Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Agus Darwanto

Benarkah Lafazh Kami Menunjukkan Allah itu Banyak ?

Agama | Wednesday, 17 Aug 2022, 20:13 WIB

Seiring tersebarnya agama Islam ke berbagai penjuru dunia, kemampuan kaum muslimin dalam penguasaan bahasa Arab untuk memahami Al-Qur’an dan Hadits semakin menurun. Apalagi sejak pemerintahan daulat Bani Abbasiyah yang lebih memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab untuk diangkat menjadi penulis-penulis kerajaan.

Penurunan kemampuan penguasaan bahasa Arab yang fashih dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk menebar benih-benih keraguan dalam upaya melemahkan aqidah kaum muslimin dengan mempermasalahkan penggunaan kata ganti “Kami” oleh Allah ta’ala dalam Al-Qur’an. Mereka menuding bahwa penggunaan kata ganti “Kami” menunjukkan bahwa Allah itu esa tetapi berbilang.

Memang kata ganti “Kami” banyak digunakan untuk menandai pembicara (pihak pertama) berjumlah banyak lebih dari satu. Apalagi setelah dialihbahasakan ke bahasa-bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia. Padahal dalam bahasa Indonesia, kata ganti “kami” juga tidak selalu dimaknai dengan jamak (banyak). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “kami” memang memiliki makna orang yang berbicara bersama dengan orang lain atau orang yang menulis atas nama kelompok. Dalam dalam KBBI Daring, “kami” juga memiliki makna orang yang berbicara meskipun satu (sendirian) tetapi digunakan oleh orang besar, seperti raja; atau orang yang menulis meskipun satu (sendirian) tetapi dapat digunakan oleh penulis (Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 2016). Sehingga dalam bahasa Indonesia, kata ganti “kami” tidak selalu dimaknai sebagai jamak (banyak).

Untuk memahami Al-Qur’an dengan baik dan benar, seharusnya seseorang mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab. Imam Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 911 H) dalam Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an menjelaskan bahwa di antaranya kaidah-kaidah penting yang harus diketahui oleh orang yang ingin menguasai tafsir Al-Qur’an adalah kaidah tentang dhamir atau kata ganti.

Di antaranya adalah kata ganti نَحْنُ (kami) yang di dalam Al-Mu’jam Al-Washith diartikan sebagai kata ganti untuk menyatakan dua orang atau lebih yang memberitakan tentang dirinya sendiri, namun dapat pula digunakan untuk menyatakan satu orang bila menghendaki makna untuk pengagungan. Demikian pula penjelasan Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid dalam At-Tuhfah Ats-Taniyah kata ganti “kami” memiliki makna "banyak", atau bermakna "tunggal" namun dengan maksud untuk membesarkan atau mengagungkan diri.

Banyak bukti yang menyatakan bahwa kata ganti “Kami” untuk lafazh Allah tetap menunjukkan keesaan Allah dengan keesaan yang tidak berbilang. Di antaranya adalah tidak ada kata ganti mukhathab (kamu) atau pun ghaib (pihak ketiga) untuk lafazh Allah yang berbentuk jamak, semuanya pasti berbentuk mufrad (tunggal). Bila diselidiki semua ayat yang menyebutkan kata ganti “Kami” untuk lafzh Allah akan diketahui bahwa maksud penggunaan kata ganti “Kami” tersebut adalah Allah melakukan tindakannya tidak secara langsung namun melalui proses atau utusan para malaikat. Bila Allah melakukan tindakannya secara langsung atau terkait dengan hak-hak prerogatif Allah pasti kata ganti yang digunakan adalah “Aku”. Sebagaimana pembuktian ini jelas terlihat pada iltifat yang dijumpai pada Surat Al-Anbiya’ ayat 25 :

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِىٓ إِلَيْهِ أَنَّهُۥ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدُونِ

Artinya :

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya : "Bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Aku, maka sembahlah oleh kamu sekalian akan Aku !"

Dalam ayat di atas terjadi iltifat, yaitu perubahan penggunaan kata ganti dari “Kami” di awal ayat menjadi “Aku” di akhir ayat. Di antara faedah terjadinya iltifat menurut Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam Ushul fi At-Tafsir adalah mengajak untuk memperhatikan dan merenungkan sebab-sebab terjadi perubahan penggunaan kata ganti karena setiap perubahan gaya berbicara pasti memiliki maksud dan tujuan.

Iltifat dalam Surat Al-Anbiya’ ayat 25 mengandung pengertian bahwa ketika Allah melakukan sesuatu dengan melalui utusan pasti menggunakan kata ganti “Kami”. Seperti ketika Allah menyampaikan wahyu yang disebutkan di awal dan pertengahan ayat, yakni Allah menyampaikan wahyu-Nya melalui pengutusan malaikat Jibril ‘alaihis salam. Namun pada saat Allah Yang melakukan sendiri atau sesuatu itu berkaitan dengan hak-hak prerogatif Allah, pasti digunakan kata ganti “Aku”. Oleh karena itu di akhir ayat digunakan kalimat “tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah melainkan Aku”, bukan kalimat “tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah melainkan Kami” meskipun seirama dengan bunyi kalimat di awal ayat.

Demikian pula dalam sejarah perkembangan aliran-aliran dalam agama Islam, tidak akan dijumpai adanya konsep “esa tapi berbilang”. Semua umat Islam, baik dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah maupun aliran-aliran yang menyimpang daripadanya tidak ada yang menafsirkan keesaan Allah dengan doktrin “Esa tapi berbilang”. Sehingga tuduhan orang-orang yang menyebarkan syubhat Allah itu banyak dengan berdalih pada penggunaan kata ganti “Kami” oleh Allah dalam Al-Qur’an tidak berdasar sama sekali.

Sumber :
Bukti-Bukti Argumentatif Keesaan Allah pada Penggunaan Kata Ganti Kami dalam Al-Qur'an karya Agus Darwanto.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image