Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nur Arviyanto Himawan

Kurikulum Merdeka dan Perlombaan Atletik

Sekolah | Tuesday, 12 Jul 2022, 18:39 WIB
Vlad Vasnetsov dari Pixabay" />
Gambar oleh Vlad Vasnetsov dari Pixabay

Dunia pendidikan saat ini sedang hangat dengan topik perubahan kurikulum. Sebagian masyarakat mungkin sudah bosan mendengar topik itu, karena menganggap perubahan yang terjadi tidak terasa dampak baiknya. Justru sebagian masyarakat menilai perubahan kurikulum yang sudah-sudah kian memberatkan guru dan siswa. Kurikulum berasal dari bahasa Yunani yaitu curir (pelari) dan curene (tempat berpacu/berlomba). Berdasarkan arti kata tersebut, maka ada 2 faktor penting dalam kurikulum, yaitu pelari (pengguna lintasan) dan lintasan atau jalan dengan jarak antara garis start hingga finish dalam suatu perlombaan. Oleh karena itu, kurikulum dapat diilustrasikan sebagai sebuah “jalan atau lintasan” yang harus dilalui siswa untuk mencapai “garis finish” pendidikan. Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 3, garis finish tersebut adalah “ berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Sebuah keniscayaan

Pada zaman Yunani kuno, tiap 4 tahun sekali diadakan perlombaan atletik. Tentu kita bisa bayangkan bahwa dahulu kala, ketika perlombaan tersebut akan digelar, maka lintasan atletik harus diperbaiki. Tentu alasan perbaikan tersebut macam-macam, seperti lintasannya rusak, untuk memenuhi standar tertentu, dan agar acara berjalan dengan lancar. Dengan kata lain, ada “lintasan baru” tiap 4 tahun sekali. Apakah hal itu terdengar familiar?. Mari kita bandingkan dengan fenomena berubahan kurikulum di Indonesia. Berdasarkan ilustrasi perbaikan lintasan tadi, tentu kita bisa membayangkan titik temu antara dua fenomena tersebut. Seperti yang kita ketahui, kurikulum di Indonesia terus berubah sebagaimana lintasan atletik yang diperbaiki, walaupun perubahannya tidak setiap 4 tahun sekali. Sebagai contoh, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) diberlakukan tahun 2004 lalu diubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006. KTSP kemudian diubah lagi menjadi Kurikulum 2013, setelah 7 tahun dijalankan. Selanjutnya, ada Kurikulum 2013 Revisi, Kurikulum Darurat, hingga saat ini ada Kurikulum Merdeka.

Perubahan kurikulum tersebut adalah sebuah keniscayaan, sebagaimana perbaikan lintasan perlombaan tadi. Terlepas dari apapun alasan yang melatarbelakanginya, perubahaan kurikulum adalah hal yang pasti. Perspektif ini tentu tidak menggiring masyarakat untuk menerima begitu saja perubahan kurikulum yang terjadi tanpa mengkritisinya. Akan tetapi, untuk mempertegas bahwa perubahan kurikulum adalah hal yang wajar terjadi dan juga mempertegas sifat kurikulum yang dinamis.

Menyongsong Kurikulum Merdeka

Oleh karena itu, perubahan kurikulum menjadi Kurikulum Merdeka harus diterima sebagai fenomena yang wajar dengan tetap mengkritisinya. Mari kita kembali ke ilustrasi lintasan tadi. Dalam sebuah lintasan, tentu harus ada batasan lintasan kanan dan kiri yang jelas. Oleh karena itu, dalam kurikulum merdeka perlu ada batas “kiri” dan “kanan” yang jelas, dalam artian jangan sampai penggunaan kata “merdeka” justru dipahami “sebebas-bebasnya”. Daga (2021) menyatakan bahwa makna merdeka belajar mengacu pada empat faktor, yaitu merdeka berpikir, merdeka berinovasi, belajar mandiri dan kreatif, merdeka untuk kebahagiaan. Mengacu pada pendapat tersebut dan dikaitkan dengan ilustrasi perlombaan tadi, maka guru sebagai pelatih dan siswa sebagai peserta lomba harus saling bekerja sama. Kerja sama antara guru dan siswa diperlukan untuk saling bertukar pikiran dan berinovasi dalam menentukan strategi yang tepat, agar siswa dapat mencapai garis finish pendidikan secepat mungkin.

Ketika perlombaan berlangsung, pemain utamanya adalah siswa. Di saat itu, ia sendiri yang menentukan kemenangannya. Dengan berbagai pengetahuan yang dimiliki, ia didorong berpikir kreatif untuk menyelesaikan tantangan sebaik mungkin. Ia juga didukung oleh sorak sorai stakeholder pendidikan lain yang terus menyemangatinya untuk mencapai garis finish. Di sisi lain, para stakeholder itu juga harus menanamkan pada siswa bahwa semangat berlomba adalah bukan tentang siapa yang dapat mencapai garis finish terlebih dahulu. Akan tetapi, adalah tentang siapa yang tidak menyerah dan bisa mencapai garis finish, selambat apapun ia. Dari sinilah siswa dapat memaknai apa yang ia lakukan dan ada rasa joy (suka cita) atau yang disebut Daga (2021) sebagai merdeka untuk bahagia. Dengan perspektif ini, diharapkan para stakeholder pendidikan dapat semakin memahami apa itu kurikulum merdeka dan terus mengawal implementasi kurikulum tersebut, agar niat baiknya dapat terealisasi.

Nur Arviyanto Himawan, M.Pd.

Alumni Magister Pendidikan Fisika UNY

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image