Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Desi Nur Cahyasari

NIK Resmi Jadi NPWP, Seberapa Berisiko?

Info Terkini | Thursday, 11 Aug 2022, 09:47 WIB

Sebagian masyarakat memahami bahwa pajak wajib dibayar demi masa depan pembangunan sarana umum seperti jalan tol, rumah sakit, sekolah, dan fasilitas layanan umum lainnya. Namun sebagiannya lagi memahami bahwa pajak adalah bagian dari pemalakan negara kepada rakyat. Di satu sisi masyarakat percaya bahwa janji pajak akan mensejahterakan kehidupan mereka. Namun di sisi lain fakta yang diterima tidak kunjung sesuai harapan.

-

NIK Jadi NPWP

-

Tergambar beberapa waktu lalu, sempat viral tagar #stopbayarpajak menyadarkan betapa semakin berat beban rakyat akan aneka ragamnya aturan wajib pajak. Kabar terbaru pemerintah resmi menjadikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Proses pengguna NIK akan ditransisi menjadi NPWP hingga 2023, dan akan diberlakukan secara total pada 1 Januari 2024. (ekonomi.bisnis.com)

Perihal inilah yang menjadi tanda tanya besar dalam pandangan masyarakat apakah setiap individu akan wajib bayar pajak. Masyarakat jadi gaduh dengan keputusan terbaru ini. Pasalnya masyarakat semakin paham bahwa pajak adalah sumber utama pemasukan negara selain utang ke luar negeri. Hingga pemerintah begitu kencang menarik pajak pada rakyatnya.

-

Respon Pemerintah

-

Memang pihak pemerintah menjawab bahwa nantinya setiap orang tidak otomatis menjadi wajib pajak dan tidak harus membayar pajak. Namun sayang, jeritan masyarakat perihal kebijakan baru ini bukannya ditanggapi dengan baik malah pemerintah akan menerapkan aturan yang terkesan mengancam. Aturan yang memastikan tidak ada yang bisa lolos dari jeratan pajak. Sebagaimana disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Partai Garuda Bapak Teddy Gusnaidi berikut.

“Sebenarnya tidak perlu Sri Mulyani melakukan reaksi yang berlebihan terhadap pihak yang menyerukan boikot bayar pajak, dengan meminta mereka untuk tidak tinggal di Indonesia. Karena yang menyerukan bisa dipidana, yang tidak membayar pajak ada sanksi pidana juga.” (detik.com)

-

Bahan Intropeksi

-

Selain itu Bu Sri Mulyani menganggap bahwa rakyat yang tidak membayar pajak berarti tidak cinta terhadap negeri. Tidak mendukung kemajuan bangsa. Padahal jika kita bandingkan dengan pejabat yang korupsi, apakah mereka bisa dikatakan sebagai pecinta dan pendukung kemajuan negara? Tentu saja, perihal seruan boikot pajak bukan soal cinta atau benci. Namun bentuk kepedulian masyarakat dalam menilai kepercayaan pada pemerintahan yang kian lama kian meluntur. Justru seharusnya pemerintahan lebih peka menerima seruan sebagai bahan renungan. Memperbaiki sistem yang merugikan banyak pihak tetapi menguntungkan segelintir orang saja.

Memang pengelolaan pajak hari ini lahir dari sistem ekonomi kapitalisme dan politik demokrasi. Dalam kapitalisme pajak adalah sumber utama kas negara. Pajak akan semakin digenjot saat anggaran negara mengalami defisit. Defisit terjadi disebabkan utang yang meninggi, namun di sisi lain ada salah tata kelola sumber daya alam.

Seharusnya, hasil SDA yang dikelola dengan baik dapat memenuhi bahkan menutupi kas negara. Akan tetapi, pemerintah Indonesia mengikuti pola ekonomi kapitalis. Yaitu menyerahkan kepengurusan pengelolaan SDA kepada swasta dan asing yang memiliki modal besar. Selain itu keberadaan politik demokrasi yang berasas pada materi hanya menjadikan kekuasaan sebagai alat permainan oligarki dan korporasi.

Pengelolaan seperti inilah yang mengakibatkan pemerintah tidak tegas mengambil sikap pada pengusaha yang bolos bayar pajak namun tajam terhadap opini masyarakat yang ingin terbebas dari bayar pajak. Betapa jelas gambaran ini menunjukkan sikap pemerintah yang pro kapitalis sekuler, bukan pemberi kesejahteraan pada rakyat. Kepengurusan atau pelayanan pemerintah tidak terfokus pada keamanan dan kehidupan yang layak bagi masyarakat.

-

Pajak dalam Islam

-

Sebaliknya dalam kacamata kapitalisme. Islam yang merupakan sistem kehidupan juga, mengajarkan pengelolaan ekonomi berdasarkan keadilan demi kesejahteraan umat. Sehingga pajak bukanlah satu-satunya sumber utama dalam kas negara. Memang dharibah atau pajak dalam Islam itu ada. Namun mekanisme penarikannya berbeda dengan kapitalisme.

Jika dalam kapitalisme pajak itu wajib dan sifatnya mengikat. Maka berbeda dengan Islam yang menjadikan dharibah itu bersifat temporal. Yaitu saat kas negara kosong sementara membutuhkan dana segera mungkin. Diwajibkan membayar dharibah bagi orang yang kaya. Sehingga tidak dibebankan pada seluruh rakyat apalagi yang miskin.

Jika dalam sistem kapitalisme SDA bebas dikelola asing dan swasta. Sebaliknya dalam sistem pemerintahan Islam, hanya pemerintah yang berhak mengelola SDA yang ada. Berlaku aturan keharaman atau larangan bagi asing atau swasta untuk menguasainya.

Selain itu dalam urusan penggunaan dana. Pemerintah Islam akan terfokus pada pembangunan yang benar-benar dibutuhkan oleh umat. Sehingga anggaran dana akan lebih tertata untuk kepentingan umat saja. Tidak seperti pemerintah kapitalisme yang membangun infrastruktur hanya untuk kepentingan korporasi.

Begitulah sebagian cara tata kelola dalam sistem pemerintahan Islam. Baitul mal yang dikenal sebagai kas negara dalam pemerintahan Islam. Akan terisi lebih banyak dari hasil pengelolaan SDA dan penempatan anggaran negara dikelola dengan tujuan kepentingan bersama.

-

Hikmah

-

Demikian ketika tagar #stopbayarpajak begitu ramai diperbincangkan. Sedikit banyak membuat masyarakat mulai menyadari akan adanya ketidak nyamanan dari tata kelola dalam negeri ini. Sehingga sudah saatnya tagar tersebut juga disandingkan dengan tagar #stopkapitalisme. Sebab akar persoalan yang bermunculan berawal dari pengelolaan pada sistem ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image