Kampanye dan Demokrasi dalam Kajian Islam
Politik | 2022-07-15 02:31:38Hingga kini, tema Islam dan demokrasi masih menjadi isusentral masyarakat Indonesia, terutama menjelangpelaksanaan pemilu dan pilkada. Demokrasi masih diragukankehalalannya hingga masyarakat menganggap tidak perluberpartisipasi dalam pemilu dan pilkada.
Alasan utama penolakan tersebut karena demokrasi dinilaitidak membawa kepada peningkatan kesejahteraan. Alasan kedua karena persoalan teologis. Demokrasi sebagai sesuatuyang haram dalam Islam dan patut diwaspadai. Demokrasijuga ditolak karena efektivitasnya terhadap keutuhan bangsa. Demokrasi dianggap melahirkan kekacauan sosial, clean governance yang tidak kunjung tiba sebab maraknya praktikpolitik uang dan kronisme akibat balas budi terhadap merekayang berjasa dalam pemilihan presiden atau pilkada langsung.Sikap tersebut tentu tidak menambah maslahat sedikit pun karena pemimpin Indonesia pasti tetap akan terpilih meskisebagian besar umat Islam 'golput'. Justru tugas umat Islam untuk menjadikan pemimpin yang terpilih tersebut sesuaidengan kriteria Islam.
Persoalan mendasar dalam melihat hubungan Islam dan demokrasi adalah keyakinan bahwa Tuhanlah yang berkuasamutlak (QS Ali Imran: 26), meski menurut John L Esposito penolakan pada demokrasi tersebut lebih karena faktor Barat kolonial yang sekuler.
Bukan penolakan pada demokrasi secara keseluruhan. Meskisebenarnya dalam diri manusia terdapat kekuasaan temporal dari Tuhan, seperti ayat tentang manusia sebagai khalifah di bumi (QS al-Baqarah: 30) dan ayat-ayat free will (al-Kahfi: 29 dan ar-Ra’d: 11). Substansi demokrasi sejalan denganIslam karena Islam dan demokrasi sama-sama menolakdiktatorisme (Yusuf Qaradhawi, 1997). Dalam Islam terdapatkonsep penyelenggaraan kekuasaan dengan prinsip amanah, musawah, ‘adalah, syuro, ijma’, dan baiat. Prinsip demokrasidalam Alquran begitu kuat, yang diperlukan adalahreformulasi dan reinterpretasi. Argumen yang menunjukkankesesuaian Islam dan demokrasi adalah penolakan Islam terhadap kediktatoran Namrudz dan Firaun (QS al-Baqarah: 258 dan ad-Dukhan: 31).
Saat ini, demokrasi telah menjadi istilah yang secara umumditerima dan dipromosikan oleh hampir semua pemerintahandi dunia. Dalam konteks Islam, demokrasi adalah satu istilahdan gagasan baru, meskipun nilai-nilai universal yang terkandung dalam demokrasi sebagian besar telah terangkumdalam ajaran Islam. Maka dari itu, ketika memandang“demokrasi” sebagai sebuah sistem yang asal muasalnyaberasal dari peradaban Barat, muncul beragam respons darikalangan Muslim terkait hal ini. Ada yang menerima sebagaipandangan hidup dan keharusan sejarah. Ada yang mengkritisi. Dan ada juga yang menolaknya mentah-mentah, baik istilah maupun konsepnya. Respons intelektual Muslim atas demokrasi dibahas secara mendalam oleh Prof. MasykuriAbdillah, dalam disertasi doktornya di Departemen Sejarah dan Kebudayaan Timur Tengah Universitas Hamburg, yang berjudul “Responses of Indonesian Muslim Intellectuals to the Concept of Democracy (1966-1993). Berdasarkan hasilpenelitiannya, Masykuri menyatakan bahwa intelektualMuslim di Indonesia cenderung menerima dan bahkanmendukung sistem demokrasi sebagai sesuatu yang harusdipraktikkan dalam masyarakat Islam. Hal ini berbeda denganrespons dari intelektual Muslim di luar Indonesia yang masihseringkali mempertanyakan dan memperdebatkan sistemdemokrasi dalam tatanan hidup berbangsa dan bernegara.15 Berdasar pada penerimaan atas istilah dan konsep demokrasiini, maka pemilihan umum dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan, dan memilih pemimpin melalui prosedural pemiludianggap sebagai konsekuensi logis yang hasilnya harus tetapdiarahkan pada kepentingan umat Islam secara menyeluruh.
Beberapa ulama, intelektual, dan aktivis memang secaraterang menyatakan keharaman atas penggunaan istilah dan konsep demokrasi. Demokrasi dengan penitikberatan utamapada kedaulatan rakyat, termasuk di dalamnya perihalpemilihan pemimpin melalui prosedur suara terbanyak, dipandang meniadakan kedaulatan Allah atas manusia. Istilah demokrasi pun tidak berasal dari kosakata Islam sehinggatidak layak untuk digunakan. Pendapat ini dikemukakan oleh Hafizh Shalih16 dan Adnan Ali Ridha17. Dalam cakupanyang lebih luas, kelompok Hizbut Tahrir dan sebagian Salafi secara lantang menyuarakan penolakan terhadap demokrasi. Hizbut Tahrir dalam kitab karya Abdul Qadim Zallum yang berjudul Al-Dimuqratiyyah Nizham Kufr:
Yahramu Akhdzuha aw Tathbiquna aw Ad-Da’watu Ilaiha(Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudulDemokrasi Sistem Kufur: Mengambilnya, Menerapkannya, dan Mempropagandakannya), menyimpulkan bahwademokrasi yang dijajakan oleh barat adalah sistem kufur, dan kaum muslimin haram mengambil dan menyebarluaskannyamaupun mendirikan partai-partai berdasarkan demokrasi.18 Sikap Hizbut Tahrir berbeda dengan Ikhwanul Muslimin dan berbagai kelompok Islam lain yang menerima demokrasisecara kritis.19 Perbedaan pemaknaan atas demokrasi iniberimplikasi pada ranah praktik yang dilakukan masing-masing kelompok, dimana Hizbut Tahrir dan Salafi cenderungmenolak untuk ikut serta dalam pemilihan umum, sementaraIkhwanul Muslimin ikut ambil bagian dalam perebutan suaradi pemilihan umum. Dalam pandangan lain, sebagianintelektual Muslim menerima istilah demokrasi denganmodifikasi tertentu sesuai dengan ajaran Islam, di antaranyaadalah Hamid Enayat, Fazrul Rahman, Muhammmad Asad, dan Javid Iqbal. Pandangan Muhammad Asad contohnya, menyatakan bahwa Majelis Legislatif (Syura) -DPR di Indonesia- harus benar-benar mewakili seluruh komunitas, baik laki-laki maupun perempuan. Begitu pula pendapat Javid Iqbal20 yang menekankan pentingnya pemilihan pemimpinyang sesuai dengan prinsip Islam dan memperhatikanimplementasi syariah di dalam penyelenggaraan negara. Perspektif lain menyatakan, bahwa konsep nilai-nilaidemokrasi telah tercantum dalam beberapa ayat Al-Quran dan Sunnah yang menetapkan pentingnya musyawarah dan pemilihan pemimpin berdasarkan bai’at dari umat.
Namun begitu, tetap terdapat beberapa telaah kritis dariintelektual dan pakar Islam atas hubungan antara Islam dan demokrasi. Salah satunya dikemukakan oleh Prof. Hasbi as- Shiddieqy, pakar hukum Islam, dalam bukunya berjudul IlmuKenegaraan dalam Fiqih Islam. Ia menyebut, bahwa adasejumlah perbedaan antara Islam dan demokrasi, yaitu: Pertama, dari segi rakyat. Demokrasi modern, rakyat dibatasioleh batas-batas geografis yang hidup dalam suatu negara, tetapi dalam Islam yang pokok adalah kesatuan akidah. Kedua, tujuan demokrasi barat adalah maksud keduniaan, atautujuan material belaka. Hal ini berbeda dengan tujuankenegaraan dalam Islam, sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Khaldun: “Imamah adalah untuk mewujudkan kemaslahatanakhirat dan kemaslahatan dunia yang kembali pada kemaslahatan akhirat, karena segala kemaslahatan dunia dalam pandangan syarak harus disesuaikan dengan segalakemaslahatan akhirat”. Ketiga, kekuasaan rakyat dalamdemokrasi barat adalah mutlak. Dalam Islam, kekuasaanrakyat dibatasi dengan aturan-aturan Islam yang bersumberkan kepada Al-Quran dan Sunnah.21
Berdasarkan kitab klasik berjudul Al-Ahkaamus-sulthaaniyyah wal wilaayaatud- diiniyyah karangan Imam al-Mawardi (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudulHukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam TakaranIslam), disebutkan bahwa Allah SWT telah menggariskankepada umat untuk memilih pemimpin yang menjadipengganti dan pelanjut fungsi kenabian, menjagaterselenggaranya ajaran agama, memegang kendali politik, membuat kebijakan yang dilandasi syariat Islam ataupun tidakbertentangan dengannya, dan menyatukan umat dalamkepemimpinan yang tunggal. Imamah (kepemimpinan) dan Imarah adalah dasar bagi terselenggaranya ajaran-ajaran Islam dan pangkal bagi terwujudnya kemaslahatan umat, sehinggakehidupan masyarakat menjadi aman dan sejahtera. Maka dari itu, pengangkatan dan pemilihan pemimpin (kepalanegara) untuk memimpin umat adalah wajib menurut ijma.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.