Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image ariyey

People Pleaser Sebagai Upaya Bertahan di Tengah Kerasnya Pergaulan

Gaya Hidup | 2022-06-19 19:06:09
hangout/@KampusProduction on Pexels

Sebagai makhluk sosial, kita perlu bergaul dan bersosialisasi. Memiliki teman, rekan seperjuangan, bahkan kekasih adalah impian setiap orang. Namun, hal ini tidak mudah didapatkan jika orang tersebut bersifat tertutup dan lebih suka mengisolasikan diri. Orang-orang jelas lebih menyukai pribadi yang menyenangkan dan friendly.

People pleaser menjadi salah satu fenomena yang berkaitan erat dengan pergaulan dan sosialisasi. Fenomena ini semakin dikenal ketika banyak sosial media yang mengkampanyekan tentang hal ini. Bisa dibilang people pleaser ini menjadi salah satu upaya bertahan di tengah kerasnya pergaulan masyarakat modern ini. Mengapa demikian?

People Pleaser atau Altruism?

Secara sederhana, people pleaser adalah orang baik yang suka menolong. Orang ini cenderung mengajukan diri untuk membantu secara sukarela. Ia juga orang yang sulit menolak permintaan orang lain karena rasa tidak enakan. People pleaser mirip dengan altruism karena keduanya sama-sama aktivitas menolong dan menguntungkan orang lain. Bedanya terdapat pada output yang diinginkan. People pleaser menginginkan validasi atas keberadaan dirinya dari orang lain, sedangkan altruism cenderung menolong karena memang merasa itulah kewajiban sebagai sesama makhluk sosial jadi tidak mengharapkan apapun sebagai balasan. Meskipun mendapat balasan, anggap saja itu cuma bonus.

Jenis kebahagiaan yang dimiliki seorang people pleaser dapat dikatakan sebagai kebahagiaan palsu. Pernyataan ini datang setelah analisis yang dilakukan dengan konsep subjective well-being (konsep kesejahteraan) yang mengukur berdasarkan watak, hubungan sosial, tingkat stress, dan pengalaman hidup. Dari segi watak, seorang people pleaser cenderung memasang sebuah “topeng” ketika berhadapan dengan orang lain. Mereka tidak bisa menjadi diri sendiri dan cenderung menjadi seperti apa yang diinginkan oleh orang lain. Tipe hubungan yang dialami people pleaser jelas bukanlah hubungan mutualisme yang menguntungkan kedua belah pihak. Hubungan tersebut hanya menguntungkan pihak lain karena people pleaser memiliki tujuan untuk menyenangkan orang lain. Mengorientasikan hidup untuk orang lain tentu saja membuat kita menjadi tidak tenang dan selalu memikirkan cara untuk menyenangkan orang lain. Pemikiran ini membuat tingkat stress otomatis meningkat. Perlu diketahui juga bahwa people pleaser cenderung minim dalam pengalaman hidup karena ia tidak punya free space untuk pengembangan diri.

Latar belakang menjadi people pleaser salah satunya adalah mereka takut ditinggalkan dan tidak dicintai. Untuk mencegah kedua hal tersebut terjadi, people pleaser selalu menjadi yang terdepan ketika mereka dibutuhkan. Rasa takut ini membuat seseorang memiliki posisi rendah dalam suatu hubungan. Contohnya saja, Rani memiliki toxic relationship dengan pacarnya. Pacarnya ialah laki-laki yang kasar dan suka menyakitinya, meskipun begitu, Rani tidak melawan dan justru mentoleransi sifat kasar itu. Hal itu dilakukannya karena Rani takut ditinggalkan. Jadi, dia berharap dengan sikapnya yang menerima itu membuat pacarnya tetap bertahan.

Apakah Anda Seorang People Pleaser?

Berikut merupakan beberapa indikasi untuk mengetahui apakah kamu termasuk dalam golongan people pleaser.

1. Sulit untuk mengatakan “tidak”

2. Suka minta maaf padahal tidak salah

3. Mengubah kepribadian sesuai dengan orang yang ditemui

4. Membutuhkan pengakuan dari orang lain

5. Sangat suka memberi

6. Merasa sibuk tapi bukan untuk kepentingan diri sendiri

7. Tidak suka konflik atau pertengkaran

Kehidupan Seorang People Pleaser

Tidak ada asap jika tidak ada api. People pleaser jelas bukan bawaan lahir. Tipe manusia ini terbentuk karena didikan orang tua dan lingkungan hidupnya. Orang tua yang suka beradu mulut karena masalah kecil membuat anak menjadi belajar bahwa ia tidak boleh melakukan kesalahan yang sama. Ia harus menjadi sosok sempurna di mata orang lain agar ia tidak lagi mendengar perdebatan yang sama. Orang tua yang rapuh juga membuat anak menjadi merasa kecil dan selalu takut mengungkapkan sesuatu. Terakhir, anak tidak memiliki ruang untuk mengekspresikan diri sejak kecil. Kemungkinan besar tipe anak seperti ini dibesarkan dalam keluarga yang diktatoris.

Mengorientasikan hidup kita untuk orang lain membuat kita kehilangan waktu untuk diri kita sendiri. Fisik dan mental kita menjadi tidak terawat karena kita tidak bisa menikmati kehidupan dengan baik. Orang-orang juga memanfaatkan kita karena kita sulit untuk mengatakan tidak. Hal ini memungkinkan terciptanya perasaan kesal dan frustasi yang tidak bisa dikendalikan. Perasaan ini berakhir dengan adanya sebuah “dendam” yang tak bisa diungkapkan secara langsung. Dibandingkan melampiaskan dendam, seorang people pleaser mungkin lebih memilih untuk menjauh dari orang-orang daripada menjelaskan masalahnya. Tentu saja orang-orang justru merasa penasaran dan lama-kelamaan menjadi malas berhadapan dengan kita.

Love and Be Yourself

Meskipun lingkungan pergaulan saat ini cukup keras, tapi bukan berarti kita harus menjadi seorang people pleaser. Masih banyak orang yang memandang cara ini sebagai satu-satunya upaya untuk tetap memiliki lingkar pertemanan yang loyal. Padahal, menjadi diri sendiri juga bukanlah hal yang buruk. Jika semua orang menjadi people pleaser, bukankah berarti pertemanan mereka juga palsu? Seseorang bisa disebut sebagai teman atau kekasih jika mereka bisa menerima kelebihan dan kekurangan diri masing-masing. Bukan membangun salah satunya menjadi lebih baik, tetapi bersama-sama menjadi yang terbaik. Jadilah diri sendiri, serta cintai dirimu apa adanya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image