Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Komunitas Ujung Pena

Aturan Berhijab Bagi Muslimah di Sekolah, Benarkah Bentuk Pemaksaan?

Sekolah | Tuesday, 02 Aug 2022, 04:54 WIB

Oleh: Siti Subaidah ( Ummu Bahri)

"Esensi dari ilmu adalah untuk mengetahui apa itu ibadah dan ketaatan." - Imam Ghazali

Ilmu merupakan hal yang paling dasar yang harus dimiliki oleh seorang manusia. Tanpanya akan sulit bagi manusia untuk bisa menjalani kehidupannya. Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang menjadi salah satu tempat bagi mereka, para pencari ilmu. Darinya lah diharapkan akan muncul generasi-generasi bertaqwa yang dapat memberikan sumbangsihnya kepada peradaban dunia. Namun bagaimana jika dalam kenyataannya banyak masalah yang tidak berkesesuaian antara para pencari ilmu dan lembaga pendidikan itu sendiri?

Siti Subaidah ( Ummu Bahri)

Dilansir dari detik.com, Seorang siswi kelas 10 di SMAN 1 Banguntapan mengaku dipaksa berhijab oleh guru BK di sekolah tersebut. Akibat pemaksaan itu, siswi tersebut depresi dan sampai saat ini mengurung diri. Untuk menelusuri kasus ini, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan DIY, Budhi Masturi berencana akan melakukan pemanggilan terhadap dua guru BK, wali kelas dan guru agama. Jika nantinya terbukti ada pelanggaran atau pemaksaan agar mengenakan hijab maka akan diterapkan pasal tentang perundungan. Hal ini sebagaimana dijelaskan bahwa sekolah negeri bukanlah sekolah Islam. Selain itu sekolah harus mencerminkan kebinekaan dan tidak boleh mengarah pada agama tertentu. Buntut kasus ini, Budhi Masturi mendesak Disdikpora DIY mengevaluasi layanan pendidikan di seluruh SMA Negeri guna mencegah kasus ini agar tidak terulang lagi.

Paradigma Berfikir yang Salah

Dalam melihat permasalahan ini, tentu tak bisa kita lihat dari luar dengan framing bahwa sekolah memaksa siswa untuk berhijab. Karena kata “pemaksaan” terhadap siswa yang notabene adalah seorang muslimah tentu bukanlah hal yang tepat. Apalagi dikatakan sebagai bentuk perundungan.

Setiap muslim tak ada yang tidak memahami tentang kewajiban untuk menutup aurat, termasuk dalam perkara hijab bagi muslimah. Perintah menutup aurat merupakan kewajiban yang Allah turunkan langsung kepada setiap muslim. Ini tidak bisa dianggap sebagai pengekangan terhadap hak seorang perempuan. Namun sebagai bentuk syariah Islam dalam memuliakan dan menjaga perempuan yang akan sangat mungkin mengalami pelecehan ketika meninggalkannya. Bahkan ini menjadi konsekuensi keimanan yang memang wajib dimiliki oleh seorang muslimah sebagai wujud dari ketaqwaannya.

Narasi “pemaksaan dan pengekangan” menjadikan kasus ini seolah mencerminkan ketidakadilan. Ini sama halnya dengan mengatakan bahwa Allahlah yang tidak adil karena perintah menutup aurat berasal dariNya. Pantaskah kita sebagai seorang hamba menggugat hukum tersebut?

Justru adalah menjadi sebuah kewajiban bagi kita sesama muslim untuk mengajarkan nilai-nilai Islam kepada generasi. Sekolah hanya menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan dengan tujuan yang sama. Bahkan beban yang dipikul oleh sekolah dalam mendidik generasi saat ini jauh lebih berat dengan massifnya budaya liberal yang menghanguskan nilai-nilai Islam dan budaya ketimuran Indonesia.

Tentu harus segera diluruskan paradigma berfikir yang salah ini. Bayangkan jika generasi sekarang mengganggap bahwa aturan agama menjadi bentuk pengekangan terhadap haknya dan menjadikan standar gaya hidup barat yakni kebebasan sebagai acuan hidupnya. Maka besar kemungkinan generasi yang dihasilkan adalah generasi minim akhlak dengan gaya hidup hedonis, individualis dan materialistik. Mirisnya, hal ini sedang terjadi dan kita hanya diam atas nama kebebasan.

Mencari Akar Masalah

Adanya paradigma berfikir tersebut tentu bukan muncul dengan sendirinya, ada sebab musababnya. Ialah sekularisme, sebuah pemahaman yang menitikberatkan segala bentuk pemisahan aturan agama dari kehidupan. Paham ini menjadikan agama hanya sebagai pengatur ibadah saja namun tidak dengan kehidupan. Manusialah yang berhak mengatur kehidupan. Manusia dengan potensi akalnya yang terbatas dan penuh hawa nafsu membuat aturan bagi dirinya. Aturan yang jelas tidak akan bisa adil karena aturan yang dibuat pasti berdasarkan kepentingannya. Bukan standar halal dan haram.

Atas dasar inilah muncul pula ide kebebasan yang akhirnya banyak melahirkan aturan-aturan cacat yang membuat tatanan masyarakat menjadi rusak. Termasuk dalam aturan berpakaian untuk muslimah. Atas nama kebebasan kewajiban menutup aurat dianggap pengekangan terhadap hak perempuan bahkan masuk ke ranah pidana ketika melanggar hak tersebut.

Hal ini tentu sangat berbahaya jika dibiarkan. Paradigma ini akan sangat rentan di salah gunakan. Menjadi sebuah dalih untuk membuat kaum muslimin tidak terikat dengan aturan Islam. Menjauhkan generasi dari ketaqwaan dan berakhir dalam jurang kemaksiatan. Semakin eksisnya perilaku LGBT, hilangnya adab murid terhadap gurunya, pergaulan bebas, kenakalan remaja, dan kriminalitas lainnya adalah buntut dari masuknya paham sekularisme di tengah-tengah kita.

Ini menjadi PR bersama yang harus diselesaikan. Apalagi generasi kita yang menjadi sasarannya. Padahal ditangan merekalah nasib negeri ini dipertaruhkan. Dari merekalah pilar peradaban akan didirikan. Masihkah kita berpangku tangan melihat gelombang kehancuran generasi?. Maka sudah saatnya kita buang pemahaman sekuler dan kembali pada aturan yang maha adil yakni syariat Islam. Aturan yang tidak mungkin salah karena berasal dari Sang Pencipta, yang Maha Mengetahui segala kelebihan dan kekurangan makhluknya

Mari belajar dari kisah kaum Samud, kaum Aad, dan bangsa-bangsa besar lainnya yang harus kehilangan kejayaannya disebabkan mereka membiarkan bibit kemaksiatan terus tumbuh. Naudzubillah min dzalik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image