Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Insiden Berulang: Kacau Karena Terburu-buru

Edukasi | Thursday, 21 Jul 2022, 17:39 WIB
Sumber gambar: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/para-penumpang-ka-kaligung-mendapatkan-sosialisasi-tentang-virus-cirona_200305113157-694.jpg

Kebiasaan lambat, lemot, leda-lede, klemar-klemer, mungkin saja tidak disukai kebanyakan orang. Namun hal ini juga tidak serta merta membuat kita membenarkan sikap yang sebaliknya: terburu-buru, tergesa, kesusu, grasa grusu, dan sekawannya. Ojo kesusu!, begitu kata orang Jawa. Karena ketergesaan biasanya mengundang kekacauan.

Berbeda dengan kebiasaan lemot, lambat dan sehabitatnya yang sering dianggap sebagai kebiasaan -bahkan kadang untuk sebagian orang dianggap watak -, perilaku terburu-buru, ketergesaan, mungkin hampir setiap orang pernah mengalami. Tak peduli tipe apakah Anda; seorang yang cermatkah, penuh kehati-hatian, atau tipe manusia dengan bakat analitik yang overdosis pertimbangan seperti saya, nyatanya tidak satu dua kali saja kita pernah berhadapan dengan pengalaman tergesa-gesa, terburu-buru. Dan kecenderungannya selalu serupa, ada saja ekses kekacauan yang harus ditanggung karena ketergesaan ini. Insiden semacam ini bukankah sering berulang kita alami?

***

Tulisan ini saya buat di Stasiun Pekalongan, Kamis (21/07/2022) sekitar pukul 13/30. Waktu tersebut kurang lebih satu jam setelah saya melewatkan jadwal keberangkatan kereta api Kamandaka Tujuan Tegal. Saya sampai di stasiun 12 menitan sebelum jadwal keberangkatan kereta pukul 12.26. Tentu saja lebih dari cukup, KA Kamandaka bahkan belum tampak batang gerbongnya. Tetapi ini memang di luar kebiasaan saya yang terbiasa tiba di stasiun paling telat 25 menit sebelum jadwal keberangkatan. Jadi untuk ukuran kebiasaan, saya yang bertolak dari rumah pukul 11.55 terbilang terlambat. Bahkan saya baru menyiapkan bekal pakaian dan lainnya kurang lebih 10 menit sebelumnya.

Mungkin karena pikiran terlanjur menyimpulkannya terlambat, maka suasana batin pun sedikit tak stabil, ketenangan terganggu. Sejurus berikutnya, kesimpulan pikiran-hati ini lantas mendorong saraf motorik, sehingga segalanya menjadi lebih terburu-buru. Sepanjang jalan menuju stasiun, di belakang abang ojol, ketidaktenangan ini sedikit mengusik, saya mereka-reka; apa ya yang kurang? Tapi sampai tiba di stasiun tetap saja nihil hasil. Sebelum ke petugas boarding pass, saya memilih masuk ke bilik ATM yang jaraknya sekian langkahan. Maksud hati menguras saldo sampai tuntas, eh di depan mesin ATM malah bingung mencari dompet. Dua tas pun saya aduk-aduk dengan resah dan gelisah, tetapi dompet kulit KW dengan warna krem yang sudah lusuh itu tak juga ditemukan rimbanya. Akhirnya keluar bilik ATM dengan dada yang berkontraksi, detak jantung lebih cepat, napas sedikit tersengal. Baru ingat, dompet tertinggal di jok motor.

Kalau sudah begini, bukan saja gagal ambil uang, tiket kereta pun auto dibumihanguskan. Kalaupun meminta istri mengantarkan dompet ke stasiun, toh waktunya pasti tak cukup. Lima menit lagi KA Kamandaka meluncur, tetapi saya memilih duduk di kursi tunggu samping pintu boarding pass: menghayati pilu! Pada akhirnya, saya pesan tiket KA Kaligung via aplikasi KAI untuk jam keberangkatan pukul 15.06. Baru setelahnya meminta istri mengantarkan dompet. Dan suasananya pun terbayangkan, bagaimana rasanya lebih dari dua jam ke depan clingak-clinguk di stasiun. Sendirian! Akhirnya timbang gabut, ya nulis saja lah. Yok bisa yok.

***

Ya begitulah, ketergesaan selalu berpeluang mengundang kekacauan. Sekecil apapun itu, nyatanya tetap tidak mengenakkan. Gara-gara kesusu, saya kehilangan uang karena tiket hangus. Karena terburu-buru, saya juga kehilangan waktu kurang lebih 2,5 jam. Dari pengalaman ini, saya menemukan dua hal. Pertama, entah bagaimana mekanisme otak bekerja, tetapi setiap kali kita bertindak terburu-buru, maka ada saja insiden yang terjadi. Mungkin sikap tergesa-gesa cenderung menurunkan kepekaan, kita menjadi kurang berhati-hati.

Mungkin semisal tragedi kecelakaan lalu lintas di ruas tol Cipali saat awal dioperasikan. Bagian dari tol Trans Jawa yang sangat membantu mempersingkat perjalanan darat. Tetapi karena baru dibuka, maka ada euforia pengguna jalan untuk menjajal ruas tol sepanjang lebih dari 100 km ini. Lantas, dengan kualitas konstruksi badan jalan yang baru dan mulus, terlebih karena bermaterialkan aspal hotmix (bukan beton), sehingga pengguna jalan semakin terlena, ingin menginjak gas sedalam mungkin. Semakin cepat kendaraan melaju, bukankah semakin sulit pula dikendalikan. Sementara belum tentu fisik pengemudi semuanya fit. Maka hasilnya adalah daftar sekian kecelakaan dengan sejumlah korban tewas.

Kedua, saat kita melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa, maka sebelum muncul dampak sebetulnya isyaratnya sudah ada, there is a sign. Mungkin saja isyarat itu bersumber dari Tuhan, melalui mekanisme gelisah, ragu-ragu, was-was, prasangka, dan serumpunnya. Dalam situasi semacam ini, mungkin tepatlah ungkapan seorang sahabat: Mintalah fatwa pada hatimu. Karena fitrahnya hati adalah mencenderungkan manusia pada kebaikan (hanief). Atau mungkin seperti kata para kiai dan ustadz yang memaknai hadits Nabi, bahwa saat hatimu ragu untuk sesuatu, maka tinggalkanlah. Dalam kasus saya, mungkin saat di jalan membatin “Kok, kaya ada yang kurang ya”, opsi terbaik adalah berhenti sejenak, jeda, untuk menenangkan pikiran sambil mencari yang kurang itu.

Tapi over all, seberat apapun itu, bahkan setiap musibah selalu ada berkah dan hikmah yang bisa dipetik. Tuhan selalu memberi pelajaran kepada manusia, meski kadang pelajaran itu diperoleh lewat jalan yang ngeri-ngeri sedap. Dan dari insiden ketinggalan dompet itu, lahirlah tulisan receh ini. []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image