Maladministrasi Pintu Korupsi: Benarkah Bukti dari Kegagalan Penerapan Hukum?
Politik | 2022-07-02 20:43:58
A. Mengenal Administrasi Publik
Administrasi publik merupakan suatu ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang berhubungan dengan publik yang mencakup organisasi publik, kebijakan publik, manajemen publik, dan pelayanan publik. Tidak dapat dipungkiri, tujuan utama administrasi publik ialah agar dapat mencapai tujuan negara sesuai dengan keinginan publik yang mencakup keamanan, kesejahteraan, dan keadilan.
Untuk mencapai tujuan administrasi publik tersebut, butuh figur yang dapat mewujudkannya. Figur itu disebut sebagai administrator, seperti seorang pegawai negeri sipil, polisi, dan pembuat kebijakan publik.
Menurut William L. Morrow, terdapat teori Asumtif yang memusatkan perhatiannya pada usaha-usaha untuk memperbaiki administrasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, teori asumsi berusaha memahami hakikat manusiawi yang terjadi pada lingkup birokrasi. Pada kenyataannya setiap administrator publik memiliki asumsi operasional mengenai hakikat manusia dan kesetiaannya institusionalnya. Serta, perbaikan administrasi akan bergantung pada kemampuan ilmu-ilmu sosial dan perilaku.
Walaupun seorang administrator adalah aktor utama dalam mewujudkan tujuan administrasi publik, tidak menutup kemungkinan juga pelaksana administrasi ini melakukan tindakan pelanggaran yang merugikan untuk orang banyak dan disebut sebagai maladministrasi. Tindakan tersebut terjadi pada dua kemungkinan, sistemik dan humanitik.
Sistemik yang dimaksud disini adalah pelanggaran yang terjadi pada sistem hierarki dari pejabat yang atas hingga ke bawah. Contohnya adalah kasus korupsi yang dilakukan salah satu pejabat dan dilindungi oleh pejabat lainnya (misalnya seorang hakim) sehingga hukuman penjaranya dikurangi. Berbeda dengan humanitik, humanitik terjadi dengan tidak melibatkan pihak lain, contohnya bila ada seseorang yang terlibat korupsi disebuah instansi, akan dihukum sesuai regulasi dan ketika sudah dihukum permasalahan korupsi itu akan berkurang.
B. Korupsi dan Maladministrasi
Berbicara mengenai maladministrasi, itu merupakan kegiatan koruptif dalam penyelenggaraan pemerintah yang merupakan gerbang masuknya tindak pidana korupsi. Seluruh tindakan suap-menyuap pasti diawali dengan maladministrasi. Tidak ada korupsi yang terjadi secara tiba-tiba. Korupsi merupakan pangkal dari maladministrasi, baik itu berupa penundaan pelayanan, penyimpangan kewenangan, dan keberpihakan terhadap sesuatu atau orang-orang tertentu.
Dengan begitu, sudah jelas bahwa korupsi dan maladministrasi merupakan perbuatan menyimpang dan dilakukan oleh orang yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan tugas tertentu yang berkaitan dengan negara.
C. Administrator sebagai Pelaku Rasuah?
Tindak rasuah dapat terjadi pada siapa saja yang memiliki uang, jabatan, dan kekuatan termasuk para penegak hukum, misalnya Polsi Republik Indonesia.
Polri yang memiliki fungsi dan tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat, serta melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pada kenyataannya, ada saja oknum anggota polri yang masih melakukan tindakan rasuah padahal sudah jelas itu berbanding terbalik dengan fungsi dan tugas pokoknya. Akan menjadi nilai minus apabila penegak hukum melakukan pelanggaran hukum, masyarakat juga akan membuat stigma yang buruk dan kurangnya rasa kepercayaan terhadap polri, serta menunjukkan lemahnya hukum pada internal lembaga tersebut.
D. Contoh Kasus Korupsi Induk dari Maladministrasi
Salah satu anggota Polri (AKBP Brotoseno) dalam kasus tindak pidana korupsi pada tahun 2016 sebesar 1,9 Miliyar Rupiah. Uang tersebut sebagai bukti praktik pemerasan dalam penyidikan korupsi cetak sawah di Ketapang, Kalimantan Barat. AKBP Brotoseno yang pernah menjabat sebagai Kepala Unit III Subdit III pada Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dirtipikor) Bareskrim Mabes Polri ditangkap pada 2017 dan diberi hukuman kurungan selama 5 tahun penjara, tetapi pada 2020 ia bebas setelah mendapatkan remisi. Selain itu, ia hanya diberi sanksi demosi yang sesuai dengan peninjauan kembali hasil sidang etik. Sanksi demosi yang dimaksud adalah pelepasan jabatan dan penurunan eselon serta pemindahtugasan ke jabatan, fungsi, atau wilayah berbeda. Hukuman demosi ini diberikan oleh Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Irjen Ferdy Sambo yang menyampaikan bahwa AKBP Brotoseno tidak dipecat karena dinilai berprestasi selama menjadi anggota Polri.
E. Opini Penulis terkait Kasus Tersebut dan Kesimpulan
Mengkritisi kasus tersebut, penulis menyimpulkan seakan-akan terjadi suap di dalam suap. Bagaimana tidak? Menurut Indonesian Corruption Watch, anggota Polri yang tertangkap tangan melakukan korupsi harus diproses secara berlapis, secara administratif dan pidana. Pada kenyataannya, sanksi yang diberikan tidak sebanding dengan regulasinya.
Dalam regulasi administrasi, hukuman bagi oknum polisi yang melakukan tindak pidana korupsi harus dipecat atau dicopot jabatannya sebagai anggota polri. Hal itu diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Displin Anggota Kepolisian Republik Indonesia. Jika dilihat dari kasus anggota polri di atas, hukuman yang diberikan adalah sanksi demosi yang tak sebanding dengan regulasi sebab anggota polri tersebut dianggap berprestasi. Hal itu termasuk dalam maladministrasi atau penyelewengan administrasi karena telah ditentukan bahwa setiap tindak pidana korupsi atau pungli harus dipecat dari keanggotaan.
Apabila tidak pecat, seolah-olah pihak polri tidak memiliki anggota lagi yang lebih baik yang tidak pernah melakukan tindak rasuah. Selain itu, akan terjadi stigma buruk terhadap polri karena masih mempertahankan personel yang bermain kotor.
Sebanyak apapun prestasi anggota polri tersebut, jikalau terlibat rasuah harus dihukum sesuai dengan peraturan yang ada karena tidak ada yang bisa menjamin bahwa anggota tersebut tidak melakukan korupsi lagi setelah diberikan sanksi demosi. Apalagi beliau tertangkap tangan ketika sedang melakukan penyidikan korupsi cetak sawah di Ketapang, Kalimantan Barat.
Menurut penulis, perilaku maladministrasi dan korupsi merupakan masalah yang timbul akibat sistem yang dianut sekarang. Sistem yang menganut asas kebebasan. Sistem yang dianggap bagus, tetapi tanpa penerapan regulasi hukum yang jelas. Di satu sisi, memang betul masyarakat dapat bebas mengeluarkan aspirasinya dan menuntut agar pihak yang korupsi dituntut dengan seadil-adilnya. Akan tetapi, kasus korupsi yang terjadi pada pejabat adalah kasus sistemik, pendapat masyarakat akan dibungkam dan pihak yang berkuasa berhak menentukkan hukuman bagi pelaku walaupun itu tidak adil. Kalaupun sistem ini merupakan sistem yang terbaik, mengapa masih banyak permasalahan yang ditimbulkan dari sistem ini?
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
