Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Novia Widiarti

Kilas di Balik Sejarah Museum Penyusunan Naskah Proklamasi!!

Eduaksi | Sunday, 19 Jun 2022, 18:56 WIB

Terang saja, kunjungan kali pertama ini menyimbulkan rasa bahagia, sama halnya ketika saya bertandang ke Pantai Indrayanti, Gunung Kidul, Yogyakarta, beberapa bulan yang lalu. Selama ini, bangunan bersejarah ini hanya saya ketahui melalui tayangan televisi dan buku-buku sejarah di bangku sekolah dasar, hingga ramai diabadikan oleh pengunjung museum melalui media youtube.

Sesampai di gedung bergaya arsitektur Eropa (Art Deco) ini saya tak segera masuk. Sejenak saya bercengkrama dengan ketiga orang teman dan satu orang dosen saya. Dari arah pos keamanan, tampak tidak ada beberapa seorang pengunjung, yang ada hanya ada beberapa karyawan. Gedung ini memiliki pintu-pintu dan jendela-jendela berukuran besar, tidak seperti bangunan pada umumnya.

Gedung ini mengalami beberapa kali renovasi sekaligus berpindah kepemilikan. Pada tahun 1931, gedung ini pernah digunakan oleh PT Asuransi Jiwasraya, lalu didiami oleh Kepala Kantor Penghubung antara Angkatan Laut dengan Angkatan Darat Jepang (Kaigun), Laksamana Muda Admiral Tadashi Maeda, selama masa pendudukan Jepang. Saat terjadi Perang Pasifik, gedung ini dipakai British Consul General sampai Jepang menduduki Indonesia. Paska Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, gedung ini masih dihuni oleh mantan Atase Jepang di Den Haag dan Berlin pada 1930 itu sampai Sekutu mendarat di Indonesia, September 1945.

Memasuki museum di lantai I, pengunjung akan menemukan ruangan utama. Ruangan utama ini dahulu digunakan sebagai ruang diplomasi antara Indonesia dengan Belanda paska kemerdekaan RI.

Selain tempat disetujuinya dan disahkannya naskah proklmasi oleh seluruh hadirin yang hadir, sekitar 4—50 orang jelang subuh, Jumat, 17 Agustus 1945, ruangan ini juga pernah digunakan sebagai tempat perundingan antara pihak Indonesia yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan pihak Belanda yang dipimpin oleh Dr. H.J. Van Mook, sedangkan dari pihak sekutu diwakili oleh Let. Jen. Christisson. Begitu juga perundingan kedua kalinya, 7 Oktober 1946, antara pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Sutan Sjahrir dan pihak Belanda oleh Prof. Schermerhorn, sedangkan sebagai penengah dari pihak Inggris, yaitu Lord Killearn.

Di ruang pengesahan ini, tersedia tiga komputer yang menyajikan informasi digital. Substansi materinya berkisar pada peristiwa dan tokoh-tokoh seputar Proklamasi. Karena digital, pengujung cukup mengklik gambar atau foto tokoh sesuai keinginan.

Pada sisi kiri pintu masuk terdapat sebuah ruangan berisikan meja dan kursi tamu. Di sinilah tempat Laksamana Maeda menerima Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo, setibanya mereka dari Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945 pukul 22.00 WIB. Di sana, ketiganya, tidak termasuk Maeda, mempersiapkan perumusan naskah Proklamasi.

Di sebelah ruang pertemuan ada meja makan tempat dirumuskannya naskah Proklamasi. Di sinilah pada 17 Agustus 1945, dini hari pukul 03.00 WIB, Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo merumuskan konsep naskah Proklamasi. Pada momen ini, Laksamana Maeda juga tidak terlibat.

Untuk menambah kesan nyata terhadap peristiwa 74 tahun lalu, di ruangan ini terdapat tiga patung lilin sosok Soekarno, Hatta dan Ahmad Soebardjo. Ketiga tokoh bangsa ini tampak berembuk merumuskan naskah Proklamasi. Tak jauh dari ketiga patung tiruan tiga tokoh itu, terpajang naskah Proklamasi tulisan Soekarno dalam ukuran besar, yang dibingkai kaca tebal.

Selanjutnya, di bawah tangga lantai 2, tepat dihadapan pintu utama Museum, terdapat sebuah ruangan kecil yang dahulu digunakan sebagai tempat Sayuti Melik mengetik naskah proklamasi ditemani oleh BM Diah. Ketika memasuki ruangan ini, pengunjung secara otomatis mendengar suara (audio) yang menjelaskan aktivitas Sayuti Melik dan BM. Diah jelang dinihari 17 Agustus 1945.

Menaiki tangga bergaya art deco, menuju lantai dua bangunan ini, tak jauh dari tangga, terdapat kamar mandi yang sudah tidak difungsikan. Keramiknya jelas keramik berusia tua, namun sudah ada bathtub, wastafel, dan juga kloset duduk.

Di lantai dua ini, terdapat berbagai benda bersejarah seputar masa pergerakan yang tersimpan rapi dalam etalase, antara lain, Buku-buku (Buku Naskah Persiapan Undang-undang Dasar RI Jilid I dan Buku Pembahasan Undang-undang Dasar RI karangan M. Yamin, Documenta Historica tentang Sejarah Pertumbuhan dan Perjuangan Negara Republik Indonesia, 1951, dan Buku dari Proklamasi sampai Gesuri/ Genta Suara Revolusi Indonesia: berisi pidato proklamasi yang diucapkan oleh P.J. M. Presiden RI pada tiap tanggal 17 Agustus sejak Agustus 1945 sampai 1963 (terbitan Yayasan Prapantja, 1963); majalah (Madjalah Djawa Baroe); piringan hitam yang pertama kali merekam proklamasi kemerdekaan Indonesia; kaset proklamasi, serta hasil scan terhadap tulisan tangan dan ketikan naskah proklamasi.

Selain itu, juga terdapat mata uang kertas seri “Dai Nippon Teikoku Seihu” (Imperial Japanse Goverment)-seri uang yang pertama yang menggunakan satua “roepiah” menggantikan seri sebelumnya yang masih menggunakan gulden. Seri ini tidk memiliki seri pengaman seperti seri-seri lainnya, dan terdiri dari 5 pecahan, yaitu 1 / 2 roepiah, 1 roepiah, 5 roepiah, 10 roepiah, dan 100 rioepiah. Juga terdapat mata uang kertas senilai 10 Rupiah Pemerintah RI sebagai tanda pembayaran yang sah, 17 Oktober 1945, yang ditanda tangani Menteri Keuangan.

Di ruangan lainnya terdapat cetakan poster bergambar Soekarno; jam tangan dan kacamata Soekarno; pakaian Laksamana Maeda; piagam tanda kehormatan dan lencana Bintang Mahaputera milik Dr. Soetardjo Kartohadikoesoemo; plakat pahlawan nasional Iwa Koesoema Soemantri tahun 2002 dan koleksi dua jilid buku Sejarah Revolusi Indonesia miliknya; topi dan dasi milik Prof. Dr. Mr. R. Soepomo; destar, ikat kepala dan dasi milik I Gusti Ketut Poedja; tas kulit milik Suwiryo; serta jas, peci, dan tongkat milik Teuku Moehammad Hasan, dan bahkan tak kalah menariknya, pengunjung juga dapat melihat setelan baju mantel merek Tuxedo dan tongkat milik Anang Abdul Hamidhan.

Adapun keseluruhan dinding di ruangan di lantai dua ini terpajang penggalan-penggalan sejarah dan tokoh masa pergerakan hingga detik-detik menjelang proklamasi kemerdekaan. Tentu bagi Anda penyuka sejarah, mengunjungi gedung yang berdiri di atas tanah seluas 3.914 m2 dengan luas bangunan 1.138,10 m2 ini menjadi sangat berarti.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image