Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image niqi carrera

Mampukah Program PEP Menjadi Solusi Di Tengah Krisis?

Olahraga | Wednesday, 06 Jul 2022, 09:49 WIB

Menteri Sosial, Tri Rismaharini mendorong 1.500 ibu keluarga penerima manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) untuk berani mengubah nasib lewat berwirausaha. Hal disampaikan Risma—sapaan akrab Mensos—dalam acara Sosialisasi Penguatan Perekonomian Subsistem sebagai Upaya Perekenomian Masyarakat di pendapa Kabupaten Malang, Jawa Timur (Jatim), Sabtu (25/6/2022) (nasional.kompas.com, 26/06/2022).

Kebijakan ini disodorkan Risma agar Malang bisa meraih kesuksesan sebagaimana program Pahlawan Ekonomi Surabaya. Tentu ibu-ibu sangat antusias, apalagi didampingi oleh Bank Indonesia dalam hal permodalan. Namun apakah program pemberdayaan ekonomi perempuan (PEP) tersebut akan sukses? Mengingat hari ini banyak startup yang “lesu”, bahkan ada 60 negara yang sedang terancam bangkrut akibat dampak pandemi dan krisis global.

***

Pandemi Covid-19 telah menyibak kerapuhan dan kebobrokan sistem Kapitalisme secara global. Kengerian badai krisis ekonomi dunia sudah di depan mata. Banyak perusahaan besar maupun kecil tutup, pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-mana. Data kemiskinan otomatis juga merangkak naik.

Borok kapitalisme ini perlu ditambal agar tak tampak buruk. Maka perempuan atau istri kemudian dibidik oleh para feminis untuk ikut membantu suaminya, agar roda ekonomi rumah tangga kembali berputar. Dibuatlah program PEP dengan narasi yang apik sehingga perempuan antusias mengikutinya.

Dapur bisa jadi kembali mengebul. Namun, ketika perempuan keluar dari rumah-rumah mereka, datanglah problematika baru. Di mana yang biasa kalangan feminis sebut dengan peran ganda atau double burden; bahkan sekarang menjadi triple burden. Perempuan saat ini dikungkung dengan beban rangkap tiga, yaitu sektor reproduksi, komunitas dan produksi.

Sektor reproduksi yang dimaksud berhubungan dengan pekerjaan domestik rumah tangga dan pengasuhan anak. Sektor komunitas berkenaan dengan peran perempuan di ruang sosial. Adapun sektor produksi adalah peran yang harus dijalankan di tempat kerjanya. Jika kebijakan dari perusahaan tempat kerja kurang bersahabat dengan perempuan maka akan menimbulkan masalah baru.

Sebenarnya fakta sudah menunjukkan dengan jelas di mana pun dan pada situasi apa pun, konsep PEP yang diusung kaum feminis ini tidak membawa kebaikan apa pun. Bahkan tidak memberikan solusi yang baik, dan hanya menambah panjang daftar permasalahan yang dialami perempuan.

Bayangkan saja, perempuan dengan kodratnya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga kemudian “dipaksa” untuk bekerja bahkan menjadi ujung tombak ekonomi keluarga. Seperti memaksa ikan laut berenang di air tawar. Hal ini justru membebani perempuan dengan sesuatu yang seharusnya bukan menjadi tugasnya. Kemuliaan seorang perempuan juga tak lagi terjaga dengan baik.

***

Konsep peningkatan jumlah pengusaha untuk mendongkrak ekonomi Negara tentu saja merupakan ide yang hebat. Namun, kita harus tahu penyebab runtuhnya berbagai sektor ekonomi hari ini sehingga pengusaha yang dilahirkan nantinya tidak terlalu dini mengalami gulung tikar.

Penyebab utama runtuhnya berbagai sektor ekonomi dunia tentu adalah adanya kebijakan lockdown. Kebijakan ini mewajibkan semua orang untuk hanya tinggal di rumah. Ini jelas langsung menekan sektor usaha apapun. Berbagai sektor jasa yang biasanya menjadi mesin uang raksasa, seperti jasa di bidang transportasi, pariwisata, dunia hiburan, maupun bisnis kreatif, langsung ambruk.

Dalam dunia ekonomi yang modern seperti sekarang ini, satu sektor dengan sektor yang lain tentu akan saling berkelindan. Apabila sektor penjualan langsung (ritel) tumbang, misalnya, maka akan berpengaruh pada sektor produksi yang biasa menjadi penyuplai dari sektor tersebut. Apabila sektor produksi pailit, berbagai sektor yang sebelumnya menjadi penyalur bahan baku bagi sektor produksi tersebut tentu akan ikut terjerumus dalam kebangkrutan.

Efek selanjutnya tentu pada sektor ketenagakerjaan. Terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Besarnya angka pengangguran tersebut kemudian akan berpengaruh pada menurunnya daya beli masyarakat. Apabila daya beli masyarakat secara umum mengalami penurunan, maka sektor perdagangan akan semakin anjlok.

Konsekuensinya jika sektor rumah tangga dan perusahaan itu lumpuh, berikutnya akan berdampak kepada pemerintah. Mengapa? Jika dua sektor itu ambruk, maka akan menyebabkan gagal bayar pajak. Sehingga pemerintahan akan ikut pailit karena pembayaran pajak yang menurun drastis. Demikian seterusnya. Inilah yang disebut dengan efek domino.

Jika dilanjutkan efek domino ini, bangkrutnya sektor real tentu akan berimbas pada sektor non real. Yakni sektor perbankan dan pasar modal. Sektor perbankan, misalnya, tugasnya adalah sebagai badan intermediasi yang akan mewadahi dana dari sektor rumah tangga, kemudian dialirkan ke sektor perseroan melalui sistem kredit. Jika sektor perusahaan jatuh, maka akan berlaku kredit macet di mana-mana.

Dampaknya, perbankan akan kehilangan likuiditas. Ini akan berpengaruh pada habisnya dana sektor rumah tangga yang telah dibayarkan ke perbankan. Demikian juga dengan pasar modal. Jika simpanan dari sektor rumah tangga sudah banyak yang lenyap akibat ambruknya bisnis di sektor real, selanjutnya ini akan menyebabkan bisnis di pasar modal juga akan lemah, karena kehilangan pembelinya.

Kita tentu sudah memahami bagaimana karakter dari perekonomian yang modern di alam kapitalisme bercirikan dengan maju nya sektor non riil, baik di sektor perbankan maupun di pasar modal. Fakta peredaran uang di sektor non riil jauh lebih besar dibandingkan dengan peredaran uang di sektor riil. Terdapat kurang lebih 90% uang yang beredar di sektor non riil. Maknanya uang yang berputar di sektor riil hanya sekitar 10%.

Jika hanya sepuluh persen yang berputar pada sektor real, maka nilainya akan lebih kecil lagi untuk UMKM yang dibangun di atas sistem kapitalisme. Inilah faktor utama mengapa UMKM akhirnya sulit untuk berkembang, bahkan untuk bertahan di tengah pandemi saja sangat berat. Disinilah butuh sistem ekonomi yang kuat, agar UMKM dapat tumbuh subur sehingga hingga melejitkan nilai ekspornya.

***

Selama sistem ekonomi kapitalis yang dipakai, krisis akan terus repetitif bahkan dalam kurun waktu yang lebih singkat seperti peristiwa the great depression tahun 1930, tahun 1960an. Siklusnya 30 tahunan. Krisis-krisis selanjutnya terus berulang hampir tiap 10 tahun seperti tahun 1970an, 1980an, dan tahun 1998. Ini tentu membuktikan bahwa sistem ekonomi kapitalis memang sudah memiliki aib sehingga krisis merupakan suatu keniscayaan.

sumber: membuat sendiri dengan aplikasi canva

Dengan demikian untuk menyelamatkan dunia dari krisis berulang , kita harus menghentikan penerapan sistem ekonomi kapitalis, dan itu hanya dengan menggantinya dengan sistem ekonomi alternatif yang diturunkan olah sang Pencipta. Yaitu syariat Islam.

Ekonomi Islam tidak memberi sedikitpun celah pada ekonomi non riil. Seratus persen roda ekonomi bergerak di atas ekonomi riil. Sehingga UMKM dapat bernapas sangat lega dan didukung penuh oleh Negara. Lapangan kerja terbentang luas untuk para laki-laki atau suami. Akhirnya perempuan tidak lagi diwajibkan bekerja atau menjadi tulang punggung keluarga. Kesejahteraan rumah tangga dapat kembali tercapai dalam sistem ekonomi Islam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image