Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Atropal Asparina

Belajar Islam di Internet: Kiat-kiat dan Contohnya

Agama | 2021-10-21 23:27:57
Resonansi Republika. Dari kiri ke kanan: Buya Syafii Maarif, Azyumardi Azra, Asma Nadia, Ikhwanul Kiram Mashuri." />
Para penulis yang mengisi kolom Resonansi Republika. Dari kiri ke kanan: Buya Syafii Maarif, Azyumardi Azra, Asma Nadia, Ikhwanul Kiram Mashuri.

Sering muncul pertanyaan, apakah boleh belajar Islam melalui internet seperti lewat Youtube, Google, website-website Islami, atau bahkan melalui beragam aplikasi media sosial seperti Whats App, Tiktok, dan lain sebagainya? Dan jawabannya tentu tidak akan mutlak bisa atau mutlak tidak. Sebab, jawaban mutlak bisa dan jawaban mutlak tidak, akan sama-sama problematis jika tanpa catatan-catatan lebih lanjut.

Di era serba teknologi yang saling terkoneksi dan luas tak berhingga ini, proses belajar sejatinya bisa dilakukan di mana saja, kapan saja dan kepada siapa saja, termasuk belajar agama Islam. Kehadiran internet dalam penyebaran konten-konten ajaran Islam tidak bisa dibendung siapa pun.

Masalahnya, saking banyaknya info dan konten di internet atau media sosial, menjadikan kita acapkali tak lengkap menangkap pelajaran atau memang konten pelajaran yang disampaikan hanya sepotong-sepotong. Hemat saya, di sinilah titik ketidakbolehan belajar agama di internet atau media sosial. Bukan apa-apa, pemahaman yang tak lengkap terkait pelajaran agama akan berbahaya tidak saja bagi diri sendiri, namun juga bagi orang lain.

Misalnya, jika hanya membaca dan mempelajari ayat QS. At-Taubah [9]: 123, yang berbunyi “Wahai orang yang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas darimu, dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang yang bertakwa,” tanpa mempelajari asbābul wurud (peristiwa yang mengiri turunnya ayat sebagai alat bantu penjelas ayat) dan Sunnah Nabi soal hidup damai berdampingan dengan orang Yahudi dan Nasrani di Madinah, maka sangat mungkin cara berislam kita akan sangat keras terhadap orang yang dianggap kafir—siapa pun dan di mana pun ia.

Padahal, selain QS. At-Taubah [9]: 123, masih ada 6600-an ayat al-Qur’an lainnya. Mulai dari ayat terkait perang, ayat-ayat hukum, kisah-kisah para Nabi terdahulu yang penuh hikmah, sampai simpul-simpul kasih sayang Allah serta Rasul Muhammad saw, penuh berserak di dalam al-Qur’an. Para ulama sepakat berpendapat bahwa di antara hikmah penting dari susunan kitab suci al-Qur’an yang tidak sistematis seperti kitab hukum atau undang-undang, adalah supaya dibaca secara lengkap dan utuh.

Membaca-Disiplin pada Guru plus Media Arus-Utama

Jika proses sekadar membaca segera diberi sama dengan (=) ber-literasi, maka wacana literasi yang akhir-akhir ini geger di Tanah Air, akan sangat menyedihkan. Kata kunci yang tepat menurut saya, jika membaca ingin diberi sama dengan ber-literasi adalah “membaca-disiplin”. Di dunia akademik dan intelektual, hal tersebut bukan barang baru. Sebab di dunia intelektual, yang dimaksud membaca adalah membaca-disiplin. Artinya, membaca suatu rangkaian informasi atau ilmu secara sistematis, berkelanjutan dan komprehensif.

Praktik membaca-disiplin, saat ini ternyata lebih penting dalam konteks dunia internet dan media sosial. Dapat dibuktikan, proses membaca manusia Indonesia jauh meningkat setelah mengenal internet terlebih android. Meskipun, di saat yang sama, kualitas membaca atau membaca-disiplin, masih rendah. Semua itu terlihat dari mudahnya masyarakat menerima hoax-hoax di media sosial.

Demikian juga dalam belajar Islam di internet. Membaca-disiplin adalah kunci pertama. Sisanya adalah soal pemilihan guru atau media yang dibaca. sampai kemudian timbul pertanyaan lagi, apakah kata “Guru” di media sosial boleh berdiri sendiri atau harus selalu dikaitkan dengan “Media Arus-Utama”? Menurut saya dalam hal ini, jawabannya adalah harus.

Media, sebagai wadah bagi orang yang ingin menyampaikan gagasan dan ide pemikirannya, mempunyai peran penting di internet. Namun, media juga tidak semuanya bertanggung jawab penuh dan berniat baik seperti media-media arus-utama. Karena itulah, kunci kedua, adalah harus “Media Arus-Utama”. Melalui media arus-utama, baik tulisan atau penjelasan video, akan mendapat penilaian kelayakan kualitas dan sedapat mungkin dihindarkan dari potensi-potensi buruk dalam efeknya. Maka, hanya orang-orang dengan kualifikasi keilmuan tertentu yang masuk dalam media arus-utama.

Semua itu mengantarkan pada kunci ketiga, yakni informasi yang disampaikan media arus utama, yang dibaca secara disiplin, dapat dirujuk kemudian secara langsung pada tokoh yang dianggap guru. Jadi kunci ketiga adalah, terus meluaskan dan melengkapkan pelajaran (baca:ilmu) yang disampaikan oleh seorang tokoh yang diangap guru atau dipercaya sebagai guru.

Kolom Resonansi Republika: Sebuah Contoh

Lalu bagaimana contohnya supaya meski belajar lewat internet soal Islam, di satu sisi tidak terjerumus hal-hal merusak sedang di sisi lain, literasi dan kepekaan kita terkait Islam, terus tumbuh? Jawabannya sebagai contoh adalah melalui kolom Resonansi Republika—sekali lagi sebagai contoh.

Kolom Resonansi Republika, setiap minggunya, secara teratur terus diisi oleh empat penulis utama, yakni Buya Syafii Maarif (hari Selasa), Azyumardi Azra (Kamis), Ikhwanul Kiram Mashuri (Senin), dan Asma Nadia (Sabtu). Selain empat penulis dengan gaya dan bidang garapan isu yang berbeda, sesekali terselip juga penulis lain, seperti Adiwarna A. Karim, Haidar Nasir, dan lainnya. Selipan tokoh itu cukup jarang, sehingga hanya empat penulis awal tadilah, yang secara pokok mengisi kolom resonansi.

Bayangkan, jika secara disiplin kita membaca hanya kolom Resonansi di Republika saja, maka setiap minggu kita akan dapat pembaruan isu keislaman baik di Indonesia maupun dunia. Ikhwanul Kiram Mashuri, seorang jurnalis senior Republika ini, fokus menyoroti perkembangan dunia Islam di Timur Tengah. Mulai soal Palestina-Israel, negara-negara teluk, Arab Saudi-Iran, Suriah-ISIS, Afganistan, sampai Turki, disorot dan dijelaskan dengan sangat baik dan tajam.

Azyumardi Azra lain lagi. Tulisan-tulisannya terus konsisten pada perkembangan dan pergulatan keislaman Indonesia sejak masuknya sampai sekarang. Isu-isu seperti populisme Islam, Islamisme, Islam politik dan politik Islam, Kosmopolitanisme Islam, ditulis secara sangat mengalir dengan analisis mendalam khas seorang guru besar kaliber internasional. Nuansa akademik begitu terasa dalam istilah-istilah yang digunakannya, dan memancing rasa ingin tahu lebih lanjut. Baik itu terkait hasil penelitian atau buku yang dikutip. Isu-isu keislaman aktual di Indonesia bahkan dunia yang mempunyai irisan langsung dengan Indonesia, terjelaskan secara sangat baik dan berkesinambungan.

Buya Syafii Maarif lain lagi. Refleksi terkait isu keislaman-keindonesiaan-kemanusiaan hari ini, dituliskan secara tajam dan unik. Sebagai sesepuh bangsa yang sudah malang melingtang dalam kajian keislaman-keindonesiaan-kemanusiaan, membaca setiap tulisannya serasa digurui secara tegas namun kita tahu, di sebalik itu ada kasih sayang begitu luas. Dari kedua penulis di atas, adalah Buya Syafii yang terbilang berani memaknai ajaran Islam secara segar dalam konteks hari ini, kemudian diproyeksikan sebagai kritik pada kelakuan politikus atau agamawan yang dinilainya jauh dari pokok-pokok ajaran Islam.

Terakhir, adalah Asma Nadia, satu-satunya penulis perempuan dan satu-satunya yang menggunakan cara dan pendekatan sastra dalam melihat, menilai, dan menawarkan sesuatu pada problema Indonesia. Nuansa keislaman Asma Nadia, sudah tidak perlu diperbincangkan lagi, entah itu terkait isu keislaman global atau lokal Indonesia. Tulisannya sangat ringan, seperti baca cerpen atau novel. Kadang bercerita, meski tetap bobot yang hendak disampaikan akan terasa setelah kita melahap semua tulisannya.

Idealnya, tentu saja, selain memabaca-disiplin kolom Resonansi, nanti dikembangkan dengan bacaan lain sebagai suplemen atau bisa jadi, ke depan justru kolom Resonansilah yang jadi suplemen setelah kita membaca-disiplin buku lain yang jadi pegangan atau pilihan ilmu yang dikaji. Bukan apa-apa, internet dan media sosial tak pernah salah, dan tak akan pernah salah. Adalah cara kita memahami dan memandangnyalah yang berpotensi salah. Bukan cuma salah, tapi juga berpotensi mencelakai orang-orang tercinta. Semoga kita semua terus lebih arif-bijaksana dalam membaca konten-konten di internet dan media sosial, khususnya konten Islam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image