Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Desti Ritdamaya

Grusa Grusu Parpol Menuju Pemilu 2024

Politik | Monday, 18 Jul 2022, 15:01 WIB

Oleh : Desti Ritdamaya

Praktisi Pendidikan

Tensi politik semakin naik. Padahal tahun politik 2024, putaran waktunya masih 2 tahun lagi. Manuverisasi partai politik untuk memenangkan gelanggang suksesi nasional begitu kentara. Indikatornya nampak dari kerja keras partai mendongkrak elektabilitas, membuka ruang jelajah komunikasi politik atau penjajakan koalisi dengan partai yang lain.

Berdasarkan rekam jejak media, cara konvensional masih mewarnai kerja partai politik dalam mendongkrak elektabilitas. Misalnya sejak pandemi, baliho yang menampilkan wajah tokoh politik masif di ruang publik berbagai daerah. Berbagai bantuan sosial digelar partai politik seraya menamakan partainya perduli wong cilik. Termasuk adu elektabilitas dalam bentuk data survey politik yang hakikatnya kampanye terselubung.

Dalam beberapa bulan terakhir, konsolidasi dan koalisi mulai dimainkan oleh sejumlah partai politik. Mei lalu Golkar, PAN dan PPP telah berkomitmen membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Gerindra dan PKB akhir Juni kemarin telah menggelar pertemuan kesepakatan untuk saling berkoalisi. Dan awal Juli ini, Partai Nasdem, PKS dan Demokrat membentuk tim kecil untuk melakukan pendalaman nama calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung. Analis politik menyatakan semua ini belum final, partai-partai tersebut hanya pasang kuda-kuda. Diperkirakan puncak negosiasi antar partai politik terjadi saat pengunguman nama calon presiden dan wakil presiden.

Apakah Dibutuhkan Rakyat?

Sebenarnya realitas di atas selalu berulang menjelang tahun politik baik tingkat nasional maupun daerah. Hanya pelaku dan ragam caranya saja yang berbeda. Dari waktu ke waktu fokus dan tujuan kerja partai politik tetap memiliki alur yang sama. Yaitu mendapatkan jatah kekuasaan dan melanggengkannya. Hal ini tak terbantahkan.

Untuk sebulan terakhir ini saja. Adakah suara partai-partai politik terdengar ‘menyapa’ rakyat, saat sejumlah harga pangan kompak naik bulan Juni kemarin? Pun sama saat pemerintah meresmikan kenaikan tarif listrik per 1 Juli ini? Harus diakui empati saja dari partai politik saat rakyat ‘jatuh’ dan ‘kesetrum’ listrik minim.

Rakyat acap kali hanya menjadi bulan-bulanan permainan politik. Partai politik hadir saat butuh suara. Tapi absen saat rakyat butuh political comitmentnya. Perebutan kekuasaan dan turunannya oleh elit partai politik sebenarnya ‘memuakkan’ rakyat. Karena selama ini jaminan pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamananan) rakyat oleh kekuasaan masih nihil. Rakyat sendiri yang harus berpeluh keringat memperjuangkan hak-hak kehidupannya.

Parpol ‘Pengaman’ Sistem Sekuler

Tapi apalah daya. Memang sistem demokrasi sekuler telah menggariskan bahwa pergantian dan perolehan kekuasaan secara periodik harus melalui partai politik. Realitasnya, mayoritas yang mampu duduk sebagai anggota partai politik hanyalah yang memiliki modal. Buktinya sebanyak 55 % anggota parlemen di Indonesia hari ini adalah pengusaha di berbagai sektor (www.liputan6.com, 9/10/2020).

Ada udang di balik batu dengan duduknya para pemilik modal sebagai anggota partai politik. Sudah menjadi rahasia umum, acap kali penyusunan UU atau kebijakan strategis lainnya atas nama negara, sarat dengan kepentingan pemilik modal ketimbang rakyat. Terbukti walaupun penolakan rakyat berjilid-jilid terhadap UU Cipta Keja, UU Minerba, UU KPK dan sebagainya, tapi tetaplah UU tersebut melenggang aman di Senayan.

Wajar dari waktu ke waktu tak ada perubahan nasib rakyat walaupun kekuasaan parpol silih berganti. Karena sebenarnya dalam sistem sekuler demokrasi yang berkuasa bukanlah rakyat. Tapi para pemilik modal yang menguasai politik, ekonomi, hukum dan sektor kehidupan publik lainnya. Aturan kehidupan negara dirancang dan dilegalkan oleh anggota dewan yang terhormat hanya untuk kepentingan para pemilik modal dan kroni oligarki kekuasaan. Bukan pada kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Bukankah SDA dan aset strategis negara hari ini tak dinikmati rakyat? Bukankah pendapatan negara hari ini yang bertumpu pada pajak dan utang luar negeri membebani rakyat? Lantas masihkah kita tetap mempertahankan sistem sekuler demokrasi seperti ini?

Bagaimana Harusnya Sikap Umat?

Sebaik-baiknya teladan kehidupan adalah Rasulullah SAW. Termasuk teladan terkait kekuasaan dan bernegara. Sirah menceritakan, salah satu upaya kafir Quraisy untuk menghalangi dakwah Rasulullah SAW di Mekkah adalah tawaran jabatan. Orang-orang Quraisy menyatakan kesediaannya menjadikan Rasulullah SAW pemimpin mereka, asalkan Beliau SAW mau menghentikan dakwah.

Dengan logika pendek, kalau sudah diangkat menjadi pemimpin, kekuasaan yang ada dapat dimanfaatkan oleh Rasulullah SAW untuk mengatur strategi dakwah dalam sistem jahiliyah. Tapi mengapa Rasulullah SAW menolak tawaran jabatan tersebut? Dengan bimbingan wahyu Allah SWT, Rasulullah SAW memahami bahwa tidak cukup yang diubah hanya pucuk kekuasaan. Tapi yang harus diubah sistem kehidupan jahiliyah yang bertentangan dengan Islam sehingga menjadi sistem yang menerapkan syari’at Islam kaffah.

Ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tak sekadar menjadikan muslim yang berkuasa, tapi mengharuskan Islam dengan syari’atnya yang berkuasa. Karena inilah yang diwajibkan Allah SWT dalam wahyuNya. Apalah artinya kekuasaan dipegang jika bukan untuk tegaknya syari’at Islam kaffah.

Maka Rasulullah SAW bersama para shahabat terus mendakwahkan Islam walaupun siksaaan, propaganda, boikot harus dilalui dengan darah dan air mata. Sampai atas izin Allah SWT fajar kemenangan Islam itu datang. Kaum Aus dan Khajraz yang menetap di Madinah memberikan kekuasaan secara mutlak untuk Rasulullah SAW menerapkan Islam kaffah disana.

Ini semua memberikan pembelajaran bagi kaum muslim untuk bersikap. Bahwa gegap gempita pesta demokrasi yang diikuti parpol hari ini tak akan memberikan ruang pada syari’at Islam diterapkan secara kaffah. Padahal tenggelamnya syari’at Islam dalam ruang kehidupan publik, hanya akan menghantarkan pada keterpurukan dan kesengsaraan umat seperti sekarang. Maka perubahan menuju syari’at Islam tak bisa digantungkan pada partai politik dalam sistem demokrasi sekuler hari ini. Tapi hanya dengan terus dakwah ideologi Islam kaffah kepada umat. Hingga umat dengan kesadaran iman melepaskan diri dari belenggu sistem demokrasi sekuler.

Wallahu a’lam bish-shawabi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image