Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Koko Wahyudi, S.Kom

Dampak Jangka Panjang Pandemi Covid Terhadap APBN Melalui Reviu Program Pemulihan Ekonomi

Bisnis | Sunday, 14 Aug 2022, 14:55 WIB

Abstrak

Pandemi Covid-19 telah berdampak pada banyak aspek, di antaranya sektor kesehatan, sosial, ekonomi, dan keuangan. Pemerintah telah melakukan langkah mitigasi untuk meminimalkan dampaknya terutama terhadap kesejahteraan rakyat. Program penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi merupakan program yang sangat penting dan dirancang dalam keadaan darurat (kebijakan luar biasa). Di masa pandemi, percepatan pelaksanaan program menjadi sangat penting, namun di sisi lain kita tidak boleh mengabaikan akuntabilitas, transparansi, dan prinsip-prinsip good governance. Pelaksanaan program juga harus memperhatikan tujuan dan capaian agar kualitas program tetap terjaga. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi program PEN, penulis mengkaji kebijakan PEN dengan melakukan analisis kualitatif baik menggunakan data primer maupun data sekunder yang relevan. Hasil reviu menunjukkan beberapa permasalahan/hambatan dalam pelaksanaan program PEN adalah terkait regulasi, hasil, data, koordinasi teknis dan pelaksanaan di lapangan, monitoring dan evaluasi, serta teknologi informasi. Kendala ini saling terkait satu sama lain. Pemerintah telah melakukan pembenahan terutama pada regulasi, data, dan koordinasi. Dalam rangka meningkatkan perekonomian, penulis merekomendasikan untuk dapat dilakukan sinergi bantuan sosial pemerintah- kelompok masyarakat dan juga menggunakan pendekatan proyek green economy melalui SWF. Sedangkan pendekatan komunitas sasaran menjadi alternatif perbaikan data bantuan sosial. Peningkatan kualitas monitoring dan evaluasi melalui optimalisasi informasi yang tersedia secara real-time. Untuk perbaikan teknologi informasi, perlu dilakukan penyediaan konten kredit ke pelaku usaha terutama UMKM. Sementara itu, koordinasi menjadi isu yang berkaitan dengan tata kelola pemerintahan terutama terkait kualitas hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah yang saat ini juga menjadi agenda pembahasan dalam perbaikan regulasi.

PENDAHULUAN

Pandemi Covid-19 telah memberikan efek domino pada aspek sosial, ekonomi, dan keuangan serta memberikan tekanan hebat kepada perekonomian baik dari sisi supply maupun demand di beberapa sektor. Namun, Pemerintah hampir di semua negara telah bergerak cepat dengan mengeluarkan berbagai respon kebijakan, tidak terkecuali Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia menyusun langkah awal melalui Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020, yang kemudian ditetapkan menjadi undang-undang melalui UU 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang, Dengan payung hukum tersebut. selanjutnya dilakukan langkah-langkah cepat dan sistematis yang terintegrasi dalam program- program yang disebut Pemulihan Ekonomi Nasional. Upaya yang begitu masif di berbagai negara tersebut belum mampu menahan daya destruktif Pandemi yang membuat perekonomian global menyusut dan berimbas pada resesi pada 170 negara di dunia. Pertama kali terjadi sejak Great Depression pada 1930-an. Perekonomian domestik Indonesia pun mengalami kontraksi sebesar 2,07 persen. Sementara itu pengangguran mengalami peningkatan cukup signifikan dari 5,23 persen pada tahun 2019 menjadi 7,07 persen pada tahun 2020. Di sisi kesehatan, tercatat angka kumulatif kasus positif Covid-19 sebanyak 743.198pada akhir Desember 2020, dengan angka kematian 22.138 jiwa.

Berdasarkan pantauan data Bloomberg yang tercatat dalam Bloomberg Resilience Score, pada 25 Maret 2021, Indonesia tercatat berada di urutan 42 atau meningkat 6 poin dibandingkan November 2020. Pemulihan ekonomi Indonesia memilki proyeksi cukup bagus, sementara fatality rate yang menjadi kelemahan penanganan Covid-19 pada tahun 2020 berangsur turun.

Desain kebijakan penanganan Covid-19 menjadi bahan evaluasi sekaligus catatan penting bagi pengambil kebijakan dalam situasi volatility, uncertainty, complexity, and uncertainty (VUCA). Beberapa desain kebijakan yang sukses perlu untuk terus dijaga dan jika perlu dioptimalkan. Sementara program yang belum efektif dan efisien, perlu dilakukan evaluasi untuk tetap dilanjutkan, disempurnakan, atau justru dihilangkan. Semakin banyak pihak yang melihat kebijakan publik tersebut dari berbagai perspektif, maka akan semakin paripurna kebijakan tersebut untuk dijalankan. Oleh karena itu, kami memandang perlu menyusun kajian dalam tema yang sangat aktual tersebut sebagai salah satu bentuk reviu atas program PEN yang selama ini dijalankan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka kajian ini ditujukan untuk:

1. Mengidentifikasi dan menginventarisasi performa kinerja sektor kesehatan maupun pemulihan ekonomi nasional.

2. Menyusun rekomendasi perbaikan untuk penatausahaan dan pelaporan sektor kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional ke depan.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis. Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat terhadap sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu (Bambang Sunggono, 2016). Penelitian ini akan mengidentifikasi masalah dan mengambil keputusan (decision making). Sifat dari penelitian ini adalah preskriptif, yaitu konseptualisasi kondisi ideal yang tepat untuk diimplementasikan dalam rangka penguatan peran Kemenkeu dalam mengawal optimalisasi dan efektivitas pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional. Penelitian ini akan mempreskripsi (prescibe) apa saja kendala/permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program PEN dan apa yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi permasalahan tersebut.

Jenis data yang diperlukan dalam kajian iniadalah data primer berasal dari bahan tayangan narasumberdan/ataupress release resmi dari Kementerian Keuangan/pihak terkait lainnya. Sedangkan data sekunder diperoleh dari bahan yang erat kaitannya dengan data primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami data primer, seperti buku, jurnal, kamus, surat kabar harian, majalah, dan lain sebagainya.

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bagian ini bertujuan memberikan gambaran atas penerapan PEN, serta mengidentifikasi dan menginventarisasi berbagai permasalahan dan kendala dalam penatausahaan dan pelaporan PEN, serta menyusun rekomendasi perbaikan untuk penatausahaan dan pelaporan PEN ke depan.

Evaluasi Realisasi PEN 2020

Proses pelaksanaan PEN di Kementerian Keuangan dilakukan dengan beberapa langkah yaitu: (1) Penetapan dasar hukum perubahan APBN dan program PEN. Program diatur dalam PP 23 Tahun 2020 sebagai implementasi Perppu 1 Tahun 2020 yang kemudian ditetapkan menjadi UU 2 Tahun 2020. Selain itu telah dilakukan perubahan Perpres 54 Tahun 2020 menjadi Perpres 72 Tahun 2020 untuk menampung kebutuhan pendanaan program PEN sebesar Rp695,2T, sehingga berdampak pada pelebaran defisit dari 5,07% menjadi 6,34% dari PDB. (2) Konsultasi dengan DPR RI. Perubahan APBN Tahun 2020 yang ditetapkan dalam Perpres 72 Tahun 2020 telah dibahas dan dikoordinasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat RI, yakni Komisi XI dan Badan Anggaran, termasuk kebutuhan anggaran dan kebijakan program PEN. (3) Kerja sama dengan Aparat Penegak Hukum. Telah dilakukan komunikasi dan koordinasi dengan Aparat Penegak Hukum, yakni BPK dan KPK, dengan melibatkan Inspektorat Jenderal K/L, dalam rangka monitoring pelaksanaan PEN. Selanjutnya Direktorat Litbang KPK telah menindaklanjuti dengan membentuk 5 (lima) Satgas untuk memantau perkembangan PEN. (4) Pembentukan Pokja monitoring. Dibentuk dalam rangka monitoring dan update realisasi PEN, mengidentifikasi kendala dan permasalahan, tindak lanjut upaya akselerasi dan efektivitas PEN (debottlenecking), serta analisis dampak program PEN.

Selain adanya fleksibilitas APBN melalui pelebaran defisit APBN menjadi 6,34% dari Produk Domestik Bruto (PDB), pemerintah juga menyusun berbagai kebijakan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) disertai dengan berbagai langkah simultan perluasan stimulus dan penguatan program agar lebih simple dan implementatif, melalui sinergi dengan berbagai elemen bangsa antara lain (1) Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk menjaga stabilitas makro ekonomi dan sektor keuangan, (2) Bank Indonesia, terkait skema burden sharing, (3) Lembaga Pengawas, dalam rangka menjaga akuntabilitas dan memastikan good governance, (4) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang menjadi mitra Pemerintah dalam menformulasikan dan menetapkan kebijakan, dan (5) Masyarakat, dalam rangka masukan perbaikan dan mengawasi pelaksanaan APBN dan program PEN.

Pengambilan kebijakan program PEN dilakukan secara bersama-sama oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dengan berpegang pada prinsip: (1) Asas keadilan sosial dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, (2) Mendukung pelaku usaha yang terdampak pandemi Covid-19, (3) Memperhatikan kaidah-kaidah kebijakan yang prudent serta tata kelola yang baik, transparan, akseleratif, adil, dan akuntabel sesuai ketentuan, (4) Tidak menimbulkan moral hazard, (5) Adanya pembagian biaya dan risiko antara stakeholder sesuai tugas dan kewenangan masing-masing.

Berdasarkan keterangan dari pihak Kementerian Keuangan, beberapa karakter penyerapan program PEN antara lain: (1) Program PEN existing bersifat simpel dan implementatif, dengan penyerapan yang relatif cepat dan optimal. Untuk program PEN existing seperti PKH dan kartu sembako penyerapannya cukup optimal dan didukung data yang memadai serta mekanisme delivery yang telah siap. Selain itu dalam penerapannya tidak terlalu banyak mengubah regulasi dan lebih implementatif, serta proses penganggarannya cukup cepat. (2) Program PEN usulan baru bersifat moderate, dimana penyerapannya butuh waktu namun cukup optimal, dengan menggunakan data valid dan deliveriable. Program baru, didukung data yang valid (by name, by address), infrastruktur delivery tersedia, dan perubahan regulasinya tidak terlalu banyak dan proses penganggarannya dapat dilakukan secara cepat. (3) Untuk program PEN usulan baru yang datanya belum tersedia dan mekanisme delivery-nya belum siap, merupakan sebuah tantangan tersendiri, dimana penyerapannya membutuhkan waktu yang lama dan apabila terserap berpotensi kurang efektif. Hal ini dikarenakan belum didukung adanya data yang valid dan infrastruktur delivery belum tersedia, sehingga diperlukan proses penganggaran dan penambahan dan revisi regulasi yang cukup rumit terlebih dahulu karena berpotensi akan berbenturan dengan berbagai aturan lain yang sudah ada.

Evaluasi Program PEN

Dalam implementasinya, secara umum realisasi program penanganan Covid-19 dan PEN cukup optimal yang mencapai Rp579,8 T atau 83,4% dari pagu total, Selain itu defisit dapat dikendalikan pada level 6,09% dari PDB dan masih terdapat SILPA sebesar Rp234,7 T yang didalamnya termasuk Rp66,75 T untuk dukungan dunia usaha melalui perbankan, serta Rp50,9 T akan di-carry over untuk penanganan kesehatan dan PEN lainnya di tahun 2021.

Secara umum rincian realisasi program PEN, adalah sebagai berikut:

a. Kesehatan,

Realisasi sementara sebesar Rp63,51 T, tidak termasuk Silpa earmark Rp47,07 T untuk program vaksinasi 2021, yang diperuntukkan untuk insentif nakes serta belanja intervensi penanganan Covid-19 (sarpras, biaya klaim, dan vaksin). Pada tahun 2020, Pemerintah telah mencanangkan untuk program vaksinasi yang dilaksanakan pada awal tahun 2021. Pengadaan vaksin yang harus berpacu dengan waktu, membuat alokasi dana pun harus tersedia untuk mengamankan proses tersebut. Oleh karena itu, sisa dana dari realisasi sementara diprioritaskan untuk pengadaan vaksin yang telah didatangkan mulai akhir 2020 untuk dilakukan uji klinis sebelum digunakan di tahun 2021. Hal ini berdampak pada kecepatan vaksinasi Indonesia pada tahun 2021 mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan data https://ourworldindata.org tanggal 9 April 2021, tercatat bahwa Indonesia berada di peringkat 8 negara yang telah memberikan vaksin dengan angka 14,07 juta dosis.

b. Perlindungan sosial,

Realisasi sebesar Rp220,39 T, yang bertujuan untuk menekan laju peningkatan kemiskinan dan kesenjangan, dengan target untuk KPM pada DTKS, pekerja terdampak, serta peserta dan tenaga didik. Hasil survei pelaksanaan PEN kluster perlindungan sosial menunjukkan bahwa (1) Cakupan perlindungan sosial semakin luas dan targeting semakin membaik (Indonesia High-frequency monitoring of Covid-19 Impact Round 3 & 4, World Bank), yang dibuktikan hampir semua RT di kelompok 40% masyarakat berpenghasilan terendah menerima setidaknya satu bantuan. Memang isu exclusion dan inclusion error masih ada, tetapi terdapat perbaikan data bottom up. Persentase RT yang menerima bantuan sosial meningkat menjadi 73% pada November 2020, yang sebelumnya hanya 55% pada Mei 2020.

Selain itu, penyaluran berbagai bantuan meningkatkan inklusi keuangan, baik rekening bank atau rekening ponsel (Pemantauan PKH, Kartu Sembako dan BST oleh Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Sosial Nontunai), yang dibuktikan dengan adanya tambahan rekening dalam penyaluran program Kartu Pra Kerja, bansos tunai, dan bantuan subsidi upah (pekerja maupun guru honorer). Program kartu pra kerja juga meningkatkan kompetensi dan dapat membantu memenuhi kebutuhan hidup (Hasil survei evaluasi I Kartu Pra Kerja, PMO Kartu Pra Kerja), yang dibuktikan dengan lebih dari 85% menyatakan mendapatkan peningkatan kompetensi dan insentif bermanfaat untuk membeli kebutuhan pokok (96% peserta menggunakan insentif untuk membeli kebutuhan pokok). Sementara itu, diskon listrik dapat dimanfaatkan masyarakat yang memenuhi kriteria (Survei program stimulus keringanan tagihan listrik, TNP2K), yang dibuktikan dengan pelanggan pasca bayar secara otomatis mendapatkan keringanan. Sedangkan bagi pelanggan prabayar, walaupun tidak secara otomatis mendapatkan keringanan, namun 94% dari pelanggan prabayar yang disurvei, menyatakan dapat mengakses program keringanan tagihan listrik. Untuk Bantuan kuota internet, telah membantu proses pembelajaran jarak jauh sekaligus meringankan beban ekonomi (Survei nasional persepsi publik bantuan kuota internet, Arus Survei Indonesia), yang dibuktikan dengan 85% responden menilai bantuan kuota internet dianggap meringankan beban ekonomi dan 83% merasa terbantu dalam proses belajar mengajar.

c. Sektoral K/L dan Pemda,

Realisasi sebesar Rp66,59 T, yang bertujuan untuk memberikan dukungan kepada Pemda dan K/L dalam proses pemulihan ekonomi, termasuk di antaranya dukungan untuk pariwisata, padat karya K/L, DID pemulihan, DAK fisik, dan food estate.

d. Dukungan UMKM,

Realisasi sebesar Rp112,44 T, yang bertujuan untuk menopang permodalan dan cashflow UMKM agar tetap survive dan dapat melakukan jump start pada masa pemulihan ekonomi. Dukungan UMKM ini tidak termasuk Silpa earmark sebesar Rp3,87 T yang diperuntukan untuk dukungan dunia usaha.

Berdasarkan hasil survei beberapa lembaga, secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Survei Evaluasi penempatan dana PEN, dengan responden 3000 UMKM yang mendapat penyaluran dana PEN terbesar, menyatakan bahwa intervensi PEN membuat mayoritas responden dapat bertahan (tidak mengalami penurunan omzet dan keuntungan), bahkan 29% responden mengalami peningkatan omzet, 26% mengalami peningkatan keuntungan. Penggunaan bantuan paling utama di antaranya 30% untuk bahan baku, 28% barang modal, dan 13% untuk kebutuhan pribadi dan keluarga. Sementara itu, survei Kementerian Koperasi dan UKM dan TNP2K, dengan responden kuantitatif 1261 usaha mikro dan 93 sumber lainnya, menjelaskan bahwa Mayoritas responden (69%) telah mengetahui adanya program dan sosialisasi telah berjalan dengan baik. Lebih dari 60% penerima BPUM tidak memiliki cadangan kas lebih dari 10 hari, sehingga dapat dikatakan bahwa BPUM sudah tepat sebagai cash buffer. Penggunaan BPUM 88,5% di antaranya untuk bahan baku, 23,4% untuk alat produksi, dan 22,8% untuk konsumsi.

Sementara itu, survei BKF, DJPB, dan ITB, dengan responden berjumlah 211 yang tersebar di 27 Kabupaten/Kota se-Propinsi Jawa Barat menjelaskan bahwa Program BPUM dapat membantu memperkuat modal kerja dan konsumsi rumah tangga. Meskipun masih terdapat adverse selection pada BPUM (inclusion error 12%) dan penggunaan dana bukan untuk kegiatan usaha cukup tinggi, yakni sejumlah 42%.

e. Pembiayaan korporasi,

Realisasi sebesar Rp60,73 T, yang bertujuan untuk memberikan dukungan kepada korporasi melalui BUMN dan penjaminan kredit modal kerja, serta PMN untuk 6 BUMN dan 2 lembaga (LPEI dan LPI/INA) serta pinjaman untuk 5 BUMN dalam rangka PEN yang telah direalisasikan pada akhir Desember 2020.

f. Insentif usaha,

Realisasi sementara sebesar Rp56,12 T, yang bertujuan untuk memberikan insentif perpajakan guna menjaga keberlangsungan dunia usaha serta daya beli masyarakat (PPh 21 DTP). Insentif fiskal ini diberikan dalam rangka memberikan pengaruh kepada keberlangsungan usaha Wajib Pajak, namun tidak termasuk yang dicatat dalam realisasi PEN penerimaan perpajakan Rp64,49 T.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Ditjen Pajak, Pemanfaatan Insentif Pajak Tahun 2020 telah dimanfaatkan oleh Wajib Pajak dengan porsi Wajib Pajak pada sektor perdagangan (47%), industri pengolahan (19%), dan konstruksi (7%). Hasil survei juga mengungkapkan bahwa pemanfaat insentif PPh Pasal 21 DTP melakukan karyawan lebih sedikit dibandingkan dengan bukan pemanfaat. Demikian juga dengan pemanfaat PPh Pasal 25, Pasal 22 Impor, dan restitusi PPN mengalami penurunan omset, penjualan lokal, dan pembelian lokal yang lebih landai dibandingkan dengan bukan pemanfaat

Identifikasi permasalahan program PEN

Dalam mengidentifikasi permasalahan atas sektor dalam PEN dapat diidentifikasi dalam kelompok regulasi, anggaran, data, koordinasi antar stakeholder dan teknis pelaksanaan di lapangan. monitoring dan evaluasi, dan teknologi informasi. Untuk melihat masalah tersebut dapat dilihat berdasarkan topik permasalahan sebagai berikut:

a. Regulasi dan Anggaran

Permasalahan regulasi terletak pada sektor bantuan sosial di tingkat Desa atau melalui Dana Desa dan BLT Desa. Permasalahan tersebut diantaranya Pemda belum menetapkan Perkada tentang rincian dana desa per desa dan surat kuasa pemindahbukuan dari RKUD ke RKD. Bupati dijabat oleh Plh. yang juga menjabat sebagai Plt. Sekda, serta adanya transisi pergantian Bupati/Walikota. Selain itu, terdapat Desa yang belum menetapkan Peraturan Desa (Perdes) mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dan/atau perubahan APBDes, karena (1) Desa masih dalam proses penyusunan APBDes, (2) Desa kurang memahami jenis kegiatan penanganan Covid-19 yang akan didanai dengan earmarked Dana Desa sebesar 8%, (3) Desa sedang melakukan Perubahan APBDes dengan adanya refocusing penggunaan Dana Desa untuk penanganan Covid-19, dan (4) Penetapan Perdes APBDes terlambat karena adanya konflik dalam Musyawarah Desa (Musdes).

Selain itu, masalah data juga berimbas pada regulasi di tingkat Desa sehingga Desa belum menetapkan Peraturan Kepala Desa (Perkades) tentang Keluarga Penerima Manfaat (KPM) BLT Desa karena (1) Desa menunggu perbaikan dan sinkronisasi DTKS, (2) Jumlah KPM penerima BLT Desa bertambah karena Bansos Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak ada, sehingga dana desa tidak cukup, dan (3) Tambahan jumlah KPM penerima BLT akibat penduduk miskin lebih memilih BLT Desa dibandingkan Bansos Pusat, dll.

Hal lain adalah lambannya proses perubahan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) tentang Penjabaran APBD dan Revisi DIPA guna menampung anggaran insentif Nakes melalui insentif tambahan, sehingga berdampak pada lambannya proses pelaksanaan program yang didanai di sektor kesehatan. Permasalahan ini juga memiliki ketersinggungan dengan koordinasi antar subsektor pemerintah.

b. Data

Permasalahan data lebih banyak ditemukan di program perlindungan sosial. Berdasarkan identifikasi, persoalan terbesar dalam perlindungan sosial adalah pengunaan DTKS dengan pendekatan proxy mean test yang memiliki karakteristik perhitungan dengan target konsumsi permanen. Hal ini berakibat apabila krisis terjadi dan pendapatan penduduk yang mampu justru berubah (turun), maka masih belum akan menjadi salah satu kriteria untuk masuk dalam daftar. Selain itu, data DTKS bersifat statis sehingga perubahan hanya bersifat tahunan, bukan secara harian/bulanan yang bersifat dinamis.

Berdasarkan jenis pengeluaran yang memperoleh yakni pada Program PKH, masih ada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) PKH yang tidak mendapatkan bansos sembako dan kategori PKH yang diterima hanya mendapatkan bantuan tidak lebih dari Rp300.000,- (tiga ratus ribu per bulan). Sementara itu, pada program Bantuan Sembako, masih terdapat data penerima sembako yang tidak valid, sehingga target 20 juta KPM tidak tercapai. Kendala jugaterdapat pada Bansos Jabodetabek, dimana data penerima bantuan tidak akurat dan kesulitan dalam pemutakhiran data penerima. Kendala data ini juga terdapat pada Bansos non- Jabodetabek, Saat pelaksanaan penyaluran BST dijumpai adanya perubahan data, data yang tidak valid, KPM telah meninggal dunia, pindah domisili, telah menerima bantuan lain sehingga tidak termasuk kriteria penerima BST, dan alamat tidak lengkap. Dari BLT Dana Desa, masih terdapat beberapa permasalahan program bansos PEN, antara lain tingkat akurasi yang masih rendah, kurangnya pemutakhiran data sektoral dan tidak terintegrasinya data, terbatasnya kepemilikan data dan akses dokumen kependudukan masyarakat miskin/rentan, lemahnya komunikasi dan koordinasi kedaruratan, serta lemahnya sosialisasi dan edukasi bagi penerima bansos yang belum optimal.

c. Koordinasi dan Pelaksanaan Teknis

Kendala koordinasi dan pelaksanaan teknis terjadi hampir di semua sektor. Pada sektor kesehatan, tidak maksimalnya koordinasi teknis terjadi di tingkat Satker khususnya antara faskes di daerah (RSUD, Puskesmas, Labkesda) dengan Dinas Kesehatan Pemda. Di sektor perlindungan sosial beberapa program juga mengalami kurangnya koordinasi dan kendala teknis, misalnya PKH. Berdasarkan hasil survei dari DJPB pada bulan April 2020, masih ada kebingungan dari masyarakat penerima PKH terkait perubahan penyaluran PKH yang semula triwulanan menjadi bulanan. Masyarakat merasa bantuan PKH yang diterima menjadi lebih kecil karena kurangnya sosialisasi dari Kementerian Sosial, khususnya Dinas Sosial dan Tenaga Kerja pendamping terkait perubahan penyaluran dan kenaikan indeks bantuan PKH. Kendala pada program bantuan sembako, diantaranya penyaluran sembako di 27 Kabupaten di Papua dan 8 Kabupaten di Papua Barat mengalami kendala karena kondisi geografis dan infrastruktur telekomunikasi sehingga penyaluran sembako harus dilakukan melalui mekanisme khusus, yaitu secara tunai melalui pengiriman oleh pos penyalur serta masih adanya kartu sembako/Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang tidak terdistribusi. Untuk bantuan sosial (bansos) Jabodetabek, masih terjadi keterlambatan pengajuan SPM Bansos paket sembako Jabodetabek karena pergantian pejabat perbendaharaan. Sedangkan untuk bantuan sosial (bansos) non-Jabodetabek, kendala yang dialami antara lain perangkat daerah/desa menolak/menunda penyaluran untuk menghindari protes dari masyarakat, karena ada banyak masyarakat yang seharusnya berhak menerima bantuan tidak menerima BST. Selain itu, adanya beberapa daerah yang kondisi geografisnya masih sulit dijangkau terutama di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Untuk Kartu Pra Kerja, terdapat kendala terkait kualitas dari pelatihan dan lembaga pelatihan yang dipertanyakan keefektifannya.

Pada program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa, masih terdapat beberapa permasalahan program bansos PEN, antara lain tingkat akurasi yang masih rendah, kurangnya pemutakhiran data sektoral dan tidak terintegrasinya data, terbatasnya kepemilikan data dan akses dokumen kependudukan masyarakat miskin/rentan, jumlah KPM penerima BLT Desa bertambah karena tidak adanya bansos dari Provinsi dan Kabupaten/Kota sehingga dana desa tidak mencukupi, tambahan jumlah KPM penerima BLT akibat penduduk miskin lebih memilih BLT Desa daripada bansos Pusat, lemahnya komunikasi dan koordinasi kedaruratan, serta lemahnya sosialisasi dan edukasi bagi penerima bansos yang belum optimal. Kendala pada UMKM, antara lain masih adanya adverse selection pada BPUM (inclusion error 12%) dan penggunaan dana yang bukan ditujukan untuk kegiatan usaha cukup tinggi, yakni sejumlah 42%.

d. Monitoring dan Evaluasi Serta Pelaporan Implementasi

Dalam melaksanakan monitoring dan evaluasi, terlalu luasnya rentang kendali unit Kemenkeu pelaksana program PEN, seperti DJPB atau DJPK menjadi kendala. Jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki tidak sebanding dengan luasnya cakupan program PEN, baik dari sisi besaran nominal, sebaran geografis, maupun banyaknya varian kegiatan yang dilakukan ditambah dengan terbatasnya alokasi waktu pelaksanaan monev membuat proses monev (pengawasan, pemberian konsultasi, dan pembinaan) menjadi kurang optimal. Selain itu, K/L tidak memiliki gambaran secara lengkap pelaksanaan program PEN secara bottom up dari seluruh Satker dibawahnya karena jumlah Satker yang cukup banyak dan tersebar di berbagai daerah.

Dari sisi waktu, periode evaluasi pelaksanaan anggaran PEN dianggap kurang mencukupi apabila dibandingkan dengan jumlah seluruh K/L dan/atau Satker yang akan dievaluasi. Sementara itu, dari sisi teknis pelaporan, sebagian pelaporan PEN masih dilakukan secara manual dimana data PEN harus dilakukan penarikan data terlebih dahulu, dianalisis, dicari output-nya yang sejenis, baru digabungkan menjadi satu bagian laporan secara utuh untuk kemudian disampaikan kepada Pokja PEN.

e. Teknologi Informasi

Teknologi informasi menjadi andalan dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan negara di saat Pandemi. Namun demikian, berdasarkan hasil evaluasi masih terdapat kendala ketersediaan jangkauan jaringan internet di beberapa daerah. Berdasarkan data dari BPS wilayah di Papua dan Maluku masih mengalami kendala ketersediaan jangkauan jaringan internet, atau kurang lebih 10% (sepuluh persen) dari seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, pergerakan berbagai program PEN yang cukup dinamis, menyulitkan peran mapping sebagai backbone aplikasi. Hal ini juga disebabkan karena pembagian Pagu alokasi anggaran menjadi DIPA, non-DIPA, dan belum menjadi DIPA. Untuk pagu tanpa DIPA tidak ada mapping dan informasi untuk hal tersebut DJPB belum sepenuhnya memahami. Kendala juga terdapat pada portal terkait Covid-19 yang semestinya menjadi sarana untuk menyampaikan informasi secara komprehensif. Namun demikian, masih terdapat beberapa hal krusial yang belum tersedia untuk masyarakat.

Strategi Keberlanjutan/Perbaikan Program

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis mencoba menyusun rekomendasi berdasarkan atas berbagai rujukan yang relevan dengan klasifikasi topik permasalahan sebagai berikut:

a. Regulasi dan Anggaran

Dalam buku panduan yang dikeluarkan oleh World Bank terkait proses teknis pelaksanaan keuangan negara dalam menghadapi Covid-19 (Smithers et al. 2020), diperlukan fleksibilitas yang tinggi dalam proses pengaturan teknis keuangan negara. Secara ringkas proses bisnis atas pelaksanaan keuangan negara pada masa Covid-19, yaitu (1) Menerapkan instruksi berdasarkan aturan kondisi darurat, (2) Memprioritaskan proses pembayaran berdasarkan respon berjenjang untuk segera ditindaklanjuti, (3) Melakukan reviu atas manajemen kas sehingga memudahkan konsolidasi atas sumber dana, dan (4) Menerima dokumen digital sebagai salah satu bukti pembayaran jika terjadi ketidakjelasan dalam pembayaran.

Pengaturan tersebut telah tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.05/2020 tentang Mekanisme Pelaksanaan Anggaran Belanja atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Dalam Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019. Selanjutnya, Pemerintah dan DPR RI telah memberikan ruang yang memadai dalam fleksibilitas anggaran, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28 UU 9 Tahun 2O2O tentang APBN 2021 yang menyatakan bahwa: (1) Dalam hal perkiraan realisasi penerimaan negara tidak sesuai dengan target dan/atau adanya perkiraan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya dan/atau pengeluaran melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN Tahun Anggaran 2O21, Pemerintah dapat melakukan:

a. penggunaan dana SAL;

b. penarikan pinjaman tunai;

c. penambahan penerbitan SBN;

d. pemanfaatan saldo kas BLU; dan/atau

e. penyesuaian Belanja Negara.”

Dalam penjelasan pasal dimaksud disebutkan juga “Yang dimaksud dengan penyesuaian Belanja Negara adalah melakukan pengutamaan penggunaan anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), realokasi anggaran, pemotongan anggaran Belanja Negara, dan/atau pergeseran anggaran antarprogram dalam 1 (satu) Bagian Anggaran”.

Melalui pengaturan dimaksud, Pemerintah memiliki ruang untuk secara cepat dan tepat dalam mengambil kebijakan anggaran dalam rangka penanganan dampak pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Pada saat artikel ini disusun, Pemerintah sudah mulai melakukan kebijakan refocusing serta kembali melakukan penghematan belanja guna memberikan dukungan penanganan pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Adapun beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam perbaikan penganggaran, adalah sebagai berikut

1) Integrasi bantuan sosial

Bantuan sosial di Indonesia sangat bervariasi, bahkan jika ditambah dengan anggaran di luar APBN dapat dikatakan jumlahnya sangatlah besar. Data World Giving Index Tahun 2018, yang disusun oleh Lembaga survey berintegritas tinggi, yaitu Gallup World Poll, menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara paling dermawan di dunia. Namun demikian, Indonesia masih memiliki persoalan integrasi penganggaran perlindungan sosial, terutama APBN dan di luar APBN.

Upaya perbaikan melalui APBN, antara lain perlu adanya pengaturan yang lebih jelas tanpa mengurangi tugas dan kewenangan antar instansi yang berwenang. Hal ini dikarenakan belum ada aturan yang secara utuh mengatur tentang bantuan/jaminan sosial terutama yang terintegrasi. Walaupun tanggung jawab kesejahteraan sosial berada di tangan Pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (Pasal 24 UU nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial), namun kewenangan Pemerintah masih terbatas pada dana yang bersumber dari APBN maupun asuransi jaminan sosial.

Apabila berkaca pada sistem negara lain, misalnya sistem jaminan di Selandia Baru, sistem jaminan sosial terdiri dari sistem asistensi tunjangan utama/main benefit assistance system, sistem asistensi kesusahan/hardship assistance system, dan sistem asistensi tunjangan tambahan/supplementary benefit assistance system (Rudy M. Harahap). Artinya Pemerintah memiliki mekanisme khusus apabila terjadi kondisi ekonomi yang melemah. Hal ini juga memberikan ruang bagi Pemerintah untuk mengalokasikan sumber daya baik dalam APBN maupun di luar APBN dalam melakukan intervensi.

Perbaikan fundamental kesejahteraan sosial melalui perubahan regulasi terutama undang-undang akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Namun demikian Pemerintah dapat menggunakan fungsi koordinasi dalam menyusun peraturan teknis dengan membuatkesepakatan dengan mitra di luar pemerintah seperti perwakilan kelompok agama, PMI, maupun lembaga sosial lainnya, misalnya antara Pemerintah Daerah dan Baznas terkait distribusi zakat yang menggunakan panduan peta kemiskinan baik yang disediakan oleh Pemerintah maupun yang disediakan oleh lembaga swadaya masyarakat seperti The SMERU Research Institute. Dengan demikian, zakat dapat memiliki tingkat akurasi sasaran yang lebih tinggi dan lebih luas serta bersinergi dengan bantuan sosial lainnya.

2) Pendanaan proyek berbasis green economy

Pada April 2020, beberapa pakar ekonomi membuat survei untuk mengetahui perspektif tentang paket pemulihan fiskal Covid-19. Mereka adalah Cameron Hepburn, Brian O’Callaghan, Nicholas Stern, Joseph Stiglitz, dan Dimitri Zenghelis. Survei dilakukan terhadap 231 pejabat kementerian keuangan dunia, pejabat bank sentral, dan ekonom lain, mewakili 53 negara termasuk seluruh negara G20 (Hepburn et al. 2020). Hasil survei atas 25 jenis kebijakan yang telah ditempuh oleh negara responden digambarkan pada bagan di bawah ini.

Kuadran kanan atas menandakan kecenderungan kebijakan yang dinilai memiliki visi jangka panjang dan berdampak multiplier tinggi, sedangkan kuadran kiri bawah menandakan sebaliknya. Artinya pola kebijakan pada pengeluaran yakni Y (litbang sanitasi), T (investasi infrastruktur energi bersih), X (litbang umum), S (investasi infrastruktur konektivitas), L (pengeluaran pendidikan), M (pengeluaran kesehatan), dan N (pelatihan pekerja). Jenis-jenis pengeluaran ini memiliki keterkaitan sangat erat dengan Indonesia Investment Authority (INA) yang termuat dalam Pasal 154 UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Skema tersebut memang membidik infrastruktur yang memiliki dampak tinggi dan berumur panjang. Beberapa kebijakan green economy seperti yang ditunjukkan pada Y dan T, merupakan sebuah terobosan yang dapat digarap di tingkat urban untuk menjadi solusi atas masalah di perkotaan. Perubahan pola kerja dan konsumsi akan menjadi sinergi yang kuat untuk memantapkan pembangunan proyek tersebut. Kombinasi ini akan semakin lengkap dengan investasi infrastruktur konektivitas untuk mempercepat dan menurunkan biaya logistik. Artinya dengan optimalisasi SWF mampu menggerakkan pemulihan ekonomi secara cepat dan memiliki umur yang panjang.

b. Data

Salah satu tantangan utama implementasi program PEN, khususnya program perlindungan sosial adalah data. Badan Kebijakan Fiskal (Kacaribu 2020) memberikan alternatif usulan perbaikan diantaranya: (1) Memperbaharui sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial dan pendekatan target komunitas. Perbaikan DTKS dapat dilakukan melalui updating data terpadu Kementerian Sosial (DTKS) secara regular agar dapat memberikan gambaran terkait penduduk yang telah keluar dan baru masuk maupun menyempurnakan dengan data-data lain yang relevan terutama dalam kondisi krisis. (2) Membuka registrasi terutama untuk program-program perlindungan sosial yang baru.

Untuk perbaikan database DTKS, Pemerintah dapat menempuh langkah-langkah sebagai berikut (Direktorat Jenderal Anggaran: 2021): (1) Melakukan pembenahan data, melalui penyatuan 4 pulau data (DTKS, PKH, BPNT, BST) yang sebelumnya dikelola secara terpisah, saat ini telah digabungkan menjadi New DTKS per 1 April 2021. Kemensos juga telah menegakkan kriteria data melalui pemadanan dengan data Dukcapil. (2) Melakukan pembenahan proses. Kemensos telah melakukan pembenahan dengan penggunaan data New DTKS untuk semua Bansos, periodisasi bulanan penetapan DTKS, melakukan validasi NIK ke Dukcapil, dan rekonsiliasi hasil penyaluran ke New DTKS. (3) Melakukan peningkatan inklusi dan akuntabilitas. Per 1 Juni 2021, Kemensos membuka informasi publik melalui web cek bansos (dan mobile app), menampung usulan individu, melakukan verifikasi yang diperkuat dengan proses QA, membuka kesempatan untuk sanggahan atas kelayakan penerima bansos, serta membuka akses pemantauan progress penyaluran bansos oleh Penerima Manfaat.

Saat ini Kemensos terus melakukan perbaikan data, verifikasi dan validasi daerah, serta pemadanan dengan data Dukcapil sehingga pada bulan April 2021 telah berhasil dilakukan perbaikan data sebesar 14.413.307 data. Saat penetapan New DTKS pada 30 April 2021, padanan data dengan dukcapil telah mencapai 100.662.702 data. Di samping itu, Kemensos juga memberikan akses DTKS kepada BPKP Bersama APIP sebagai bagian dari pengawasan JPS dengan basis data DTKS, dan melibatkan Perguruan tinggi sebagai Quality Assurance usulan DTKS, serta membuka akses ke publik (RT/RW, Pemkab/Pemkot dan Masyarakat) sebagai bagian dari transparansi.

Sementara itu, untuk menghindari terjadinya inclusion error, perlu adanya integrasi data antara bantuan sosial dengan data perpajakan yang sudah terkonsolidasi dengan NIK. Hal ini untuk dapat mengetahui apakah penerima manfaat sudah tidak tergolong masyarakat tidak mampu dengan menerima gaji secara layak dari perusahaan.

Alternatif solusi selanjutnya adalah melalui pendekatan target komunitas, yaitu memberikan sejumlah bantuan tetap pada masing-masing komunitas (misalnya berdasarkan tingkat kemiskinan), dan memberikan kewenangan bagi institusi komunitas lokal untuk mengidentifikasi siapa yang layak menjadi penerima manfaat. Manfaat yang diperoleh dari program tersebut, antara lain mengurangi exclusion error dan mampu mendeteksi masyarakat yang baru terdampak, serta memudahkan adaptasi dengan pemahaman lokal tentang definisi dan level kemiskinan. Berdasarkan studi empiris (Alatas et al. 2012), daftar penerima manfaat lebih sesuai jika didasarkan pada pemahaman lokal tentang kemiskinan, dengan tingkat kepuasan komunitas yang jauh lebih tinggi. Namun demikian, perlu diperhatikan pula sisi mekanisme pertanggungjawabannya agar permasalahan akuntabilitas tidak muncul di kemudian hari.

c. Koordinasi dan Pelaksanaan Teknis

Di masa Pandemi, Pemerintah pusat memiliki peran sangat vital baik dalam rangka melakukan koordinasi maupun menyusun kapasitas perencanaan dan pendanaan. Peran Pemerintah pusat juga dapat dilihat sebagai sarana komunikasi yang paling efektif untuk menyampaikan kebijakan secara luas (OECD 2020). Hal tersebut didukung kemampuan negara untuk menyediakan dan mengelola informasi yang terpercaya. Kebijakan tersebut juga didukung dengan upaya transparansi sehingga meningkatkan kepercayaan publik, yang pada akhirnya diharapkan mampu memperbaiki sistem yang ada, serta berguna dalam memperkuat ketahanan nasional.

KCPPEN merupakan sebuah lembaga khusus yang dibentuk untuk bergerak secara cepat dengan unsur-unsur yang mewakili koordinasi pusat dan daerah. Koordinasi tersebut terlihat jelas dengan telah dilakukan penandatanganan Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan tentang percepatan penyesuaian anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun 2020 dalam rangka penangananan Covid-19 serta pengamanan daya beli masyarakat dan perekonomian nasional. Dalam ketentuan tersebut, terdapat sanksi tegas bagi pemda yang tidak mengalokasikan pendanaan terkait Covid-19.

Masa Pandemi ini juga digunakan sebagai langkah transformasi ekonomi menuju Indonesia Maju. Setelah diundangkannya UU Cipta Kerja, Indonesia masih memiliki beberapa tantangan (Hidayat, M. Firman 2019) diantaranya (1) Tanggung jawab kelembagaan yang tumpang tindih, (2) Tata kelola publik dan koordinasi yang masih lemah terutama di daerah, dan (c) Inkonsistensi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu, Pemerintah berupaya memperbaiki kualitas hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam Prolegnas tahun 2021, juga telah tercantum perubahan RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang memuat perbaikan tata kelola keuangan yang baru dalam hubungan pemerintah pusat dan daerah. Perbaikan tersebut terutama untuk mengatasi ketimpangan fiskal dan juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

d. Monitoring dan Evaluasi

Pada masa pandemic Covid-19, strategi monitoring dan evaluasi yang efektif menjadi hal yang sangat krusial di tengah keterbatasan mobilitas dan biaya operasional. Dalam hal ini, perlunya bagi para pihak-pihak yang menjalankan monitoring dan evaluasi untuk senantiasa mengambil kebijakan yang akan berdampak lebih panjang seperti pemulihan modal dan posisi likuiditas lembaga keuangan dibanding masalah administrasi belaka. Oleh karena itu, diperlukan panduan jelas bagi pelaksana teknis di level bawah terkait masalah yang perlu diproses lebih lanjut. Dalam hal ini kolaborasi menjadi hal sangat penting. Tentu saja hal tersebut perlu mendapatkan dukungan sistem manajemen informasi yang kuat (Pancorbo, Rozumek, and Seal 2020). Dengan cakupan wilayah Indonesia yang sangat luas, pelaksanaan monitoring dan evaluasi perlu melibatkan APIP K/L di daerah-daerah bahkan PPPK yang tersebar di berbagai wilayah terpencil Indonesia.

Untuk meminimalisir urusan yang berkaitan dengan administrasi, Kemenkeu perlu memastikan bahwa seluruh K/L, Pemda dan pihak-pihak pelaksana terkait lainnya telah membuat ketentuan pelaksanaan program PEN dan prosedur administrasi yang modern dan sederhana, serta melakukan langkah-langkah inovatif agar program PEN dapat diimplementasikan dengan baik di lapangan. Selain menggunakan informasi realisasi dari K/L atau Pemda. Penggunaan informasi yang tersedia secara luas dalam menggambarkan leading indicator juga memudahkan untuk fokus dalam kualitas pelaksanaan seperti (1) Tracking GDP growth in real time OECD, COVID-19, (2) Community Mobility Reports, Google, (3) Data simpanan dana pemerintah dari Bank Indonesia, (4) Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) dari Bank Indonesia, (5) Kinerja pertumbuhan ekonomi sektoral per daerah dari BPS, (6) Data- data lainnya, seperti penjualan mobil, produksi perumahan, serta penjualan semen.

e. Teknologi Informasi

Pemerintah Indonesia dalam satu dekade ini telah membangun tata kelola keuangan berbasis teknologi informasi. Hal ini sangat berguna bagi proses perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan keuangan di masa Pandemi. Mulai dari proses DIPA yang telah menggunakan aplikasi RKA K/L dan Sakti, proses pelaksanaan dan pelaporan yang didukung oleh SPAN, serta proses penerimaan yang didukung oleh Modul Penerimaan Negara (MPN). Selain itu, sosialisasi SDM yang cukup merata telah mendukung proses pelaksanaan PEN di salah satu negara yang memiliki jumlah pulau terbanyak di dunia ini.

Salah satu kendala penerapan teknologi informasi di Indonesia adalah ketersediaan dan kecepatan jaringan internet. Indonesia tercatat berada di urutan 57 dalam rangking inclusive internet index yang dipublikasikan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU). Hal ini menjadi kendala dalam menjalankan strategi digital sebagai salah satu solusi ampuh dalam penanganan Covid-19 (Una, G., H. v dkk: 2020).

Dari sisi transparansi, Pemerintah telah menyediakan portal khusus terkait penanganan Covid-19 dan PEN yakni https://covid19.go.id/. Beberapa persoalan terkait identifikasi masalah di atas, lebih berhubungan dengan sistematika anggaran dan juga keterbatasan internet. Portal tersebut juga terhubung dengan K/L dan Pemda yang akan melayani pertanyaan terkait kebijakan Covid-19. Namun demikian, perlu dilakukan beberapa perbaikan terutama penambahan informasi dukungan non fiskal (Wendling et al. 2020). Sebagaimana yang dilakukan oleh Australia dan Perancis yang memberikan penjelasan secara transparan terkait program, persyaratan yang harus dipenuhi, serta penjelasan yang memadai dalam urusan kredit pembiayaan pada portal data terkait Covid-19. Hal ini memberikan kejelasan informasi bagi pelaku usaha untuk dapat melakukan pengurusan kredit yang berguna bagi kelangsungan usaha. Hal ini perlu menjadi fokus perhatian pemerintah, mengingat UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, belum banyak yang mengoptimalkan penggunaan kredit usaha, padahal di sisi lain UMKM merupakan sektor paling banyak dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia.

SIMPULAN

Pemerintah telah mengupayakan penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional berdasarkan langkah extraordinary dengan tetap memperhatikan ketentuan yang berlaku. Secara umum implementasi program PEN dapat berjalan lancar. Beberapa serapan anggaran yang rendah langsung dilakukan evaluasi, untuk kemudian dilakukan refocusing ke prioritas anggaran yang lebih urgent seperti penyediaan vaksin pada anggaran kesehatan. Kendala atas program PEN dapat diidentifikasi sebagai berikut regulasi dan anggaran, data, koordinasi dan teknis lapangan, monitoring dan evaluasi, serta teknologi informasi. Beberapa kendala tersebut banyak yang memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya.

Kendala regulasi dan anggaran terdapat pada pola fleksibilitas regulasi di daerah serta pertimbangan antara konsolidasi fiskal dan prioritas anggaran, Dari sisi data, penyempurnaan data untuk bantuan sosial yang masih harus terus di-update. Di sisi koordinasi, isu tata kelola terutama di daerah yang telah menjadi tantangan sebelum pandemi. Sementara itu, di bidang monitoring dan evaluasi terdapat kendala dari sisi pembatasan sosial dan operasional sebagai dampak penghematan anggaran. Kendala lainnya terkait teknologi informasi yakni adanya keterbatasan jangkauan dan kecepatan internet.

Penulis menyadari bahwa banyak keterbatasan dalam kajian ini yang hanya bersumber pada rujukan pustaka semata. Cakupan program PEN yang sangat beragam juga menjadi kendala penulis, dalam mengungkap permasalahan secara lebih mendalam dan komprehensif. Meskipun demikian, rujukan yang diambil memiliki tingkat validitas tinggi dan teraktual yang masih relevan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image