Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Novita Aulia Rahmah

Inferiority Complex dan Krisis Jati Diri: Benang Merah Polemik Kebudayaan

Sastra | Saturday, 06 Aug 2022, 13:03 WIB
sumber foto: kutukata.id

Polemik Kebudayaan – sebuah peristiwa yang menggemparkan dunia kesusastraan Indonesia era 30-an. Peristiwa yang berawal dari tulisan seorang pelopor era Pujangga Baru, Sutan Takdir Alisjahbana itu telah menjalar dan melebar hingga menjadi isu yang serius. Alisjahbana melalui Pujangga Baru mengemukakan ide pembaharuan bangsa: Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru. Gagasan tersebut tentu saja menimbulkan reaksi yang beragam, terutama para sastrawan. Reaksi-reaksi yang menentang diantaranya disampaikan oleh golongan tua, Dr.Soetomo dan Ki Hajar Dewantoro. Polemik tersebut terjadi secara bertahap dan berangsur menjadi bola api yang panas. Tercatat, terdapat tiga tahap polemik. Tahap pertama terjadi dalam Pujangga Baru Bintang Timur dan Suara Umum pada Agustus hingga September 1935. Tokoh-tokoh yang terlibat, antara lain Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Poerbatjaraka. Tahap kedua terjadi pada Oktober 1935 hingga April 1936 dengan tokoh Alisjahbana, Dr.Sutomo, Tjindarbumi, M.Amir, Adinegoro, dan Ki Hajar Dewantara. Polemik tahap ini dimuat dalam Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli, dan Wasita. Tahap ketiga dimuat dalam Pujangga Baru dan Pewarta Deli pada Juni 1939 antara Alisjahbana dan Dr.M.Amir. Pemikiran yang dipertentangkan dan diperjuangkan dalam ketiga tahap polemik tersebut adalah bagaimana seorang Alisjahbana begitu menyanjung budaya barat dan bagaimana golongan tua (kelompok kontra) ingin mempertahankan jati diri bangsa apa adanya (tradisional). Jika kita telaah dengan kacamata poskol, Polemik Kebudayaan sejatinya adalah bentuk inferiority complex dan krisis jati diri yang dibalut oleh kepentingan kelompok.

Benang pertama, inferiority complex Sutan Takdir Alisjahbana sebagai kelompok yang menggagas pembaharuan kebudayan. Pemikiran-pemikiran Alisjahbana tak dapat dipungkiri selalu mengkiblat barat. Ia menganggap bahwa barat adalah sumber keilmuan – bangsa yang maju – yang baru. Ia bercita-cita menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang maju seperti barat. Oleh karena itu, dibutuhkan perubahan-perubahan yang diawali dengan pembaharuan kebudayaan. Ia perlu menegaskan kembali apa itu Indonesia, menetapkan batas-batas yang jelas. Dalam Polemik dua, melalui Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli, dan Wasita, Sutan Takdir Alisjahbana mengemukakan “Semboyan yang Tegas: Kritik terhadap Beberapa Prasaran Kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia”. Ia berkesempatan menyampaikan pandangan dan keagungan dunia barat yang berperan penting dalam kehidupan saat itu. Bangsa baratlah yang memicu lahirnya golongan intelektual, golongan yang mempunyai kepentingan pribadi, berjuang untuk dirinya dan kepentingan bangsanya, serta vokal menyuarakan apa suara hati. Ia menentang segala bentuk kekhawatiran dan kecemasan akan dampak barat seperti individualisme, egoisme hingga materialisme. Menurutnya, hal yang semestinya dikhawatirkan adalah ikatan-ikatan dan sekat-sekat lama yang membatasi masyarakat untuk maju. Sikap dan tindakan Alisjahbana yang terlalu mengagungkan bangsa barat merupakan bentuk inferiority complex bangsa terjajah. Bangsa terjajah menganggap bangsa penjajah sebagai kelompok superior (unggul, mulia, berkualitas), sedang dirinya adalah kelompok inferior (pinggiran). Bentuk-bentuk penjajahan tak hanya berdampak pada kehidupan sosial ekonomi saja, tetapi juga merasuk ke alam bawah sadar yang sukar untuk dilepaskan. Dijajah sekian lamanya membuat bangsa kehilangan jati dirinya dan menganggap sesuatu yang memiliki kekuatan dianggap selalu benar atau mutlak kebenarannya. Hal tersebut mengakibatkan bangsa terjajah mengakui dan membenarkan keberadaanya sebagai kelompok inferior, kelompok sosial yang lebih rendah. Bentuk kekhawatiran dan kecemasan Alisjahbana mengenai konvensi-konvensi lama bangsanya menunjukkan bahwa ia adalah kelompok inferior yang merendahkan asalnya hingga muncul keinginan untuk mengalami dan menikmati kejayaan kelompok superior, yaitu bangsa barat.

Benang kedua, krisis jati diri. Krisis jati diri ini diperlihatkan oleh golongan tua yang menentang konsep pembaharuan kebudayaan Alisjahbana. Golongan tua bertekad untuk mempertahankan jati diri bangsa apa adanya (tradisional). Padahal, saat itu Indonesia telah dan masih dijajah oleh bangsa lain selama beratus-ratus tahun. Bagaimana bisa identitas dan jati diri bangsa adalah benar-benar bersumber dari dirinya sendiri setelah sekian lama berdampingan bahkan hidup di bawah bayang-bayang bangsa lain? apakah jati diri bangsa yang dipertahankan adalah benar- benar jati diri bangsa tanpa pengaruh bangsa penjajah? Sungguh miris – krisis di dalam krisis. Sistem pemerintahan, pendidikan, ekonomi hingga tatanan sosial faktanya tak ada yang benar- benar bersih dari tangan penjajah. Pengaruh-pengaruh tersebut pun melahirkan hegemoni kultural yang hingga kini masih dapat dirasakan.

Inferiority complex dan krisis jati diri dalam Polemik Kebudayaan menunjukkan bahwa tak ada kebenaran yang bernilai mutlak. Inferiority complex tak dibenarkan adanya. Sikap merendah dan mengagungkan yang lain adalah orientasi terhadap kemunduran, bukan kemajuan. Bahkan hal tersebut dapat menimbulkan neokolonialisme, bentuk penjajahan baru yang menyelinap di balik “kehidupan yang baru, maju dan modern”. Tak selamanya kelompok yang dianggap unggul akan selalu unggul, dan sebaliknya. Pengagungan dan orientasi yang terlalu mengkiblat bangsa barat dapat memicu ketergantungan dan ketidakmandirian dalam segala aspek kehidupan berbangsa. Kita perlu melihat lebih luas dan mendalam untuk menyadari potensi-potensi bangsa yang selama ini tersisihkan. Kemudian, krisis jati diri sampai kapan pun akan menjadi isu yang diperdebatkan. Kehidupan sangatlah dinamis. Batas-batas yang jelas untuk mempertegas dan menuntut pengakuan jati diri dan identitas pun kian sulit dilakukan, terutama oleh bangsa terjajah yang telah memperoleh hegemoni kultural penjajah. Pada akhirnya, kita akan dihadapkan pada kenyataan bahwa kehidupan adalah sesuatu yang terhubung, yang saling mempengaruhi, dan yang sejajar satu sama lain.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image