Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Sudah Enak jadi Pengusaha, Kok Masuk Politik, Pak Jalal?

Politik | Monday, 20 Jun 2022, 17:03 WIB
Dok. pribadi

Seperti dua tulisan saya sebelumnya yang mengangkat kisah tiga sosok inspiratif, yakni Jusuf Hamka, Hotman Zainal Arifin, dan Sjaiful Hamdi Naumin, kali ini giliran Pak Jalal Abdul Nasir. Namanya mungkin kurang populer di linimasa, tetapi kisah hidupnya tak kalah inspiratif dari tiga orang di atas.

Dia adalah owner dari Nibras Corp, sebuah perusahaan garmen busana muslim, brand nya sedang naik daun beberapa tahun terakhir. Saya tidak mengenalnya secara pribadi, selain mendengar kisahnya dari kakak ipar yang kebetulan menekuni usaha busana muslim di bawah bendera Nibras Corp juga di Kota Pekalongan. Sempat bertemu dan menyapa di acara launching Nibras House milik keponakan di wilayah Limpung, Kabupaten Batang, beberapa bulan lalu. Ya hanya ngobrol kurang lebih 15 menitan, termasuk niatannya masuk politik pun dia sampaikan.

Dari cerita mereka itulah saya sedikit tahu tentang Pak Jalal, ya plus browsing-browsing sedikit di internet.

Jangan lihat Pak Jalal hari ini. Tahun 2009, bisnis buku, kaset, Alquran, hingga VCD di bawah bendera Fatahillah yang telah dirintisnya sejak 1999 dalam kondisi bangkrut. Tak cukup bangkrut, usahanya itu juga telah meninggalkan banyak hutang. Siapa tak stres menghadapi situasi semacam ini. Tetapi alih-alih menyerah, Pak Jalal dan istrinya memilih terus berjuang untuk bangkit, menjajal banyak bisnis dan jualan apa saja, mulai seminar, training, asuransi, dan lainnya, semata demi bisa menutup hutang-hutangnya. Proses ini dijalaninya selama kurang lebih dua tahun.

Akhirnya, pintu sukses mulai terbuka melalui istrinya. Temmi Wahyuni. Tepatnya di 2011, Bu Temmy mencoba peruntungan jualan busana muslim hasil rancangan dan jahitan sendiri. Awalnya hanya dengan sistem cash and carry, tapi karena permintaan terus meningkat akhirnya Pak Jalal memutuskan membentuk manajemen, dan Nibras mengembangan jaringan distribusi dengan nama Nibras House. Saat ini, di 2022, mereka telah mengembangkan lebih dari 500 mitra atau Nibras House, yang menjadi rantai distribusi produk mereka di kota-kota di Indonesia.

Salah satu kunci kesuksesan Nibras adalah pada pricing strategy, di mana produk yang dijual rata-rata berharga 200 ribuan alias terjangkau. Padahal dengan kualitas sejenis, brand lain sudah menjualnya di atas 300 ribu. “Kami ingin menjual produk yang murah tetapi tidak murahan,” kata Pak Jalal suatu waktu.

Maka cukuplah untuk menganggap perjuangan Pak Jalal dan Bu Temmi Wahyuni telah mencapai titik sukses. Dalam 10 tahun mereka berhasil membalikkan keadaan, dari bangkrut dan dlilit hutang, menjelma menjadi pengusaha sukses. Kekayaan mereka mungkin lebih dari cukup untuk modal menikmati hidup sampai usia menyenja nantinya.

Loh, sah-sah saja kan jika Pak Jalal dan istri memilih bersantai menikmati masa suksesnya. Toh, mereka telah membayarnya dengan perjuangan yang mungkin memayahkan sebelumnya. Tetapi kesimpulan ini ternyata keliru. Pak Jalal dan Bu Temmi juga ternyata tak ingin menikmati zona nyamannya, berhenti setelah sukses. Mungkin saja mereka mencari tantangan baru, yang tak lagi melulu berorientasi profit, atau bisa juga mencari medan baru untuk beraktualisasi, sesuatu yang disebut Abraham Maslow sebagai kebutuhan tertinggi setiap manusia.

Sejauh yang saya tahu informasinya, setidaknya ada tiga tantangan baru yang telah dan tengah mereka jalani saat ini. Pertama, sudah beberapa tahun ini mereka mendirikan Pesantren Alquran, mereka kelola dan biayai sendiri, saya meyakininya sebagai cara mereka payback their success, membayar kembali kesuksesan mereka untuk umat dan masyarakat.

Kedua, ramadan lalu Pak Jalal juga mendirikan Jalal Institute for Development in Indonesia (JIDI), yang disebutnya sebagai semacam gerakan sipil yang berkonsentrasi membangun manusia Indonesia untuk menyongsong Indonesia Emas di 2045. Menurut Jalal, gerakan perubahan justru seringkali lebih efektif di-pandegani oleh gerakan sipil, NGO, seperti di negara-negara maju.

Yang ketiga, dan ini mungkin paling krusial, Pak Jalal memilih meretas jalan politik. Dia dilamar salah satu parpol untuk maju pada Pemilu Legislatif 2024 mendatang sebagai Caleg DPR RI Dapil X Jateng (Pemalang, Kab./Kota Pekalongan, dan Batang). Ini yang masih sulit saya pahami, sudah enak jadi pengusaha, mau aktualisasi juga sudah ada pesantren dan Jalal Institute, kenapa malah nyemplung dunia politik yang disebut komika Pandji Pragiwaksono sebagai septitank, karena isinya bisa jadi kotoran semua.

Beberapa pertanyaan setengah protes ini akhirnya berkesempatan mendarat ke empunya: Pak Jalal, saat tak sengaja diajak Kakak menemaninya di bulan ramadan lalu. Saya memberanikan diri bertanya, kenapa masuk politik?

“Alhamdulillah, Allah sudah memberi banyak, bahkan melebihi apa yang kami bayangkan. Anggap saja saat ini saya sudah sukses, terus selanjutnya apa, mau ngapain? Masa cuma santai-santai, mencari kesenangan, kan nggak. Ya kita butuh kesenangan, tapi manusia juga butuh hidupnya bermakna. Maka kalau kami tetap beraktivitas di bidang sosial, keagamaan, termasuk politik, anggap saja saya sedang belajar bersyukur,” begitu kurang lebih jawaban Pak Jalal.

Duh, saya terpaksa menggaruk kepala meski tak gatal. Jawabannya masih diplomatis, belum memuaskan. Oke lah manusia butuh bermakna hidupnya, butuh aktualisasi, tapi kenapa harus politik? Kan sudah bangun pesantren, mendirikan lembaga development juga, kenapa harus politik?

“Loh, di mana pun saya berkiprah dan beraktualisasi, sama saja kan. Yang penting komitmen awalnya itu memberi, berkontribusi untuk masyarakat, bermanfaat. Kata Nabi kan, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya. Semua bidang bisa dicoba, apapun itu, harus menebar manfaat. Nah, kalau ingin manfaatnya luas dan relatif cepat, salah satu jalannya ya di politik, karena ada kebijakan yang bisa kita perjuangkan, ada policy yang bisa merubah nasib banyak orang agar lebih baik. Ya pesantren tetap kita seriusi, Jalal Institute harus kita kembangkan, tetapi ibarat investasi, ini long therm investment, kerja jangka panjang. Nah dengan politik, kerja-kerja sosial kemanusiaan mungkin akan ada akselerasi.”

Jawabannya sudah mulai mengarah, tetapi tetap ada yang mengganjal. Pertanyaan pamungkas pun saya keluarkan. Banyak orang meyakini, dunia politik itu kotor, penuh intrik dan muslihat licik dus picik, visi jangka panjang tidaklah populer di politik, karena di politik orang hanya bicara kepentingan suara lima tahun. Kenapa Pak Jalal memilih jalan sulit kalau ada yang mudah?

“Tapi tolong dipikirkan juga, kira-kira kalau dunia politik kita memang kotor dan korup misalnya, lalu banyak orang ogah berpolitik, kira-kira politik Indonesia bisa berubah apa nggak coba. Kedua, kalau kalian yang merasa baik anti dengan politik, kira-kira siapa yang diuntungkan? Makanya, saya sepakat dengan Gus Baha, bahwa kita tidak bisa sok netral dan menjaga jarak dari hal-hal seperti politik, karena sikap itu sama artinya dengan kita membiarkan politik dikuasai orang-orang yang kita anggap kotor dan korup”.

Gara-gara jawaban itu, saya akhirnya nambah satu pertanyaan lagi. Tidak sedikit tokoh, aktivis, yang punya kapasitas dan integritas, masuk politik untuk membenahi, tapi ujungnya ya begitu-begitu saja. Bahkan, ada yang alih-alih membersihkan kotoran malah kecipretan jadi kotor.

“Ya kualitas pilihan itu tentu sebanding dengan konsekuensinya. Yang kedua, hasil seringkali amat ditentukan oleh komitmen awalnya, nawaitunya. Maka penting untuk membenahi niat sebelum ingin membenahi orang lain. Terakhir, merubah sesuatu selain butuh proses, kadang butuh penakar, pengukur. Kalau merubah negara rasa-rasanya sulit, ya coba rubah satu provinsi. Kalau masih sulit juga, rubah satu kabupaten atau kota, dan seterusnya sampai tingkat keluarga. Bahkan kalaupun ternyata itu sulit, maka mulailah dengan merubah dirimu. Begitu kata orang bijak. Rubahlah dirimu, maka anak-anakmu berpotensi berubah, keluargamu bisa berubah. Maksud saya, kalau saya belum bisa banyak merubah kebijakan negara yang kurang baik, minimal lingkungan saya bisa lebih baik dulu. Kalau saya seorang anggota DPR, maka minimal kerja saya pribadi di legislasi, di politik anggaran, dibenerin dulu, kerja saya untuk konstituen di dapil terus diperbaiki. Dan itulah jalan perubahan palig realistis”.

Duh, saya tanya sedikit, jawabannya panjang nian. Tapi ya, nyatanya jawabannya sukses mengakhiri pertanyaanku. Tak ingin kalah mental, ungkapan penghibur pun kusampaikan. “Ternyata Pak Jalal memang cukup berbakat di politik,” begitu kataku menyimpulkan sesi tanya jawab yang sebetulnya informil tetapi mendadak serius. Setidaknya, isi pikirannya cerdas, plus kemampuan menyampaikannya secar verbal amat bagus. Padahal, sementara kita berbincang, beberapa orang ikut menyimak dengan serius pula. Kalau dia tak cerdas, public speaking tak terasah, bisa belepotan dong. Sebelumnya pas sambutan launching juga bagus. Mungkin dulu aktif di organisasi, begitu batinku.

“Jujur, saya ini tipe introfet, agak pemalu juga ketemu banyak orang. Tapi sekarang malah diminta masuk politik, harus jadi front man,” jawabnya berkelakar. []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image