjadi rangkaian kata-kata indah, manakala seluruh komponen bangsa negeri ini mampu bersyukur secara spiritual yang diwujudkan dalam kesungguh-sungguhan dalam bekerja dan berkarya. Kita akan menjadi bangsa besar memiliki marwah di hadapan bangsa lain manakala kita mampu memperlihatkan hasil kerja dan karya kita demi kedamaian, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa kita dan bangsa-bangsa lain di dunia.
Sekarang mari kita merenung sejenak, apakah sampai detik ini, kita masih berada pada level animal laboran atau sudah berada pada level homo faber? Jika pada saat ini kita atau siapapun mengemban tugas sebagai abdi negara, apakah kita telah menjadi abdi negara sebagai animal laboran atau homo faber?
Sebagai warga bangsa atau abdi negara, apakah kita menjadikan segala sesuatu milik negara digunakan untuk kepentingan pribadi dan golongan, atau menjadikan milik pribadi dan golongan digunakan untuk kepentingan dan kemajuan bangsa dan negara?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.