Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Humas FH UMSurabaya

Refleksi Dua Tahun Permenkominfo Nomor 5/2020 Tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat

Politik | Sunday, 07 Aug 2022, 06:16 WIB

Pada era yang serba digital seperti saat ini, aktivitas di dunia internet sudah menjadi konsumsi wajib setiap harinya. Bahkan tak jarang orang yang satu dengan yang lainnya lebih dominan menggunakan akses internet untuk menjalin komunikasi daripada bertemu secara langsung. Kondisi tersebut menyebabkan menjamurnya platform media sosial, seperti: facebook, Instagram, Twitter, Whatsapp dan lain sebagainya bahkan sampai dengan game online. Mengutip Laporan terbaru dari agensi marketing We Are Social dan platform manajemen media sosial Hootsuite yang berjudul Digital 2021: The Latest Insights into The State of Digital menjelaskan bahwa lebih dari 50% penduduk Indonesia menjadi pengguna media sosial aktif (nataconnexindo.com, 2021). Artinya bahwa, rata-rata penduduk Indonesia menjadikan sosial media sebagai jalan alternatif untuk menjalin komunikasi satu sama lain.

Akibat dari banyaknya penduduk Indonesia yang menggunakan sosial media tersebut, kemudian pemerintah mencoba membuat regulasi guna mengontrol aktifitas yang dilakukan di internet. Salah satu regulasi yang mengandung banyak kontroversial adalah Permenkominfo Nomor 5/2020, dimana peraturan tersebut sampai menyentuh hak pribadi yang notabenenya merupakan hak mutlak tiap individu sebagai makhluk sosial. Akibatnya banyak platform harus mendaftarkan diri di Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), hingga pada saat yang sama platform yang tidak terdaftar harus mengalami pemblokiran.

Ragam Kasus Pelanggaran Hak-Hak Digital Pasca Diterbitkannya Permenkominfo Nomor 5/2020

Berdasarkan laporan pemantauan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) setidaknya 18 kejadian gangguan jaringan Internet dengan beragam alasan, diantaranya ada sejumlah gangguan jaringan Internet karena alasan teknis, seperti di Gayo Leus (Aceh) dan Adonara dan Kupang (Nusa Tenggara Timur). Gangguan teknis di Adonara pada Januari 2022 dan Jakarta pada Februari 2022 terjadi karena kabel bawah laut yang terganggu. Gangguan koneksi Internet dengan alasan serupa terjadi juga di beberapa lokasi, seperti Jayapura (Papua) dan Kepulauan Sitaro (Sulawesi Utara), gangguan lain yang sejenis yakni akses Internet di Papua yang terjadi karena alasan politik. Hal ini terjadi pada awal Maret 2022 ketika delapan karyawan PT Palapa Timur Telematika ditembak mati oleh kelompok kriminal bersenjata. Termasuk diputusnya akses internet di Desa Wadas (SAFEnet,2022). Jika melihat data diatas dapat disimpulkan bahwa pemerintah terlalu memproteksi kebebasan berekspresi di dunia internet sangatlah represif dan melanggar HAM. Padahal sebagai negara demokrasi Indonesia harusnya lebih menjamin Hak Asasi Manusia sebagai representasi dari amanat dari Konstitusi, bukan justrus sebaliknya.

Selain kasus diatas baru baru ini, juga terdapat kasus pemblokiran platform game online yang dianggap tidak terdaftar dalam PSE, padahal keadaan yang serba digital ini harusnya di dukung oleh pemerintah dalam membangun kreativitas generasi bangsa kedepan.

Tepatkah Hak Asasi Manusia Diatur dalam Lingkup Permen?

Mengutip pernyataan dari salah satu narasumber diskusi publik yang berjudul “Setahun Permenkominfo Nomor 5/2020 dan Pelanggaran Hak-Hak Digital” secara hirerarki perundang-undangan, Peraturan menteri tidak disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Tapi jika melihat lebih jauh dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 yang berbunyi :

Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Dari bunyi pasal tersebut diatas walaupun secara eksplisit jenis peraturan perundang-undangan berupa “Peraturan Menteri” tidak disebutkan secara detai dan jelas, namun frasa “ peraturan yang ditetapkan oleh Menteri ”, menunjukan keberadaan peraturan menteri sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang diakui.

Akan tetapi secara legitimasi, kurang tepat apabila HAM diatur dalam lingkup Peraturan Menteri, sehingga dapat disimpulkan Permen ini cacat formil. Walaupun secara teori, pembentukan peraturan menteri dibentuk dari kewenangan delegasi. Artinya, peraturan menteri hanya dapat dibentuk apabila mendapatkan pelimpahan kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Menilik dari respon masyarakat terhadap pemblokiran beberapa Platform yang ada serta substansi yang berpotensial untuk melanggar HAM, nampaknya perlu dikaji ulang Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 dengan partisipasi publik dan keterlibatan aktor-aktor PSE yang saat ini belum mendaftar ke Kemenkominfo.

Selain isinya tidak berpihak kepada kebebasan berekspresi, Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 juga bertentangan dengan akses privasi yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE yang melarang: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun.”

Berdasarkan asas perundang-undangan Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 ini juga melanggar asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, yang peraturan yang kebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi.

Lebih jauh tidak seharusnya HAM yang lingkupnya privat diatur oleh produk hukum peraturan menteri, karena jika ingin mengatur terkait HAM harusnya di level UU. Jadi, harusnya Permenkominfo No. 5 Tahun 2020 ini di revisi sehingga muatannya tidak lagi bertentangan dengan peraturan atau UU diatasnya, disamping revisi, juga harus melibatkan partisipasi public guna mendorong peraturan yang pro terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagai bentuk amanat dari UUD 1945.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image