Puisi Populer Puisi Jelek?
Sastra | 2021-10-28 17:10:56Saat saya masuk ke jurusan Sastra Indonesia di salah satu universitas negeri, saya pertama kali diperkenalkan dengan pembagian-pembagian angkatan atau periode sastrawan-sastrawan Indonesia. Kami diajarkan mengenai distingsi antara sastra melayu lama dan sastra indonesia modernâyang baru lahir tak lebih dari seabad lalu pada tahun 1920-an, angkatan Balai Pustaka. Dalam kegiatan belajar dan mengajar ini lah, sosok dan pengaruh para patron sastra sangat terasa, terutama sang Paus Sastra yang menjadi rujukan utama dalam penggolongan-penggolongan kesusastraan kita ini, H.B Jassin.
Dari awal saya sudah merasa bahwa pembagian ini terlalu membatasi dan mengotak-ngotakkan. Sastra yang sejatinya adalah cabang seni yang sangat dinamis, terlalu luwes untuk digolong-golongkan sesuai dekade lahirnya. Sapardi Djoko Damono, misalnya, yang secara textbook masuk ke dalam periode Angkatan 1966, sampai akhir hayatnya tahun lalu masih aktif di dunia kesusastraan Indonesia. Dan beliau bukan sebuah pengecualian untuk seorang sastrawan yang pengaruh dan kehidupan sastranya melampaui penggolongan periodisasi itu.
Sekarang saya sudah menginjak semester 5 di program studi saya, dan mendapat sebuah mata kuliah yang akhirnya mendobrak kekhawatiran saya ini, yakni mata kuliah Teori dan Sosiologi Sastra. Dari sini saya mendapati bahwa sastra sejatinya lahir dari lingkungannya, dari status sosial pengarangnya, proses produksi dan distribusinya, siapa pembacanya, bahkan, dari profesi yang diemban sang pengarang di samping menjadi penulis. Dan sastra, puisi-puisi, lahirâjuga tidak lahirâdi bawah pengaruh sebuah hegemoni (dominasi) yang berlaku di tempat dan waktu lahirnya. Sastra dipengaruhi oleh iklim politik di sekitarnya, dan secara bersamaan, sastra juga memproduksi iklim politiknya. Patronase, entitas yang memiliki kuasa untuk mempengaruhi iklim tersebut, sejatinya merupakan sebuah bentuk hegemoni juga.
Para patron memiliki kuasa untuk mempromosikan karya sastra yang mereka anggap layak, menyanjung yang mereka anggap agung, mengutuk yang mereka anggap jelek, atau mengubur karya sastra yang tak sesuai dengan ideologi mereka. Dalam diskusi saya bersama dosen dan teman-teman di mata kuliah Teori dan Sosiologi Sastra, kami sepakat bahwa iklimâatau lebih tepatnya industriâsastra sudah melewati fase-fase bergantungnya terhadap patron-patron individual. Walau, periodisasi yang digagas tokoh-tokoh seperti H.B Jassin atau Ajip Rosidi masih sering dipakai untuk memudahkan pengenalan sastrawan-sastrawan dan zaman yang ditempatinya.
Maka sampailah kami pada sebuah pertanyaan, yang mungkin tidak dapat kami jawab sendiri. Apakah iklim sastra kontemporer kita ini baik-baik saja?âkalau boleh bertanya seperti itu.
Saya ingin mengutip essay sastra (2016) Mikael Johani, seorang pujangga dan kritikus sastra dari Jakarta, bahwa patron-patron sastra kini tak (perlu) berbentuk satu individual sahaja. â..ada Khatulistiwa Literary Award, ada rak-rak best seller di Gramedia, ada Instagram dan Twitter yang melahirkan Instapoets dan beribu-ribu kalimat mutiara siap-retweet yang niscaya diakui sebagai puisi jika followersmu lebih dari 100k,..â. Bahkan, melalui media sosial dan dipandu oleh algoritma yang tak jelas gimana kerjanya, pembaca menjadi entitas patron tersendiri. Menurut Junus (melalui Wiyatmi, 2013) penerbit telah menggantikan fungsi parton (pelindung atau induk semang), tetapi dengan tujuan yang berbeda dengan patron, yaitu untuk mencari keuntungan.
Konsekuensi dari hegemoni rezim kapitalisma dan ekonomi neo-liberal, ranah sastra pun harus beruang. Kembali ke essay Stop asking is this puisi, no oneâs interested in your answer-nya Mikael Johani, ia menutupnya dengan, âKanonisasi Puisi (dan sastra) Indonesia adalah ranjang yang rawan kekuasaanâtidak jelas siapa yang paling berkuasa, pembacakah? Gramediakah? Kompas dan Kortem Minggukah?âdan zonder kejelasan.â
Sekarang pertanyaannya jadi: di sebuah iklim kesusastraan yang berorientasi pada media sosial dan moneterial, yang lepas dari patronase individual, apakah puisi-puisi kita jadi semakinâjelekâ?
Pertama-tama, mungkin kita harus menentukan, apakah ada puisi yang dapat dituduh sebagai "puisi jelek"? Adilkah untuk menghakimi suatu bentuk ekspresi manusia sebagai ekspresi yang tidak valid, yang tidak sesuai sebuah standar yang sejatinya tidak bisa kita baku-kan? Apapun jawabannyaâya atau tidakâtentu kita tidak dapat dengan naif mengatakan bahwa semua puisi itu bagus. Pasti kita pernah sesekali, melihat puisi yang muncul di akun-akun puitika media sosial populer, yang membuat kita meringis atau mengatakan âapaan sih?â di dalam hati.
Faktanya, puisi-puisi populer yang ada di iklim kesusatraan kita biasanya malah meraih kesuksesan engagement yang besarâtentunya mereka populer karena suatu alasan. Dalam ranah ini, saya dapat menyebutkan sosok Fiersa Besari, atau Rintik Sendu, yang dari puisi-puisi (populer) mereka mengangkat nama-namanya menjadi lebih daripada sekadar pseudonim, mereka adalah brand.
Jadi, apakah yang dikatakan oleh fenomena ini? Dengan bimbingan (hegemoni) algoritma media-media sosial, patronase penerbit dan toko buku, akhirnya para pembacaâkitaâmengedepankan perkembangbiakan puisi-puisi yang mudah dicerna, yang kurang berbobot, dan puisi-puisi yang mudah dijual.
Mengenai keprihatinan ini, saya biasanya langsung berpaling ke salah satu filosof favorit saya, Theodor Adorno. Adorno menyebutkan (melalui Hulatt, 2018), kultur populer kapitalistisâyang di dalamnya termasuk pula puisi-puisiâmemanipulasi kita untuk menjalani kehidupan yang hampa, dan untuk membengkokkan minat sejati kita. Kultur populer, ujarnya, bukan lah ekspresi manusia yang spontan, namun sebuah industri yang berkutat pada keuntungan.
Yang paling gawat, menurut Adorno, adalah bagaimana kultur populer âmerampokâ aestethic freedom kita. Yakni dengan menyamarkan produk-produkâbukan seniâmereka sebagai kenikmatan estetika yang sesungguhnya. Industri kultur populer seringkali mengambil suatu penggalan dari satu karya yang utuh, dan menjualnya secara terpisah-pisah. Dalam industri film kita dapat melihatnya pada trailer-trailer yang menunjukan penggalan-penggalan sebuah film, sebagai suatu keutuhanâyang sebenarnya tak bisa dipisah-pisahâdan mengompilasinya untuk keperluan pemasaran. Dalam kesusastraan kita dapat melihatnya pada akun-akun Instapoets yang seringkali mengutip sebuah sajak dan menampilkannya sebagai sebuah penggal-penggalan. Memisahkan penggalan dari keutuhan estetikanya, agar mendapat repost dan ribuan like tiap unggahannya.
Ya, puisi-puisi populer tidak sejatinya jelek. Setiap blanket statement pasti punya pengecualian. Dan kita sepatutnya membiarkan orang-orang untuk menyukai apa yang mereka sukai. Namun, bagi saya, kebebasan untuk mencintai juga dibarengi dengan kebebasan untuk membenci. Bukan membenci untuk sekadar mengutuk atau agar terlihat edgy. Tapi untuk menolak untuk dibodohi oleh hegemoni kultur populer di ranah kepuisian kita, dan untuk menjadi seorang patron terhadap puisi-puisi yang kita baca untuk kita sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.