Meneladani Sosok Santri Par Excellence
Agama | 2021-10-22 11:12:05Mendengar kata santri pasti pikiran langsung tertuju kepada sebuah asrama yang diisi oleh para murid yang selalu bergelut dengan berbagai macam kitab klasik atau yang akrab disapa kitab kuning. Ngaji, ngaji, dan ngaji itulah yang mereka geluti setiap saat. Nyatanya hal itu salah besar, karena santri adalah murid yang multitalenta. Persepsi bahwa santri hahya fokus pada kitab kuning muncul karena kebiasaan santri klasik, yang memang waktu itu media belum semaju sekarang. Perjuangan santri dahulu dengan sekarang tentu berbeda jauh. Sejarah mencatat bahwa santri memiliki peran besar dalam menyongsong kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya berperan dalam mengajarkan ilmu kepada rakyat saja, tapi para santri klasik juga ikut berperang. Beberapa santri klasik juga turut berjuang untuk kemerdekaan melalui ranah politik. Raden Omar Said Tjockoaminoto misalnya, ia mengharumkan nama santri dengan membentuk organisasi politik pertama di Indonesia yaitu Sarekat Dagang Islam.
Seiring berkembangnya zaman, santri memiliki beberapa tantangan baru. Santri bukan saja wajib menjadi sosok yang bermanfaat bagi agama tapi juga negara. Mempelajari ilmu agama secara intensif memang suatu hal mutlak bagi santri, tapi aksi bela negara juga menjadi prioritas. Jangan sampai karena negara ini sudah dinyatakan merdeka maka berarti kewajiban menjaga keutuhan Indonesia sudah gugur. Antara agama dan negara haruslah dikelola secara seimbang oleh santri sebagaimana yang telah dicontohkan oleh KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil dengan sebutan âGus Dur.â
Salah satu julukan yang Gus Dur miliki ialah santri modernis par excellence atau santri modern yang penuh keunggulan. Julukan itu sangat tepat rasanya jika ia sandang, melihat sederet prestasi, aksi, dan pemikiran Gus Dur semasa hidupnya hingga ia dilegistimsi menjadi pimpinan Pengurus Besar Nahdhlatul âUlama (PBNU) sampai kemudian dipilih sebagai Presiden Indonesia ke-4.
Selain santri par excellence, Gus Dur juga dijuluki sebagai bapak pluralisme dan multikultural di mana ia senantiasa membela keberadaan kaum minoritas dan menengahi berbagai perselisihan akibat perbedaan ras, suku, dan agama. Ia menjunjung tinggi kesetaraan pluralisme dan menginginkan semua orang mendapatkan keadilan dalam hukum tanpa memandang perbedaan baik dari suku sampai ideologi. Hal ini diperkuat dengan penobatan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia pada tanggal 24 Agustus 2014 di klenteng Tay Kak Sie Semarang.
Kaum Tionghoa menilai bahwa Gus Dur telah berjasa menghapus stigma buruk kaum Tionghoa yang berujung pada tekanan dan perlakuan semena-mena yang mereka dapatkan selama ini. âDulu, semua keburukan dilimpahkan ke kami. Barang mahal, kami yang disalahkan. Kalau masyarakat gagal panen, kami juga yang disalahkan,â ujar Sugiri Kustejo, seorang akademisi sekaligus tokoh kaum Tionghoa dalam talk show "Makna Peletakan Sinci Gus Dur" di Gedung Rasa Dharma Semarang. Sugiri juga menyebutkan bahwa Gus Dur telah membawa kesetaraan bagi mereka dengan kaum atau suku yang lain. Sugiri menuturkan bahwa dulu kaum Tionghoa diberi kode khusus untuk surat menyurat sehingga tarif berkirim pesan mereka cenderung lebih mahal. Gus Dur juga dianggap telah mengembalikan hak berekspresi kaum Tionghoa dalam hal kebudayaan mandarin. Ia membolehkan penggunaan bahasa mandarin bersanding dengan belajar menggunakan bahasa arab dan inggris. Gus Dur bahkan memberi pengakuan atas agama kong hu cu sebagai agama di Indonesia, bersanding dengan islam, kristen, dan budha. Ia kemudian menetapkan hari raya imlek sebagai hari libur nasional.
Selain memberikan keadilan bagi kaum tionghoa, Gus Dur juga berhasil meredam berbagai konflik sosial yang pada masa itu sedang menjamur. Hal itu karena pengaruh krisis moneter dan bergulingnya masa kejayaan orde baru. Bahkan hingga ketika sudah tidak menjabat sebagai presiden, Gus Dur masih berperan dalam menyelamatkan hampir ratusan TKI yang terancam deportasi di Malaisya.
Gus Dur juga berlaku tegas terhadap para mentrinya, terbukti ketika ia membubarkan departemen penerangan dan departemen sosial karena ia anggap tak mampu menjalankan program mereka dengan baik.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami peningkatan di era kepemimpinannya, di mana awalnya berada di minus 3 saat ditinggalkan Habibie, meningkat hingga 4,9 persen. Kemajuan ini membuat Gus Dur berani untuk menaikkan gaji para Pegawai Negri Sipil (PNS) sebanyak tiga kali lipat dari gaji awal.
Serangkaian jasa dan prestasi Gus Dur di atas membuat Gus Dur sangat relevan dijadikan sebagai sosok santri ideal. Para santri seharusnya bisa mengambil teladan dari Gus Dur mulai dari segi pendidikan hingga perpolitikan. Sebab, sejatinya segala prestasinya tersebut tidak lepas dari pendidikan yang ia raih selama nyantri dahulu.
Gus Dur kecil setelah lulus dari Sekolah Dasar dikirim oleh kedua orang tuanya ke Yogyakarta untuk bersekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) sembari mengaji bersama KH Maâshum Krapyak. KH Maâshum merupakan pimpinan lokal Muhammadiyah. Gus Dur yang haus ilmu pun ikut berdiskusi bersama beliau dan tokoh muhammadiyah lainnya setiap malam. Padahal, Gus Dur sendiri berasal dari keluarga pembesar NU, namun Gus Dur nyatanya memiliki pikiran terbuka dan tidak fanatik sehingga perbedaan latar belakang organisasi semacam ini bukanlah alasan untuk membatasi diri dalam berbaur satu sama lain. Hal ini tentu patut diteladani oleh masyarakat saat ini yang masih saja suka berselisih paham hanya karena perbedaan organisasi belaka. Sehingga waktu yang harusnya digunakan untuk menjaga kerukunan dan persatuan Indonesia malah habis digunakan untuk terus berkonflik antar organisasi.
Sejak remaja Gus Dur memiliki hobi membaca, ditambah relasinya dengan para tokoh muhammadiyah yang membuatnya semakin memiliki rasa keingintahuan yang besar. Selama belajar di SMEP, Gus Dur mulai mendalami bahas inggris. Ia hanya membutuhkan waktu selama dua tahun untuk menguasainya sampai sanggup melahap habis belasan buku berbahasa inggris. Hobi membaca ini semakin membentuk Gus Dur menjadi sosok yang cerdas dan berwawasan luas.
Usai menyelesaikan studi di Mesir dan Irak, Gus Dur melanjutkan studi ke Eropa. Ia mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaisya di Eropa. Demi menunjang kemandiriannya selama belajar di Eropa, Gus Dur rela bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga rajin mengikuti kajian-kajin keislaman di Mc Gill University.
Riwayat pendidikan Gus Dur membuktikan betapa terbukanya pemikiran Gus Dur. Ia bagaikan seorang pengembara yang haus akan ilmu. Gus Dur yang sejak kecil hingga remaja ditempa ilmu agama oleh kedua orang tuanya nyatanya tidak lantas puas dengan ilmu tersebut, ia juga mempelajari ilmu umum yang lain serta menambah pengalaman sosial dan politik. Sebab ia sadar bahwa tantangan seorang santri bukan hanya dari segi umat islam sendiri, tapi lebih luas dari itu. Dalam genggaman santri, tersimpan tanggung jawab besar untuk kedamaian negri.
Konsep berilmu, berharta, dan berkuasa yang dicanangkan oleh doktor Mohammad Nashih cukup relevan untuk menjawab mengapa seorang santri haruslah berperan dalam menjaga NKRI. Santri merupakan sosok insan intelektual karena sudah ditempa sedemikian rupa oleh kiai. Bukan hanya ditempa intelektualnya saja tapi juga karakternya karena pesantren identik dengan budaya disiplin sehingga mampu membentuk karakter manusia yang penuh instegritas. Kemudian dalam proses belajar, tentu santri membutuhkan harta, karena di Indonesia masih sangat minim sekolah yang memberikan fasilitas belajar yang mumpuni namun gratis.
Islam sebagai agama dakwah mengharuskan setiap penganutnya untuk menyebar-luaskan syiâar agama. Maka, berkuasa menjadi jalur paling berstrategi untuk melaksanakannya. Namun, sebelum bisa berkuasa, santri harus bisa menguasai aspek ilmu dan harta terlebih dahulu. Dengan kekuasaan, santri bisa lebih leluasa dalam berdakwah. Pun rakyat cenderung memantau dan mengikuti sepak terjang pemimpinnya, sehingga jika seorang pemimpin berlaku baik maka rakyat akan dengan mudahnya mengikuti perlakuannya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.