Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Firdaus Nafid

Penghapusan Subsidi Haji

Ekonomi Syariah | Thursday, 11 Nov 2021, 15:31 WIB
mnctrijaya.com
mnctrijaya.com

Pendahuluan

Hal ini diawali dengan diterbitkanya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Pendaftaran Haji yang mengatur, antara lain: pendaftaran haji dilaksanakan setiap hari kerja sepanjang tahun. Kebijakan tersebut menghasilkan waiting list (daftar tunggu) jemaah haji atau daftar calon jemaah haji yang telah mendapatkan nomor porsi, tetapi belum dapat diberangkatkan ke tanah suci karena keterbatasan kuota. Seiring waktu, jumlah waiting list semakin meningkat hingga menyentuh angka yang cukup besar, mengingat setiap tahunnya ada sekitar 500 ribu jemaah yang mendaftar, baik untuk haji reguler maupun haji khusus, sedangkan kuota haji terbatas hanya tersedia sekitar 200 ribu orang.

Sampai akhir bulan Oktober 2021 jumlah masyarakat Indonesia yang ingin segera berangkat haji yang saat ini menyentuh angka 5.043.965[1], waiting list jemaah haji reguler tercatat sebesar 4.305.207 orang dan haji khusus sejumlah 104.941 orang. Peningkatan jemaah waiting list berkorelasi positif dengan peningkatan akumulasi dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Dengan demikian, pemerintah berkewajiban untuk mengelola dana haji yang terkumpul dari para calon jemaah haji tersebut. Pemerintah melalui BPKH menentukan dana kelolaan berdasakan pembagianya yaitu: 1. Investasi sebanyak 69% ditempatkan pada: Sukuk Negara (SBSN/SDHI-PBS, RDST) 85%, Sukuk Korporasi 8%, Pembiayaan Syariah melalui BS/UUS dan APIF/IsDB 7%, dan 2. Penempatan di Bank Syariah / UUS sebanyak 31% di produk perbankan: Giro, Tabungan, dan Deposito Syariah.

Berdasarkan laporan posisi dana kelolaan BPKH mencatat total dana kelolaan haji mencapai Rp 143,06 Trilliun pada 2020. Naik sebesar 15,08% dibandingkan pada 2019, melebihi target yang dipatok sebesar 139,57% Trilliun.

Berdasarkan laporan dari Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementrian Keuangan Penempatan Dana haji pada SBSN dimulai sejak tahun 2009 adanya MoU pertama antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni mengenai mekanisme investasi dana haji dalam Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk negara dengan cara private placement (PP) Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI) sebesar Rp 1,5 Trilliun dan Penempatan Dana Abadi Umat (DAU) pada SDHI sebesar Rp 336 Miliar, diteruskan pada MoU kedua yang ditandatangani Menteri Keuangan Chatib Basri dan Menteri Agama Suryadharma Ali pada 2013 berisi peruntukan Dana Haji bagi pembiayaan APBN, temasuk proyek Kementerian Agama dengan penyelenggaraan haji melalui SBSN PBS (Project Based Sukuk) yang dapat ditempatkan pada SBSN Nontradable dan SBSN tradable. Pada tahun 2017 BPKH dibentuk dan total penerbitan SDHI sebesar Rp 62,17 Trilliun, di tahun 2018 MoU ketiga lanjutan antara BPKH dan Kemenkeu, BPKH dapat berinvestasi melalui lelang maupun Private Placement dengan instrument yang dapat bersifat non-tradable maupun tradable. Pada tahun 2019 penerbitan seri USD PBS (Project Based Sukuk /Underlying) total penempatan sebesar USD 200 Juta, dan pada 2019-2021 BPKH berinvestasi pada SBSN melalui lelang maupun PP, dengan total kepemilikan SBSN per 10 September 2021 sebesar Rp. 98,097 Triliun.

Dari hasil investasi tersebut, imbal hasil pun beragam. Untuk syariah, mencapai 4 persen lebih, dan surat berharga proyeksinya mencapai 7,5 persen hingga 8 persen, Jika dirata-rata semua ada di angka 5 persen. Sedangkan setiap tahunya BPKH harus menyediakan 7-8 Triliun untuk BPIH dan 2 Triliun untuk Virtual Account, Operasional BPKH, sedangkan sisanya untuk program Kemaslahatan Umat.

Wacana Penghapusan Subsidi

Sedangkan ada wacana penghapusan subsidi haji yang ramai diperbincangkan publik di Tanah Air yang digulirkan Ketua Dewan Pengawas Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Yuslam Fauzi saat menghadiri agenda Diseminasi Pengawasan Keuangan Haji di Bandung, Jawa Barat. Dikarenakan jarak antara biaya riil haji dengan setoran calon jamaah disebut tergolong besar.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily mengaku setuju dengan wacana peniadaan subsidi haji asalkan diiringi sosialisasi yang jelas. Dengan begitu, politikus Partai Golkar tersebut menambahkan, masyarakat akan memahami latar kebijakan pemerintah dengan baik. Ia membenarkan, ada kekhawatiran bila dana pokok haji akan tergerus jika terus menyubsidi biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) setiap tahun.

Dalam prakteknya penentuan "Subsidi" dalam BPIH ini ada dalam rapat-rapat kerja antara Dirjen PHU (Pokja BPIH) bersama Panja BPIH Komisi 8 DPR RI dan TIM Ahli DPR untuk memberikan masukan atas Draft BPIH. Untuk mencapai kesepakatan besaran BPIH, pembahasan tidaklah selesai dalam tiga atau empat kali rapat, tetapi lebih dari itu. ini terjadi untuk mencari titik temu, efesensi dan rasionalisasi antara usulan BPIH dari Kementerian Agama dengan hasil telaah anggota Panja BPIH yang berasal dari Komisi VIII DPR. jika sudah ada Keputusan Bersama, Usulan BPIH yang telah disepakati seluruh pihak, kemudian dinyatakan dalam Keputusan Bersama untuk diajukan kepada Presiden sebagai dasar penetapan BPIH tahun berjalan dengan dikelurakanya Keputusan Presiden.

Jadi BPKH hanya diminta untuk menggembangkan dana tersebut sesuai tupoksi dalam aturan UUnya, maka setiap tahunya harus menyediakan 7-8 Triliun untuk BPIH dan 2 Triliun untuk Virtual Account, Operasional BPKH, sedangkan sisanya untuk program Kemaslahatan Umat. Maka jangan heran jika usulan penghapusan subsidi ini muncul dari BPKH karena melihat proses penentuan BPIH bukan sepenuhnya wewenangnya dan penentuan hasil manfaat investasi/pengelolaan untuk mensubsidi biaya BPIH sebesar 50% lebih sangat memberatkan, bagaimana jika hasil investasinya menurun dan pendaftar hajinya berkurang maka akan terdampak pada pokonya juga nih, malah sperti skema ponzi ntar.

tugas berat ada di pundak BPKH saat ini karena harus menyantumkan hasil manfaat dalam virtual acount sejak calhaj pertama mendaftar haji, sehingga adanya keterbukaan dan menjadi bahan sosialisasi yang rutin untuk memahamkan calhaj.

Dasar pelaksanaan Praktik Subsidi

Dulu, seluruh pembiayaan akibat dari pengurusan haji dibebankan kepada jemaah. Pada zaman Orde Lama, jemaah haji diuntungkan karena pembiayaan haji dibebankan kepada negara akibat inflasi yang tinggi. Awal Orde Baru, tepatnya 1967, berubah lagi seluruh pengeluaran dbebankan pada jemaah termasuk biaya petugas dan rapat. Perlahan-lahan mulai diubah pada 2006.

Praktek subsidi ini diberlakukan karena tertulis dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, pasal 23 yang lengkapnya: (1) BPIH yang disetor ke rekening Menteri melalui bank syariah dan/atau bank umum nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dikelola oleh Menteri dengan mempertimbangkan nilai manfaat; (2) Nilai manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan langsung untuk membiayai belanja operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Atas dasar ketentuan tersebut, Pemerintah (Kementerian Agama) menggunakan hasil pengelolaan dana calon haji yang termasuk daftar tunggu sebagai dana operasional penyelenggaraan haji pada tahun berjalan (baca: dana optimalisasi). Oleh karena itu, uang hasil pengelolaan BPIH calon haji yang termasuk daftar tunggu digunakan untuk keperluan bukan calon haji yang bersangkutan. Tegasnya, calon haji yang termasuk daftar tunggu membantu calon haji yang menunaikan ibadah haji pada tahun berjalan. Hal ini melahirkan pertanyaan di masyarakat sehingga muncul Fatwa Ijtima' Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV Tahun 2012 di Pesantren Cipasung Jawa Barat tentang "STATUS KEPEMILIKAN DANA SETORAN BPIH YANG MASUK DAFTAR TUNGGU (WAITING LIST)".

Dalam aturan yang terbaru masih menyebutkan hal yang sama pada UU 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dalam pasal 44 yang berbunyi BPIH bersumber dari Bipih, anggaran pendapatan dan belanja negara, Nilai Manfaat, Dana Efisiensi, dan/atau sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal Pasal 48 yang berbunyi: (1) Besaran BPIH ditetapkan oleh Presiden paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah usulan BPIH mendapatkan persetujuan dari DPR RI.

(2) Besaran BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersumber dari Bipih, Nilai Manfaat, Dana Efisiensi, dan/atau sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan dari DPR RI.

(3) Besaran BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan sesuai dengan mekanisme ketentuan peraturan perLrndang-undangan.

seharusnya ada aturan penjelasanya yang menjadi lebih spesifik bahwa Besaran BPIH yang bersumber dari nilai manfaat setiap jamaah yang akan berangkat di tahun pelaksanaan haji tersebut. sehingga nilai manfaat jamaah haji waiting list tidak bisa digunakan dalam operasional penyelenggaraan ibadah haji (Subsidi).

Praktik Subsidi ditinjau dari Syariah

istitha'ah jemaah haji, kalau secara fiqih Ulama sepakat bahwa istitha‘ah termasuk syarat yang berkaitan dengan wajibnya haji, bukan berkaitan dengan syarat sah haji maka jika tidak terpenuhi maka ia termasuk orang yang belum wajib haji, walaupun Ulama berbeda-beda dalam menjelaskan kriteria (termasuk indikator) istitha‘ah haji paling tidak Jemaah haji harus mampu secara fisik, finansial dan wawasan kehajian. Jika dari sisi finansial belum mampu dikarenakan ditambah subsidi dari hasil manfaat pengelolaan setoran awal jemaah haji, yang aslinya manfaat itu juga dimiliki jemaah haji yang masuk dalam masa tunggu (waiting list), Subsidi tersebut melalui biaya tidak langsung setiap tahun semakin meningkat, selama 4 (empat) tahun terakhir (2016-2019) penggunaan biaya tidak langsung mencapai angka 42-49% dari total BPIH. bahwa penetapan nilai setoran jemaah hanya dapat membiayai pelaksanaan ibadah haji sekitar 50%, sehingga penggunaan nilai manfaat setiap tahun semakin meningkat. Hal ini menimbulkan masalah karena penetapan biaya tidak langsung pada 2017-2018 dalam Keppres BPIH telah melebihi nilai manfaat tahun berjalan Hal ini tentu saja telah melanggar ketentuan yang diatur dalam PP 5 Tahun 2018 Pasal 21 Ayat (1).

Seharusnya ada ketentuan yang jelas untuk persentase pembagian nilai manfaat keuangan haji yang dikelola oleh BPKH untuk masing-asing Jemaah calon haji dalam akad wakalah pada saat pendaftaran sehingga adanya transparansi, Dalam Pasal 16 UU 34 tahun 2014 disebutkan Besaran persentase dari nilai manfaat Keuangan Haji ditetapkan setiap tahun oleh BPKH setelah mendapat persetujuan dari DPR. Hal itu mengakibatkan Persentase pembagian nilai manfaat tidak adanya kejelasan dari awal.

jadi praktik subsidi yg ada sekarang belum bisa dikategorikan sesuai prinsip Syariah karena BPIH yang seharunya dibayar sepenuhnya oleh calon Jemaah haji masih ditopang dengan bantuan dari manfaat pengelolaan jemaah haji waiting list. jika kebijakan tersebut dibangun atas dasar tolong menolong dalam kebaikan maka jemaah yang akan pergi haji tahun-tahun yang akan datang tidak dapat bantuan lagi karena bisa saja sistem waiting list dihapuskan dan/atau hasil Investasi BPKH mengalami penurunan atau stagnan namun harus membiayai dua kali penyelenggaraan haji dalam tahun anggaran yang sama (pada tahun 2039M/1460-1461H akan terjadi pelaksanaan haji sebanyak 2 (dua) kali dalam satu tahun masehi, yaitu pada tanggal 5 Januari 2039 dan 26 Desember 2039).

selain faktor pendemik juga ada faktor lainya yang menjadkan para umat islam tidak mendaftar haji pada dua tahun belakang sprti adanya Kma no 13 tahun 2021 tentang penyelenggaraan ibadah haji reguler yg melarang penggunaan jasa dana talangan haji jg pak ust Jika ketahuan masih menggunakan dana talangan maka user id di siskohat akan diblokir oleh menteri sehingga berakibat menurunya jumlah pendaftar haji sehingga berkurangnya dana haji yang dikelola oleh BPKH.

[1] https://haji.kemenag.go.id/v4/waiting-list

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image