Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Siti Mutmainnah

KESUSASTRAAN INDONESIA : POKOK PERIODE REFORMASI

Sastra | Sunday, 19 Jun 2022, 08:12 WIB

Perkembangan sastra Indonesia modern akhir-akhir ini ditandai dengan bermunculannya pengarang-pengarang perempuan yang karyanya diapresiasi tidak hanya oleh para pemerhati sastra tetapi juga oleh masyarakat luas dari segi jumlah buku yang terjual. Topik-topik yang mengupas isu-isu seksual berdampingan dengan tema-tema Islam yang ditulis oleh penulis Muslim sebagai bagian dari Forum Lingkar Pena (FLP), sebuah komunitas penulis yang populer tidak hanya di kota-kota di seluruh Indonesia tetapi juga memiliki cabang di luar negeri.

Pesatnya perkembangan teknologi menjadikan Internet sebagai media berekspresi tanpa batas dan tanpa sensor, sehingga menjadi ruang bagi penulis yang tidak didukung oleh media tulis seperti surat kabar, majalah, majalah dan publikasi. Hal inilah yang menyebabkan lahirnya sastra online di Indonesia. Munculnya sastra online tidak menutup kemungkinan sastra yang muncul di media konvensional seperti majalah dan surat kabar. Media publikasi seperti surat kabar dan majalah dalam perkembangan sastra telah lama memberikan ruang bagi kehidupan sastra Indonesia. Karya sastra yang selalu muncul di kolom surat kabar atau majalah adalah cerpen.

Eksistensi cerpen pada masa awal sastra Indonesia sudah tidak terlacak dan bahkan cenderung diabaikan oleh para penulis sejarah Indonesia. Munculnya kembali pemberitaan yang meluas di surat kabar dan majalah telah memperkaya khazanah sastra Indonesia. Tentunya ini menjadi catatan penting bagi para sejarawan sastra, agar kesalahan-kesalahan masa lalu tidak terulang kembali.

A. Sastrawan Kontemporer

Periode ini ditandai dengan munculnya banyak penulis muda yang bebas mengeksplorasi bahasa dan tidak terkekang oleh tabu seksual. Salah satu penulis perempuan adalah Djenar Mahesa Ayu. dengan Mereka Mengatakan, Saya Monyet. Kumpulan cerpen (cerpen) yang terdiri dari 11 cerpen ini ditulis oleh Djenar pada tahun 2001 - 2002. Sedangkan novel pertamanya, Nayla (2005) mengangkat berbagai isu penyimpangan seksual. Belakangan, newsgroup Jangan Main-main dengan Kelaminmu (2000) juga mengangkat isu gender.

Penulis lainnya adalah Ayu Utami yang novelnya Saman memenangkan Penghargaan Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1997 dan telah dicetak ulang sebanyak 22 kali. Novel ini awalnya direncanakan sebagai bagian dari novel pertama Ayu Utami, Laila Tak Mampir di New York. Saman (1998) berlatar di Indonesia pada tahun 80-an dan 90-an, di mana para tokohnya saling berinteraksi di tengah kondisi sosial, politik, dan budaya Indonesia saat itu. Pemeran utama adalah Saman (mantan pendeta bernama Athanasius Wisanggeni) dan empat gadis yang berteman dari sekolah menengah hingga dewasa, yaitu Yasmin Moningka, Shakuntala, Cokorda dan Laila. Novel kedua Ayu, Larung (2001), juga merupakan novel penting dalam sastra Indonesia.

Kesuksesan Ayu Utami disusul Dewi Lestari yang novelnya Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh (2001), kini telah dicetak ulang sebanyak lima kali dengan total 75.000 eksemplar. Novel ini merupakan novel Indonesia pertama yang menggunakan ilmu pengetahuan untuk tujuan fiksi. Tokoh-tokoh dalam novel tersebut berbicara dengan menggunakan istilah-istilah ilmiah. Demikian pula penjelasan dari beberapa teori, baik yang diberikan dalam catatan kaki maupun yang dimasukkan ke dalam deskripsi karakter dan dialog.

Lalu ada Rieke Diyah Pitaloka dengan kumpulan puisinya Renungan Kloset yang edisi pertama dipresentasikan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jasin, Jakarta. Kumpulan puisi ini ditulis antara tahun 1997 dan 2001. Penulis lainnya adalah Fira Basuki, 30 tahun. Setelah menerbitkan trilogi novel Window (2001), Pintu (2002), Atap (2002) dan Blue (2000). Seorang penulis wanita penting pada periode ini adalah Oka Rusmini. Oka melalui novel Tarian Bumi (2000) dan Kenanga (2003) menantang tradisi budaya, agama, dan tradisi yang selama ini selalu menampik posisi perempuan. Dalam Tarian Bumi, tokoh utama adalah Ida Ayu Telaga Pidada, seorang wanita bangsawan yang karena pernikahannya dengan Wayan, seorang pria kelas bawah, sering dituduh sebagai biang keladi kemalangan keluarga. Pada akhirnya, Telaga Iklas meninggalkan aristokrasinya dan memilih untuk menjadi wanita Sudra seutuhnya.

Di Kenanga, masalahnya sedikit lebih rumit. Protagonis Memoirs harus menghadapi cinta terlarang. Karena saudara perempuannya menikah dengan Bhuana, pria itu memperkosanya. Di sana, ciatas dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma agama, citra kelas Brahmana, dan aturan-aturan tertentu yang menghambat kebebasan perempuan. Belum lagi masalah zina yang dirahasiakan hanya untuk menjaga golongan. Selain dua novelnya, Oka juga melanjutkan tradisi Bali yang dipandang tidak menguntungkan perempuan dalam antologi cerpen Sagra (2001). Kumpulan cerpen ini secara gamblang menggambarkan “pemberontakan” dan “percobaan” perempuan Bali yang dipimpin atau diwakili oleh tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen tersebut. Mulai dari pertanyaan tentang adat, bangsawan atau kasta, dominasi gender, hingga perjuangan untuk meningkatkan atau menemukan wanita ideal dalam kehidupan Bali. Selanjutnya, sistem stratifikasi sosial dalam bentuk bangsawan dan kasta telah dikritik dengan cara ini melalui skenario yang menarik.

Dari generasi ini juga muncul penulis-penulis yang mengkhususkan diri pada tema-tema Islam, seperti Helvy bersaudara Tiana Rosa dan Asma Nadia. Karya-karya mereka juga sangat diapresiasi oleh masyarakat dengan banyaknya buku yang terjual. When Mas Gagah Goes Away, kumpulan cerpen pertama Helvy Tiana, diterbitkan pertama kali pada tahun 1997 dengan cetakan 5.000 eksemplar terjual dalam sebulan. Saat Mas Gagah sampai di sana, ternyata mendapat banyak respon dari para pembacanya. Beberapa pembaca mengklaim bahwa mereka termotivasi untuk memakai jilbab atau jilbab setelah membaca buku fiksi. Mereka dipengaruhi oleh perilaku karakter fiksi. Terakhir adalah Fog Man and the Doll (2002), 10.000 eksemplar pertama yang terjual masuk ke cetakan kedua. Helvy menerbitkan sekitar 15 karyanya, kebanyakan berupa kumpulan cerita pendek. Salah satu novelnya, Mc Allister, diterbitkan pada tahun 1996 oleh Moslem Press, London, Inggris.

Selama ini, Asma Nadia menghasilkan 32 buku, baik yang diterbitkan oleh Forum Lingkar Pena maupun penerbit lain sebagai novel, kumpulan cerpen, dan artikel terpandu. Ia juga menulis lirik untuk grup Snada dan menjadi presiden Yayasan Lingkar Pena dan direktur penerbit Lingkar Pena. Selain menulis, Asma sering diminta memberikan materi di berbagai workshop yang berkaitan dengan menulis dan perempuan. Novelnya, Derai Sunyi mendapat penghargaan Southeast Asian Literary Council (Mastera) sedangkan kumpulan cerpennya Cinta Tak Never Menari memenangkan Pena Prize. Beberapa karyanya yang pernah mendapatkan penghargaan.

Penulis lain yang bertema Islam adalah Abidah el khalieqi dengan novel Geni Jora (2000). Dalam novelnya, ia membahas penimbunan perempuan dengan mengasosiasikan tradisi Jawa dan Poidsren. Selain penulis tersebut, ada penulis wanita lainnya seperti Maya Wulan (Membaca Wanitaku, 2002), Intan Paramadhita (Ajaib Wanita, 2005), Nukila Amal (Pasaba, 2005), Weka Gunawan (Merpati di Trafalgar Square), 2000) , Labibah Zain (Terlampir di Weblog: Kisah Seorang Wanita Maya, 2005), Ucu Agustin (Kanakar, 2005), Evi Idawati (Malam Pernikahan, 2005). Mereka berkesempatan mengikuti jejak para sesepuh mereka, Nh Dini, Titis Basino, Leila S. Chudori, Ratna Indrswari Ibrahim atau bahkan Abidah elKhalieqy.

B. Sastra Cyber

Sebelum munculnya sastra online, dunia sastra Indonesia sendiri memiliki beberapa kekhasan terkait dengan keberadaan teknologi komunikasi. Antara lain, sastra majalah, sastra surat kabar, dll. Ketika biaya penerbitan menjadi lebih mahal, seiring dengan adanya surat kabar/majalah sastra terkenal yang telah membangun hegemoninya sendiri, muncullah Internet.

Komunitas sastra virtual mulai bermunculan. Menggunakan teknologi seperti milis (mailing list), situs web, forum diskusi, dan sekarang blog, Internet menyediakan lingkungan yang bebas sensor. Setiap orang dapat menunjukkan karya mereka dan semua orang dapat menikmatinya. Penggunaan istilah sastra siber itu sendiri menunjukkan jenis media yang digunakan: komunikasi jaringan, seperti dalam istilah surat kabar, majalah sastra, buku, fotokopi/sastra stensil, sastra radio, mural, dll. Oleh karena itu, semua karya sastra yang diterbitkan melalui sarana online disebut sastra jaringan.

Dengan pertumbuhan internet, tidak hanya individu yang dikenal dan mereka yang belum mempublikasikan karyanya di beberapa situs web, blog, atau milis sastra. Website sastra yang menjadi tempat lahirnya sastra online di Indonesia adalah Cybersastra.com. Situs yang dijalankan oleh Asosiasi Sastra Internet (MSI) dengan penerbit Nanang Suryadi dan kawan-kawan ini telah meluncurkan Cybersastra di Indonesia. Karena masalah teknis, website ini dipindahkan ke domain lain dan menjadi Cybersastra.net. Kemudian ada organisasi khususnya yang bergerak di bidang seni, seperti Yayasan Lontar dengan www.lontar.org. Organisasi lain yang memiliki website seperti itu adalah Taraju Foundation, KSI, Akubaca, Aksara dan Aikon.

Sedangkan individu dan karyanya dapat ditemukan di internet adalah Taufiq Ismail yang beralamat www. Taufiq.ismail. com, Sobron Aidit beralamat di www.lalemement. Com., Afrinal Malna, Hamid Jabbar, Saut Sitomurang dan Pramodya Ananta Toer di www.geocities.com. Sedangkan situs berbahasa Inggris yang menampilkan penulis Indonesia antara lain www.poetry.com dan www.everypoetry.com. Diskusi sastra yang diselenggarakan oleh para penulis dan penikmat sering terjadi di milis seperti [email protected], Poe.groups.com, [email protected] dan milis sastra populer.

C. Banjir Cerpen

Jika kita melihat lebih dekat pada awal sastra Indonesia, kita tidak bisa lepas dari kehadiran cerita pendek di surat kabar atau majalah. Cerpen diterbitkan di surat kabar atau majalah sebelum novel, puisi, dan drama diterbitkan. Namun pemberitaan menggunakan media massa dikaburkan oleh sejarawan sastra dengan menonjolkan peran publikasi, dalam hal ini Balai Pustaka. Hal ini menyebabkan Balai Pustaka dijadikan sebagai jangkar sastra Indonesia.

Berita itu sendiri berasal dari sketsa, penggalan, esai yang menyoroti kehidupan sehari-hari, cerita ringan dan lucu, sinetron (feulleton) atau kisah cinta tragis yang mengutip dari suatu peristiwa yang menjadi topikal, yang semuanya disebut narasi. Baru memasuki dekade pertama abad ke-20, berita dilabeli sebagai berita. Semua periode sastra Indonesia tidak pernah lepas dari cerita pendek yang diterbitkan di surat kabar. Bahkan jika novel-novel besar tidak muncul selama pendudukan Jepang atau selama tahun 1950-an, cerita pendek masih muncul di surat kabar yang diproduksi secara besar-besaran.

Hal yang sama terjadi di era pascarenovasi ketika kemudahan dan kebebasan jurnalistik dimanfaatkan oleh penulis sebagai sarana berekspresi dalam bentuk berita. Kehidupan pers, yang tampak bebas, berkontribusi pada perkembangan ini. Hampir semua surat kabar, harian dan mingguan, memiliki berita reguler. Perkembangan berita dirasakan sangat cepat karena semakin terbukanya ruang dan peluang kerja. Suatu hal yang memungkinkan berita berkembang pesat karena dipengaruhi oleh sikap revolusioner, kepekaan masyarakat Indonesia terhadap perubahan yang cepat dan signifikan, sehingga membutuhkan adanya suatu jenis karya sastra yang nyaman, fast food dan mudah dipahami bagi semua pembaca dan tren ini menyebabkan cerpen.

Dibandingkan dengan puisi, novel, dan drama, cerpen Indonesia pada paruh pertama periode pasca-doi moi mengalami perkembangan yang luar biasa. Berita itu sampai pada identitasnya. Ini bukan lagi gangguan pada hari Minggu. Saat ini, cerpen dianggap sebagai sebuah profesi yang tidak kalah dengan profesi menulis novel atau menulis puisi. Cerpen tidak dilihat sebagai pembelajar menulis novel. Kondisi ini dimungkinkan oleh faktor-faktor berikut, seperti kecemerlangan media massa - surat kabar dan majalah - yang telah membuka lebih banyak ruang bagi jurnalis untuk mengirimkan karyanya. Di sana, rubrik berita menempati tempat khusus. Berita ditempatkan sama pentingnya dengan headline lainnya. Bahkan, di koran Minggu, itu seperti bahan pokok. Di sinilah cerita pendek itu duduk dan menyapa pembaca. Jadi hari Minggu adalah hari berita. Faktor lainnya adalah adanya lomba menulis cerpen, yang memungkinkan cerpen tidak hanya diadakan pada hari Minggu, tetapi juga pada peristiwa atau protes tertentu. Majalah Horison mengadakan kontes menulis cerita pendek tahunan. Demikian pula dengan Dewan Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa atau organisasi lain juga melakukan kegiatan serupa. Sejak tahun 1992, Kompas memulai tradisi baru setiap hari dengan memilih cerita pendek terbaik dan memberikan hadiah khusus kepada penulis. Kegiatan ini mengangkat novel ke posisi tertentu.

Selanjutnya, diterbitkannya Jurnal Cerpen oleh Joni Ariadinata, dkk. dan Kongres Cerpen yang diadakan setiap dua tahun – di Yogyakarta (1999), Bali (2001), Lampung (2003) dan kongres berikutnya di Pekanbaru (11/2005), yang berhasil mengangkat bar image berita secara lebih terhormat. cara. Kegiatan ini juga termasuk mensosialisasikan keberadaan berita dalam rangka kegiatan sastra. Pada saat yang sama, upaya beberapa penerbit untuk memburu naskah cerita pendek untuk diterbitkan telah membuat harga dan martabat cerita pendek tampak lebih menguntungkan daripada sebelumnya.

Meskipun kedudukan yang baru dalam keadaan yang sangat hidup dan memiliki tempat khusus, dalam hal reproduksi dapat dikatakan tidak sepenuhnya berarti. Persoalannya, banyak penulis cerpen muda yang bermunculan akhir-akhir ini memang diakui gagal dalam upaya menerapkan estetika yang kemudian menjadi mainstream. Arus berita besar Indonesia pasca reformasi masih didominasi oleh nama-nama lama yang benar-benar menjadi ikon berita kontemporer Indonesia. Kabar terbaru Indonesia masih belum bisa menenggelamkan sederet nama yang muncul sesaat sebelum reshuffle seperti Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Kuntowijoyo, Danarto dan sederet nama mantan pemain. Mereka tetap menjadi bagian penting dari peta berita Indonesia pasca reformasi. Begitu banyak berita lama dan baru, kini bertumpuk, bersatu padu meramaikan peta berita Indonesia.

Martin Aleida, misalnya, mengangkat subjek korban politik kepada aktor-aktor PKI. Tapi Martin adalah mantan pemain. Setidaknya dia sudah matang sebelum reformasi. Jadi ketika Leontin Dewangga (2003) diterbitkan, kami terkejut bukan karena dia seorang pemula, tetapi karena keinginannya untuk mengangkat tema-tema yang tidak akan muncul di masa Orde Baru. . Dari perspektif ini, telah memperkaya topik berita Indonesia. Kasus Martin Aleida tentu berbeda dengan Linda Christanty yang juga mantan pesepakbola. Antologinya, Kuda Terbang Maria Pinto (2000) seolah menjadi saksi ketertarikannya terhadap model dan gaya yang sedang digemari saat itu. Mengabaikan kerangka tempat dengan permainan pikiran seperti dengan sengaja melarutkan unsur-unsur lain - yang, dalam kerangka strukturalisme, menempati tempat yang sama pentingnya. Gaya adalah pilihannya, dan Linda memilih jalan itu.

Muncul pendatang baru yang menjanjikan bernama Eka Kurniawan. Karya pertamanya, antologi cerpen CoratCoret di Toilet (2000), kurang meyakinkan. Namun ketika novel Cantik itu Luka (2002) terbit, secara kontroversial namanya mulai dipertimbangkan. Kemudian novel kedua, Pria Harimau (2000) diterbitkan, menunjukkan keahliannya dalam melakukan eksperimen. Dalam antologi cerpen Cinta Tak Ada Mati (2005) yang baru saja dirilis, Eka tak kehilangan semangat bereksperimen. Cerpen berjudul "Labu Busuk" menunjukkan kesungguhan Eka dalam melakukan eksperimen. Novelis kelahiran Aceh, Azhari adalah pendatang baru lainnya. Dalam cerpen "Yang Dibalut Lumut" yang meraih juara pertama lomba menulis cerpen Festival Pemuda Kreatif, Lembaga Kreatif Kemendiknas menunjukkan kekuatannya dengan mengungkapkan kepedihan rakyat. . Aceh yang terlibat konflik bersenjata antara aparat keamanan (: TNI) dengan Gerakan Aceh Merdeka. Ia juga berhasil menghadirkan potret budaya dan tradisi masyarakat Aceh yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat di sana. Kumpulan cerpen pertamanya, Perempuan Pala (2000) menampilkan karakter Azhari yang dewasa melihat permasalahan Aceh dalam kisruh sejarah dan budayanya yang jaya dengan kondisi sosial dan politiknya. luka dan rasa sakit. Mungkin antologi ini merupakan potret representatif dari kegelisahan masyarakat Aceh dalam menghadapi kebuntuan ini.

Dengan kekuatan narasi yang hampir sama, Raudal Tanjung Banua bisa meyakinkan. Antologi pendeknya, Pulau Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah ke Alam (2000) dan Parang Tak Berulu (2005) menunjukkan kepengarangannya yang terus berkembang. Lihat saja, cerpennya "Cerobong Tua Terus Mendera" terpilih untuk menerima Penghargaan Sastra Horison tahun 2000. Cerpen lainnya, "Tali Rabab" juga masuk dalam 15 besar cerpen kompetisi. Salah satu kekuatan Raudal adalah bahwa penceritaannya dapat menciptakan suasana peristiwa, metafora, dan asosiasi yang intens. Pembaca dibawa ke dunia yang tidak diketahui. Kemudian, tiba-tiba, dia merasa telah menyaksikan peristiwa yang ditimbulkan oleh berita itu.

Beberapa nama penulis cerpen lainnya yang kemudian menjadi penulis penting Indonesia antara lain: Teguh Winarsho (Bidadari Bersayap Belati, 2002), Hudan Hidayat (Sakit).Rakyat, 2001); (Keluarga Gila, 2003) Maroeli Simbolon (Peri Dongeng Bara Negeri, 2002); Cinta). (Kucing, 2003), Satmoko Budi Santoso (Sabtu Jangan Bunuh, 2003), Mustofa W Hasyim (Roda Api Apung, 2000), Kurnia Effendi (Senapan Cinta, 2000); (Bercinta dalam Cahaya Bulan, 2000), Moh. Wan Anwar (Sepasang Maut, 2000), Yusrizal KW (Kembali ke Pangkal Jalan, 2000), Isbedy Stiawan (Perempuan Sunyi, 2000); Senar Berdering Lagi, 2000), Triyanto Triwikromo (Anak Asah Pisau, 2003), Damhuri Muhammad (Laras ), (Tubuhku Bukan Milikku, 2005). Seluruh antologi menunjukkan kekuatan penceritaan yang mengalir dan kedalaman tema yang diangkatnya. Selama lima tahun ke depan, mereka akan ikut menentukan perkembangan sastra Indonesia.

Daftar Pustaka

Erowati, Rosida dan Ahmad Bahtiar (2011). “Sejarah Sastra Indonesia”, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah) hlm. 56.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image