Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Agus Darwanto

Filosofi Menjodohkan Aksara Jawa dan Huruf Arab

Eduaksi | 2022-07-10 17:17:01

Kecamatan Adipala merupakan salah satu lumbung penganut aliran kepercayaan Kejawen terbesar di Kabupaten Cilacap. Keyakinan Kejawen yang berkembang di Kecamatan Adipala tidak hanya satu, tetapi berdasarkan hasil penelitian Kusumaning Tyas Fudiana ada sekitar 70 aliran Kejawen di Adipala. Namun dari sekian banyak corak aliran Kejawen, dapat dikerucutkan dalam dua kelompok besar yaitu Kejawen tanpa agama yang tidak mau menginduk kepada agama tertentu sehingga sering disebut kaum Abangan, dan Islam Kejawen yang secara legal formal mengaku sebagai penganut agama Islam yang lebih dikenal dengan kaum Putihan.

Penganut Islam Kejawen memiliki perbedaan dengan penganut Islam yang sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Hadits atau yang lebih dikenal sebagai Islam Santri. Penganut Islam Kejawen bersikukuh menyatakan dirinya sebagai bagian dari umat Islam namun amalannya cenderung menonjolkan adat kejawennya yang dijalaninya secara turun-temurun. Di antara alasan yang melatarbelakangi sikap mereka adalah keyakinan bahwa orang Jawa lebih tua daripada orang Arab sehingga tradisi Jawa meski dilakoni meskipun tidak meninggalkan agama Islam yang turun di tanah Arab.

Pemeluk Islam Kejawen di desa Karangsari termasuk kuat karena mitos yang dibangun oleh para sesepuhnya yang mengaitkan sejarah Rasulullah SAW dengan kisah Ajisaka. Menurut penuturan Ngadiun Hardi Suyono alias Pak Dalang yang merupakan sesepuh Islam Kejawen di desa Karangsari, dahulu kala Ajisaka pernah mengutus orang untuk mengambil kitab suci Al-Qur’an dari Rasulullah SAW namun terjadi kesalahpahaman antar para utusan tersebut sehingga berujung dengan saling bunuh. Kisah tersebut kemudian diabadikan dalam aksara Hanacaraka.

Berdasarkan penelusuran Kusumaning Tyas Fudiana diketahui peran sentral Pak Dalang Ngadiun Hardi Suyono dalam menggubah sebuah filosofi untuk menciptakan kerukunan antara warga penganut Islam Jawa dengan Islam Arab (kaum santri) di Desa Karangsari. Pak Dalang mengibaratkan penganut Islam Jawa dengan Islam Arab seperti keris dengan wadahnya atau seperti berjodohnya ayah dan ibu. Oleh karena itu jumlah aksara Jawa ada 20 tapi sandangannya ada 16, bila dijumlahkan menjadi 36. Bentuk aksara Jawa adalah telungkup (mengkurep) dan dibaca dari kiri ke kanan. Sedangkan huruf Arab itu ada 30, harakatnya ada 6 sehingga bila dijumlahkan menjadi 36. Bentuknya terlentang (mlumah) tapi dibaca dari kanan ke kiri. Sehingga bila dipasangkan akan berjodoh. Oleh karena itu budaya Jawa dan Agama Islam tidak boleh dipisahkan, karena duanya pasti menyatu dan berjodoh.

Kemudian Pak Dalang membuat rumus hitungan hari. Menurut beliau, jumlah hari dalam bahasa Arab itu ada 7, yaitu Ahad, Senin, Selasa, Rabu Kamis, Jumat dan Sabtu. Pasangannya ada 5 hari dalam bahasa Jawa, yaitu Pahing, Pon, Wage, Kliwon dan Legi. Bila ditambahkan 7 dengan 5 hasilnya adalah 12 sama dengan jumlah bulan dalam setahun. Hari Jumat Kliwon hingga Jumat Kliwon berikutnya dalam adat kejawen disebut selapan yang artinya “slamete wong Islam” (selamatnya orang Islam) yang jumlahnya ada 35 hari sama dengan jumlah perkalian 7 dikali 5.

Aksara Jawa dan Huruf Arab
Aksara Jawa dan Huruf Arab

Kisah Ajisaka yang dibawakan oleh Pak Dalang Ngadiun Hardi Suyono berbeda dengan cerita Ajisaka yang sudah melegenda. Cerita dari Pak Dalang sudah dikemas dengan muatan lokal sehingga benar-benar memberikan kesan pada masyarakat Desa Karangsari. Dalam versinya Pak Dalang Ngadiun, cerita Ajisaka tidak dikaitkan dengan kisah Prabu Dewata Cengkar. Konon pada jaman dahulu ada orang bernama Alif yang merupakan pengikut Nur Muhammad dari Arab dan Hana merupakan pengikut Mbah Aji dari Jawa. Mbah Aji ini adalah orang yang menciptakan istilah hari, sasi, tahun, windu dan neptu.

Awal kisahnya, Hana diberi perintah oleh Mbah Aji untuk mengambil benda pusaka dari tanah Arab dan tidak boleh pulang sebelum membawa benda pusaka tersebut. Sedangkan di tanah Arab, Alif ditugasi oleh Nur Muhammad untuk mengantar benda pusaka berupa kerangka keris ke tanah Jawa yang harus langsung diterima oleh Mbah Aji. Alif berangkat dari tanah Arab sedangkan Hana berangkat dari Jawa. Mereka bertemu di jalan tebing batas antara Indonesia dengan luar negeri. Tempat ini kemudian dinamakan dengan Sabang yang berarti imbang.

Terjadi dialog antara Hana dengan Alif. Hana bertanya,”Wahai Alif kamu hendak kemana?” Alif menjawab,”Aku disuruh Kanjeng Nur Muhammad untuk mengembalikan kerangka keris.” Hana menyahut,”Kalau begitu kebetulan sekali, karena aku diperintah oleh Kanjeng Bambang Aji untuk mengambil kerangka keris.” Alif merespon,”Tidak bisa begitu, Hana. Aku disuruh memberikan langsung kepada Mbah Aji. Tidak boleh diberikan kepada siapa pun.” Hana pun menjawab,”Waduh, aku juga tidak boleh pulang sebelum berhasil membawa benda pusaka yang kamu bawa.” Maka terjadilah perang antara Hana dengan Alif yang sama-sama kuat dan berakhir dengan kematian kedua utusan tersebut. Darahnya Alif di bawah mengalir hingga sampai kepada para nabi dan wali kemudian disematkan dalam kitab suci Al-Quran, sementara darahmya Hana tidak bisa disematkan dalam kitab suci sehingga melambung ke atas seperti gantungan. Oleh karena itu aksara Jawa bentuknya kemurep (telungkup) dibaca dari kiri ke kanan, sedangkan huruf Arab mlumah (terlentang) dibaca dari kanan ke kiri. Benda pusaka yang menjadi rebutan namanya keris Sarutomo. Saru artinya perempuan, sedangkan tomo artinya laki-laki, seperti ayah dan ibu atau seperti keris dan kerangkanya. Sehingga menurut Pak Dalang, Islam dan kejawen semestinya bisa bersatu tidak perlu dibenturkan seperti huruf Arab dan huruf Jawa yang bisa menyatu bagaikan keris dengan kerangkanya.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Novi Tri Ayuningsih dan Fita Nur Barokah diperoleh data bahwa 73% warga Desa Karangsari yang mampu membedakan antara huruf Arab dan aksara Jawa. Sehingga 78,5% warga sebenarnya mengatakan tidak mungkin huruf Arab bisa disatukan dengan aksara Jawa. Meskipun demikian 50% penganut Kejawen bersedia menerima seluruh ajaran Islam, 10% mau menerima sebagian dan hanya 40% yang menolak. Sementara itu 52% penganut Kejawen menganggap tidak harus melaksanakan ritual Kejawen, 29% menyatakan sebagian ritual saja yang harus dilaksanakan dan hanya 19% yang mengharuskan melaksanakan semua ritual Kejawen. Komposisi demikian yang membuat filosofi yang digubah oleh Pak Dalang Ngadiun bisa efektif menyatukan warga Desa Karangsari, antara penganut Kejawen dengan umat Islam.

Seberapa pun tingkat efektivitas filosofi perjodohan huruf Arab dengan aksara Jawa yang digagas oleh Ngadiun Hardi Suyono, upaya beliau patut dihargai. Sebelum itu, sering terjadi konflik antara kaum Abangan dengan Putihan di Kecamatan Adipala. Setidaknya filosofi yang digubah oleh Pak Dalang mampu memberikan wacana untuk membuka cakrawala berpikir warga Desa Karangsari sehingga konflik horizontal antara kaum Abangan dan Putihan di Desa Karangsari bisa diredam.

Sumber :

1. Penelitian Novi Tri Ayuningsih dan Fita Nur Barokah dari SMA Negeri 1 Sampang Kabupaten Cilacap tahun 2017.

2. Penelitian Kusumaning Tyas Fudiana dari SMA Negeri 1 Maos Kabupaten Cilacap tahun 2021.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image