Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Riva Sahri Ramdani, SE., S.Pd.

Akhir dari Lelah

Sastra | Friday, 24 Jun 2022, 16:19 WIB

Maria Noer Rahmah

@rahmahmarianoer

sumber foto: Republika

Namanya Rembulan Cerano panggil saja Bulan, dia adalah seorang gadis yang sangat menggemari sejuknya angin malam yang di sertai dengan cahaya indah dari sang dewi malam, dia sangat menyukai ketenangan setelah seharian penuh dia di hadapkan pada situasi yang amat menyita waktu dan masa remajanya yang seharusnya indah dan seharusnya menjadi suatu momen yang akan sangat ia kenang di kemudian hari, namun gadis ini menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk belajar, belajar dan belajar. Dia tumbuh menjadi gadis yang di paksa dewasa oleh keadaan, terkadang kedua orang tuanya lebih mementingkan pekerjaannya dibandingkan dengan anak mereka sendiri, bagi mereka uang adalah segalanya dan anak yang cerdas adalah suatu keharusan sehingga mereka memasukan anaknya ke les-les terbaik tanpa mempedulikan kesehatan fisik dan mental sang anak. Maka disinilah cerita gadis bernama Rembulan Cerano yang selalu di tuntut untuk menjadi sempurna.

--o0o--

"Ma lihat! Bulan dapet piala sama mendali perak di olimpiade sains kemarin!" seru gadis yang berlari riang menuju sang Ibu yang tengah terfokus pada pekerjaannya.

"Kamu tuh ya! Gak lihat saya lagi ngapain?" bentak Reana, sang Ibu seraya melirik ke arah Bulan malas.

"T-tapi Ma, ini hasil kerja keras Bulan." ucapku gemetar seraya menyimpan pialaku diatas meja kerja Reana.

"Kamu bilang ini bagus?! Kamu bisa gak sih sekaliii aja banggain Mama?, kenapa coba kamu nggak bisa kayak abang kamu? Nyesel saya rawat kamu, anak nggak tahu di untung!" bentak Reana seraya melempar piala tersebut hingga hancur berserakan.

"Harus juara 1 ya Ma? Tapi ini hasil kerja keras Bulan, sepenting itu ya nilai dibandingkan kesehatan aku?" ucapku parau seraya mengumpulkan potongan dan serpihan piala tadi, dan berjalan gontai menuju kamar.

--o0o--

"Bulan ini Abang, boleh masuk gak?" tanya seseorang diluar seraya mengetuk pintu pelan.

"Bulan lagi belajar Bang Bin, biar lain kali Bulan bisa lebih banggain Mama." jawabku seadanya.

"Istirahat dulu aja, nih Abang beliin kamu martabak yang extra keju, kan ini kesukaan kamu, kita makan bareng ya?" bujuknya seraya membuka sedikit demi sedikit pintu kamar.

"Abang Bintang..., kan Bulan udah bilang kalo Bulan lagi belajar, biar nanti kalo ada olimpiade lagi Bulan bisa juara 1, biar nggak dimarahin Mama sama Papa, Bulan udah cape Bang, daritadi Mama marahin Bulan terus, Abang pernah rasain gak sih? Oh iya... Bulan lupa Abang kan anak kesayangan Mama sama Papa, jadi nggak mungkin lahh yaa ngerasain kayak gitu.”

"Hush, udah jangan dilanjutin, sini nangis aja sama Abang, maafin Abang ya cantik? Kamu pasti bisa Abang tau itu," ujar Bintang yang tiba-tiba memelukku yang tengah mengerjakan sesuatu di meja belajar.

"Dih, apa sih Bang? Bulan nggak nangis kok, Bulan kan udah gede, kata Mama juga jangan cengeng." ucapku yang tengah menahan tangis.

"Enggak, bagi Abang kamu masih adik kecil kesayangan Abang."

kilahnya cepat.

"Iya itu kan kata Abang, tapi kata Mama sama Papa enggak, bahkan mereka nggak mau Bulan ada, segitunya ya Bang?" ucapku dengan suara yang bergetar dan akhirnya tangisnku pun pecah begitu saja.

"Kamu kuat Bulan, Abang tau kamu pasti kuat," ujar Bintang semakin mengeratkan pelukannya.

"Bulan cape Bang, mungkin meskipun nanti Bulan pergi, Mama sama Papa pasti gak bakal peduli sama Bulan." monologku di sela-sela air mata yang kian menderas.

"Hush...., gak boleh ngomong gitu, Abang ada disini buat kamu, tolong bertahan buat Abang ya Bulan?" pinta Bintang seraya mengusap air mata yang turun dari pipi adiknya.

--o0o--

Dengan langkah gontai aku pun memasuki ruang les dan duduk ditempat yang biasa aku tempati.

“Astaga kamu kenapa?” tanya seseorang yang duduk di dekatku.

“Aku nggak apa-apa.” jawabku seraya tersenyum kearahnya seraya menutup hidungku yang sudah dipenuhi dengan darah, “Bu, saya izin ke kamar mandi.” pamitku yang langsung mendapat persetujuan darinya, aku pun langsung keluar dari ruangan diikuti gadis yang meminta izin.

“Pulang aja ya Lan?” ucap gadis itu melihat name tag milikku seraya memberikan beberapa helai tissue padaku.

“Bentar lagi juga pulang kok, lagian habis ini aku mau jenguk Nenek ke rumah sakit, makasih,” jawabku seraya tersenyum dan menerima tissue darinya.

“Berangkatnya sama siapa? Aku antarin ya?” tawarnya.

“Gak usah repot-repot, lagian nanti aku berangkat bareng sama Abang kok.” jawabku berbohong.

“Kalo gitu mendingan kita kabarin Abangmu itu dulu,” sarannya masih setia memberikan beberapa helai tissue padaku.

“Tapi kayaknya Abang aku masih kuliah jadi ayo kita balik aja kesana, entar Bu Lyora bakal marah.”

“Nggak bakal Bulan, pasti beliau mengerti kok sama keadaan kamu sekarang” nasihatnya.

“Nggak usaha Dara bentar lagi pulang kok, lagian aku udah biasa kayak gini, udah yuk” ujarku seraya menarik tangannya keluar dari kamar mandi.

--o0o--

“Nek, Bulan harus gimana?” tanyaku pada diriku sendiri seraya berjalan menuju rumah sakit yang memang tidak terlalu jauh dari tempat les, hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk berjalan.

“Lan!” panggil seseorang dari belakang.

“Langit? Ngapain disini?” tanyaku pada Langit yang mengendarai motornya.

“Lah harusnya gua yang nanya, lu ngapain disini? Yang gua tau rumah lu bukan ke arah sini.” ujarnya.

“Aku mau ke rumah sakit jenguk Nenek.” jawabku tanpa melihat kearahnya.

“Bareng gua mau? Sekalian gue disuruh nyokap kesana.” ajaknya.

“Ibu kamu sakit?” tanyaku polos.

“Kagak, nyokap gua dokter, udah yuk cepetan.” jawabnya.

“Gak usah makasih, nanti aku ngerepotin, lagian bentar lagi juga nyampe kok.” tolakku cepat.

“Udah lu nggak repotin kok yuk buruan.” ucap Langit gemas seraya membawa tas Bulan dengan sedikit paksaan.

--o0o--

“Gua mau ke ruangan nyokap dulu, lu bisa sendirikan?” tanya Langit memastikan.

“Ya bisalah, orang aku bukan anak kecil,” jawabku seraya menghampiri resepsionis rumah sakit.

“Loh kok kamu masih disini?” tanyaku kebingungan melihat Langit yang masih di tempat semula.

“Ya terserah gua lah.” jawabnya dengan muka menjengkelkannya.

“Oh, ok.” ujarku tak ingin memperpanjang seraya mengikuti arah jalan sang petugas, namun Langit tetap mengikutiku dari belakang.

“Eh anak Bunda udah pulang?, cie yang seminggu lagi mau sweet seventeen.” Ujar seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan Nenek.

“Hmm, udah.” jawab Langit singkat.

‘sweet seventeen? Langit ulang tahunnya sama kayak aku?, dua puluh empat Juni?’ tanyaku dalam hati

“Eh kamu pasti Bulan cucunya Nek Lestari ya?”

“Eh, iya dok.” Jawabku setelah tersadar dari lamunanku.

“Kamu ingat saya nggak?” tanyanya padaku.

“Dokter Noteria?” jawabku memastikan.

“Iya, syukurlah kalau kamu ingat, muka kamu bikin saya inget sama anak saya, kembarannya Langit.” ujarnya seraya tersenyum.

“Udah bun, kasian Bulan mau jenguk Neneknya bukan ngobrol sama Bunda.” ucap Langit kesal.

“Ah iya Bunda jadi lupa, keadaan Nenek kamu memang sudah membaik, namun masih harus melakukan terapi rutin setiap minggunya.” ujar dokter Noteria seraya tersenyum yang membuatku seperti sudah mengenalnya lama.

“Makasih dok, udah rawat Nenek Bulan.”

“Sama-sama, oh iya, panggilnya Bunda aja ya sayang?” ujarnya .

“Dih bunda sokab banget sih” ucap Langit malas.

“Ya gapapa lah, emang kenapa? Bunda jadi curiga kalau kamu lagi PMS.” candanya pada anak sulungnya.

“Ish! Langit cowo ya, kalau Bunda lupa.” gerutunya.

“Iya tau kok, Bunda cuman canda doang, ya udah Bunda pamit dulu ya Bulan?,” ujarnya seraya merangkul pundak Langit akrab.

--o0o--

“Nenek?” sapaku seraya membuka pintu pelan-pelan.

“Bulan?, akhirnya kamu datang juga nenek kangen banget sama Bulan, Nenek kira Bulan udah lupa sama Nenek.” ujar Nenek seraya berusaha duduk yang refleks membuatku berlari membantunya untuk duduk.

“Maafin Bulan ya Nek jadi jarang kesini, Bulan disuruh buat belajar soalnya bentar lagi kan Bulan mau ujian, jadi ya Bulan jarang ada waktu kesini, maafin Bulan ya Nek?”

“Tapi nanti kalo ujiannya udah beres sering-sering kesini ya?” tanyanya memastikan.

“Iya Nek.” jawabku meyakinkannya.

“Kayaknya kalau waktu itu di jalan nggak ada kamu, mungkin aja Nenek nggak bakal sesehat sekarang, maaf ya jadi repotin kamu sama Bintang.” ucapnya seraya menggenggam tanganku erat-erat.

“Nggak apa-apa Nek, lagian Bulan sama Abang juga udah nganggep Nenek keluarga kok, jadi Nenek jangan ngerasa ngerepotin ya? Sekarang fokus aja sama kesehatan Nenek sendiri, Bulan janji bakal rawat Nenek sampe sembuh.” ucapku seraya tersenyum lembut.

Aku pun hanya menghabiskan waktu dengan mengobrol bersama Nenek, seketika segala masalah dan kekhawatiranku hilang sehingga aku tak menyadari sedari tadi seseorang mencoba menghubungiku.

--o0o--

Aku merasakan getaran dari saku rok yang membuatku cepat cepat mengambilnya dan segera berteduh di halte terdekat. Langit sudah mulai gelap, rintik hujan pun mulai turun.

7 panggilan tak terjawab dari BangBintang.

BangBintang:

Lan,bisa pulang dulu nggak?

Abang butuh kamu

“Abang?”setelah membaca semuanya aku pun langsung menghubunginya namun tak ada 1 panggilan pun yang tak terjawab yang membuatku semakin khawatir.

--o0o--

Bintang POV

“Darimana aja kamu Reana? Jam segini baru pulang, dapet berapa hah?” Tanya laki laki yang menatap Mama marah seraya menamparnya cukup keras.

“Pah!” sentakku yang masih memeluk tubuh Mama yang menangis dan bergetar hebat

“Apa? Kamu udah berani bentak Papa, Bintang?” tanyanya penuh amarah.

“Bukan itu maksud Bintang, Papa bisa kan bicarain baik-baik?”

“Ibu kamu itu jalang Bintang! JALANG.” ujar Papa penuh amarah seraya menunjukan foto Mama dengan pria lain tengah bermesraan di sebuah tempat hiburan malam.

“Ma?” tanyaku pada Mama dengan tatapan yang meminta penjelasan.

“Cukup sampai sini Reana, kita cerai!” ucap Papa akhirnya.

“Mas Faisal, aku bisa jelasin!” ujar mama seraya bangkit dan memegang kaki Papa namun ditepis kasar olehnya, dan beralih menatapku

“Mama bisa jelasin kok sayang,” ucapnya seraya menatap kearahku dengan wajah yang penuh luka lebam serta darah yang mulai mengering.

“Ahaha, akhirnya pertanyaan Bintang tentang kejadian 16 tahun lalu baru terungkap sekarang.” Monolognya dan langsung kehilangan kendali.

--o0o--

Flashback ON

16 tahun yang lalu

PRANG!

Saat itu hujan deras turun dan keadaan rumah begitu berantakan, pecahan kaca ada dimana-mana, terdengar suara Reana yang sedang menangis kesakitan serta suara tangisan balita yang berumur sekitar 4 tahun sedang memohon pada Ayahnya Bagas agar berhenti melemparkan umpatan-umpatan pada Ibunya Reana.

“Ayah udah, Bintang mohon hiks ” ucap Bintang kecil memohon pada Ayahnya seraya memeluk erat Ibunya yang terluka cukup parah pada bagian betisnya yang mampu membuat Ayahnya tersadar akan perbuatannya.

“Shhh .sakit,” erang ibunya yang terlihat sangat kesakitan.

“I-ibu, Yah kaki Ibu berdarah hiks! ” ucap Bintang kecil tetap menangis karena melihat Ibunya Reana yang begitu terlihat kesakitan dan tak sadarkan diri, ayahnya pun membawa ibunya keluar rumah dan menaiki mobil diikuti Bintang kecil yang duduk disamping ibunya dan masih saja menangis sesenggukan.

“Yah, Ibu sama adik Bintang nggak bakal apa-apa kan?” tanya Bintang disela-sela tangisannya, “Adik bakal selamat kan yah?” Bintang kecil mengulangi pertanyaannya.

“Ibu lagi hamil?”

“Iya, Ayah nggak tau?” tanya Bintang kecil polos, yang dapat membuat Ayahnya kehilangan kendali dan menambahkan kecepatan laju mobilnya, dan

“Ayah, AWAS!” teriak Bintang kecil jeri.

Tinn!!, terlihat mobil melaju kencang dari arah yang berlawanan, Bruk!!

Flashback OFF & Bintang POV end

--o0o--

“Abang?” panggilku yang memutuskan kembali ke rumah sakit dan tak sengaja melihat bajunya yang penuh darah, dan mulai menghampirinya.

“Bulan? Kamu kenapa bisa basah kayak gini?” tanyanya khawatir melihat diriku yang basah kuyup.

“Mama kenapa Bang?” tanyaku balik tanpa menghiraukan pertanyaannya dan wajahnya yang terlihat sangat khawatir.

“Mama tadi pingsan, terus banyak darah disana, Abang juga nggak ingat apapun.” jawabnya berusaha tenang namun terlihat jelas bahwa dirinya sangat khawatir.

“Dengan keluarga pasien bernama Ibu Reana?” tanya dokter yang baru saja keluar dari ruangan Mama tadi.

“Iya dok saya anaknya, bagaimana keadaan Mama saya dok?” jawab Bintang lebih dahulu.

“Oh baiklah, sejauh ini keadaan Ibu Reana lebih baik dari sebelumnya. Namun, kami menemukan masalah pada salah satu ginjalnya yang sepertinya mengalami kerusakan, dan kemungkinan membutuhkan donoran ginjal yang cocok secepatnya, karena jika dilihat dari keadaan Ibu Reana serta luka yang dialaminya, sepertinya penyakit tersebut sudah lumayan lama tinggal di tubuh Ibu Reana tanpa ada tindakan apapun.” jelas dokter tersebut.

“Dokter tolong selamatkan mama saya dok, saya mohon, bila perlu dokter bisa ambil satu ginjal saya,” ujar Bintang seraya menangis.

“Baiklah kalau begitu, saya jadwalkan tanggal operasinya, dan kamu bisa ikut bersama saya untuk pemeriksaan lebih lanjut,” ucap dokter itu seraya tersenyum mengajak Bintang pergi dari depan ruang rawat Mama.

--o0o--

Bulan kembali ke rumah hanya untuk membersihkan badannya dan mengganti baju basahnya sesuai perintah Bintang, seraya menunggu hasil dari pengecekan yamg dilakukan Bintang.

“Gimana Bang hasilnya? Cocok?” tanyaku setelah melihat Abang keluar dari suatu ruangan.

“Nggak cocok.” jawab Bintang lesu dan tampak sangat kelelahan.

“Jadi gimana dong Bang?”

“Dalam waktu satu minggu Mama harus dapet pendonor.” ujarnya lesu.

‘Nanti Bulan cobain check, kalo ginjal Bulan cocok, Bulan janji bakal donorin buat Mama’ ucapku dalam hati, ”Ayo semangat Bang!, nanti pasti ketemu kok.” pada akhirnya itulah yang keluar dari mulutku.

“Iya, berdo’a yang terbaik aja buat Mama.” ucap Bintang seraya tersenyum.

--o0o--

RembulanCerano:

Bagaimana dok, apakah ginjal saya cocok?

DokterSaskia:

Sejauh ini kelihatannya ginjal kalian cocok

Namun sepertinya kamu perlu memperbaiki

nutrisi dengan mengikuti program selama 1 minggu

sebelum melaksanakan operasi

Perhatikan juga kesehatan kamu

RembulanCerano:

Baik dok

DokterSaskia:

Namun resikonya sangat tinggi

Karena kamu sama saja seperti mempertaruhkan

nyawamu, kamu siap dengan kemungkinan

terburuk yang terjadi, Bulan?

RembulanCerano:

Iya saya siap, jika hal itu benar-benar terjadi

Tolong kirimkan ini pada Mama dan keluarga saya

Terima kasih dok

Setelah mengetik pesan dan mengirimkan sesuatu pada dokter Saskia tadi aku pun membuang ponselku asal.

“Pa, kenapa Papa telat ngasih tahu semuanya ke Bulan? Bunda, Ayah kalian dimana?” monologku. Mengingat cerita saat berpapasan dengan Papa di rumah sakit.

--o0o--

Flashback ON

18 tahun yang lalu

Di malam yang tenang dengan dihiasi bulan purnama yang indah di kota Jakarta, seorang perempuan yang tampak tengah menggendong bayi di pangkuannya, dan menyimpannya di sebuah keranjang yang berukuran cukup besar dan mencium keningnya lama, lalu mengeluarkan secarik kertas bertuliskan sebuah nama dan mengetuk pimtu sang pemilik rumah cukup keras dan menekan bel beberapa kali.

“Maafin Bunda sayang, tapi Bunda nggak mau kamu disiksa sama Ayah gara-gara Bunda, maafin Bunda, selamat tinggal bulan purnama Bunda” ujarnya lalu meninggalkan bayi tersebut yang sedang menangis, lalu tak lama kemudian pintu terbuka.

“Mama!, Papa!, sini, ada adek bayi yang lagi nangis!” teriak anak yang berumur sekitar 6 tahun.

“Mana sayang?” tanya Ibunya ikut terkejut dan langsung membawa bayi tersebut masuk dan membaca nama yang tertera di secarik kertas dan disimpan di keranjang tersebut.

‘Rembulan Cerano Purnama’

Flashback OFF

--o0o--

1 Minggu kemudian

“Jantung pendonor berdetak sangat cepat! Cepat beri dia dosis obat bius yang lebih tinggi!” perintah dokter yang tengah kewalahan menangani pasien didepannya.

“Dokter! Pasien mengalami pendarahan yang sangat parah!” ujar salah satu suster yang sedang memantau keadaan pasien lewat monitor yang ada.

“Hentikan pendarahannya!” perintah dokter pada salah satu suster yang tengah membersihkan area operasi.

“Dok! Pasien kehilangan banyak darah, jantungnya semakin melemah, keadaan pasien pun kian memburuk, pasien dalam keadaan kritis,” jelas suster dengan muka yang panik, hendak memasangkan satu labu darah, namun.

Titttt .

“Jantung pasien sudah tak berdetak bagaimana ini dokter?”

“Segera bawa alat pacu jantung! Dan tetap pantau.” ujar Dokter memberikan arahan. Semua usaha telah dilakukan namun EKG tetap bertahan di garis lurus.

“Catat, hari jumat, tanggal dua puluh empat Juni, pukul 14.55, Pasien bernama Rembulan Cerano, meninggal dunia, kabarkan pada keluarganya, segera.” ucap dokter pada suster yang tengah mencatatnya.

--o0o--

1 Tahun kemudian .

“Nggak kerasa ya Bulan, udah satu tahun kamu nggak ada di sisi Abang, udah tenang kan disana?, maafin perlakuan Mama selama ini sama kamu, makasih udah mau berkorban demi Mama. Mama sekarang udah baik-baik aja kayak dulu, Mama sama Papa juga udah rujuk lagi, Nenek juga minta disampein rasa kangen dia lewat Abang, makasih dan maaf buat semuanya yang udah terjadi ya Bulan?, kamu selamanya adik kecil Abang, tenang disana ya perempuan baik nan kuat, love you and see you cantik.” ucap Bintang yang mati-matian menahan air matanya agar tak jauh, berusaha terlihat kuat, seraya menyimpan bunga melati diatas gundukan tanah dan beranjak dari duduknya pergi dari pemakaman.

“Eh Bang Bin, udah mau pulang aja?” tanya seseorang yang juga membawa bucket bunga melati.

“Eh Langit iya nih, Abang udah selesai kok ngobrolnya.” jawabnya.

“Ouh ok Bang, yaudah sekarang giliran Langit ya?, hati-hati Bang.” ujar Langit pada Bintang.

“Iya sip makasih, maafin Abang ya nggak bisa jaga adik kamu baik-baik.” ujar Bintang pada akhirnya.

“Bukan salah Abang kok, ini emang udah takdir dari tuhan.” jawab Langit yang berusaha terlihat tegar di depan Bintang.

“Yaudah Abang pamit dulu, Happy Birthday and graduation Langit, sampein juga buat Bulan Abang lupa tadi.” ujar Bintang seraya meninggalkan Langit.

“Sip.” jawab Langit seraya menuju makam yang bertuliskan nama adiknya yang tak diketahui selama ini. ‘Rembulan Cerano Purnama’.

“Lu tau seharusnya kita sekarang lagi ngerayain ulang tahun sama kelulusan kita bareng-bareng, tapi lu malah pergi duluan, bahkan Bunda sama Ayah pun nggak nyangka ternyata selama ini lu tuh anak mereka dan kembaran sekaligus adik yang gua cari selama ini.” ucap Langit sedikit emosional

“Happy Birthday and Graduation my little sister, sorry and thank you for all. Maafin Bunda yang dulu ninggalin lu gitu aja, maafin juga Ayah yang dulu bikin Bunda harus berbuat kayak gitu, Ayah juga minta maaf gara-gara kelalaian dia lu jadi nggak ada sekarang, mereka nggak bisa kesini soalnya ada pasien yang lebih butuh mereka, tapi nanti mereka nyusul kok, maafin gua juga. Dan makasih untuk semuanya,lu nggak usah merasa bersalah lagi ya cantik, makasih udah bikin sesuatu yang bisa sedikit ngobatin kerinduan kita semua, that’s a beautifull gift, gua yakin lu udah baik-baik aja disana, bahagia disana, tenang disana ya cantik. We LoveYou.” ujar Langit seraya mencium batu nisan milik adiknya itu. : ���r

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image