Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Raden Alka Wali Hakim Hakim

Zakat dan pemberdayaan masyarakat, efektifkah dalam memberdayakan masyarakat?

Agama | Wednesday, 15 Jun 2022, 13:40 WIB

Islam adalah agama yang memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap pengentasan kemiskinan. Islam sangat pro dengan orang miskin tetapi pada waktu yang sama bersikap anti kemiskinan. Apakah ini sebuah paradoks? Tidak. Karena dalam Al-Quran tidak ada perintah agar orang menerima zakat, infaq dan shadaqah. Justru yang diperintahkan adalah agar orang mengeluarkan zakat, infaq dan shadaqah. Artinya orang miskin haruslah bersifat sementara, mereka tidak boleh dan tidak layak berlama-lama berkubang dalam kemiskinan, kelemahan, dan hidup dibawah belas kasihan orang lain.

Landasan teologis kewajiban zakat

Di dalam Al-Quran, zakat, infaq dan shadaqah masing-masing terdapat sebanyak 32, 76 dan 14 kali. Kewajiban shalat dan zakat yang disebutkan dalam satu tarikan nafas, baik dalam bentuk perintah maupun dalam kalimat afirmatif, terdapat pada 26 ayat . Shadaqah dalam makna zakat kita jumpai dalam ayat:60, 103 dan 104, semuanya dalam surat At-Taubah. Dengan demikian, perintah zakat, infaq dan shadaqah punya landasan yang sangat kuat dalam Al-Qur’an, belum lagi dalam sunnah nabi yang jumlahnya banyak sekali.

Ancaman yang dramatis ditujukan kepada siapa saja yang tidak mau berinfaq dijalan Allah. Dalam Q.S. al-Taubat: 35 ditegaskan:

dan orang–orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak mengeluarkan infaq di jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka akan azab yang pedih. (Yaitu) pada hari yang dipanggang (harta-harta) itu atas neraka jahannam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan]) kepada mereka: itulah harta bendamu yang kamu timbun untuk dirimu sendiri; oleh karena itu, rasakan (akibat) dari apa yang kamu timbun itu”.

Memang ancaman ini amat keras, tetapi jangan mengakibatkan kita takut menjadi kaya, sebab kekayaan itu menurut Al-Quran adalah karunia Allah (min fadhli Allah) yang harus kita cari. “apabila shalat (jum’at) telah dirampungkan, maka bertebaranklah kamu dimuka bumi, dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” Mengingat Allah disini agar kita tidak lupa daratan, tidak lupa lautan, harta yang dicari sebagai sarana untuk meraih kualitas hidup yang lebih bermakna. Ada dimensi transenden disini dengan prinsip ini, diharapkan seorang beriman tidak akan pernah kehilangan kompas dalam perjalanan hidupnya.

Dalam realitas kehidupan umat Islam, kewajiban zakat kurang mendapat perhatian, atau setidaknya banyak yang bersiasat agar dirinya terhindar dari zakat. Hitung-hitungan jumlah harta yang terkena zakat menjadi sering dipermainkan, baik secara nishab maupun haul. Hal itu karena pendekatan yang digunakan dalam melihat persoalan zakat lebih dominan pendekatan fiqh dan kurang menyelami makna filosofis dibalik kewajiban zakat tersebut. Fungsi sosial harta masih kurang sekali dihiraukan oleh umat Islam sepanjang masa. Maka tidaklah mengherankan ada diantara mereka berpaling kepada maxisme sebagai solusi untuk mempersempit jurang sosial-ekonomi yang menganga. Teori–teori radikal tentang keadilan dan kemiskinan tidak begitu berkembang dikalangan pemikir muslim, padahal al-Quran telah menyediakan landasan teologis yang banyak. Dalam surat Al-Taubah: 103.

“Ambillah zakat (shadaqah) dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah [hai Muhammad] untuk mereka. Sesungguhnya do’amu itu memberi kenyamanan bagi mereka. Dan Allah maha Mendengar, maha Mengetahui.”

Setiap perbuatan memberi akan menimbulkan kesan-kesan tertentu dalam jiwa kita. Kesan itu bukan diarahkan kepada siapa perbuatan memberi itu ditujukan tetapi atas alasan apa. Jadi, sesuatu yang tumbuh dalam perbuatan memberi adalah titik sasaran yang dibangun dalam zakat. Sesuatu yang tumbuh itu adalah kecintaan kepada Tuhan. Seperti pucuk pohon yang dipotong oleh petani agar si pohon menumbuhkan tunas atau cabang baru yang lebih banyak, sehingga akan menghasilkan buah yang lebih banyak pula. Alasan inilah yang membuat jiwa seseorang berada dalam kesuciannya. Kesucian itu tumbuh hingga ia benar-benar merasakan kerinduan kepada Tuhan.

Pemberdayaan dalam menyalurkan dana zakat

Ada pertanyaan yang sering kali muncul di tengah masyarakat tentang penyaluran zakat. mana yang lebih utama: 1) Zakat disalurkan langsung oleh muzakki kepada mustahik, atau 2) Zakat disalurkan oleh lembaga amil zakat. Berpijak pada Q.S. al-Taubah: 3 sebagaimana telah dikemukakan, maka selayaknya zakat itu ditangani amil. Prasa “Khudz min amwalihim” (ambillah dari harta mereka) mengisyaratkan adanya seseorang atau lembaga yang bertugas untuk mengumpulkan zakat. Menurut Syafi’i, semua ashnaf tidak boleh satu pun tertinggal. Dengan kata lain, dikarenakan dalam ashnaf terdapat amilin, zakat mesti dihimpun dan diurus oleh amilin sehingga bagian amilin menjadi tersalurkan.

Di samping itu, jika zakat langsung disalurkan dari muzakki ke mustahik, sering terjadi kesamaran, yaitu apakah seorang yang menerima itu merupakan orang yang berhak? kebanyakan orang menyalurkan kepada kerabatnya sendiri yang di nilainya sebagai mustahik, padahal di sekeliling tempat tinggalnya masih banyak orang yang berhak menerimanya sebab lebih fakir, lebih miskin, dan lebih menderita dibandingkan kerabatnya tersebut. Di samping itu, penyaluran langsung berpotensi melahirkan ketidak adilan, bisa jadi ada seseorang mustahik menerima zakat dari sejumlah muzakki, sementara yang lain tidak menerima apa pun. Tergantung dari kemampuan mustahik membangun relasi dengan muzakki. Tentu saja hal ini harus diluruskan agar sesuatu yang sudah dijalankan sesuai dengan aturan yang telah ditentukan Rasulullah SAW. Rasulullah SAW selalu mengutus petugas zakat untuk memungut zakat-zakat dari orang kaya di daerah itu untuk diserahkan kepada fakir miskin. Misalnya, beliau mengutus sahabat Muadz bin Jabal untuk pergi ke Yaman.

Dengan demikian, jika ditanya mana yang lebih utama? maka jawabannya adalah zakat itu diserahkan kepada lembaga amil zakat yang amanah dan profesional. Karena paling tidak dengan menyalurkan kepada lembaga amil zakat ada lima keunggulan, yaitu:

· Sesuai dengan petunjuk Alquran dan Assunna

· Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat.

· Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari Muzakki.

· Untuk mencapai efisiansi dan efektivitas serta sasaran dalam pendayagunaan zakat pada suatu tempat.

· Untuk memperlihatkan syiar islam dalam semangat pemerintahan yang Islami.

Diantara esensi pengelolaan zakat melalui institusi amil adalah bagaimana mengefektifkan program penyaluran zakat yang memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan mustahik (kelompok penerima zakat). Sejumlah studi membuktikan bahwa penyaluran zakat secara langsung dari muzakki (wajib zakat) kepada mustahik memiliki dampak yang kurang signifikan dibandingkan dengan apabila penyaluran zakat tersebut dilakukan dengan melibatkan peran amil zakat dalam mengintermediasi muzakki dan mustahik.

Pengelolaan zakat dalam artian mengusahakan agar dana zakat yang berhasil dihimpunnya bisa disalurkan kepada post-post (ashnaf) yang sesuai dengan yang dianjurkan dan ditetapkan oleh syari’at Islam. Usaha pendistribusian zakat ini terdapat dalam program pendayagunaan zakat.

Program pendayagunaan berarti program yang di dalam pendistribusiannya itu tidak hanya memastikan dana zakat sampai kepada mustahik, melainkan juga bernilai produktif dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga status mustahik dapat ditingkatkan menjadi muzakki.

Peranan zakat tidak hanya terbatas kepada pengentasan kemiskinan akan tetapi bertujuan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan kemasyarakatan dan dapat diketahui bahwa, salah satu peranan zakat adalah membantu perekonomian masyarakatnya. Dalam penyaluran dana zakat hendaknya memberi pengaruh terhadap kondisi ekonomi masyarakat, hal itu dapat terlaksana apabila penyaluran dana zakat bersifat pemberdayaan melalui program-program dan kegiaatan yang berkesinambungan.

Penyaluran zakat dalam bentuk modal usaha produktif adalah langkah yang strategis dan efektif serta merupakan suatu solusi alternative dalam rangka pemberdayaan ekonomi keluarga miskin untuk meningkatkan tariff hidup dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Melalui modal usaha tersebut, seseorang yang memiliki potensi untuk berkerja, dapat menggunakan zakat sebagai tambahan modal untuk peningkatan produksi dan menambah penghasilan sehingga tujuannya untuk mengubah status dan meningkatkan pendapatan financial.

Ada lagi pembagian zakat dengan cara konsumtif, menurut saya pembagian zakat dengan cara ini tidak bisa di kembangkan dan tidak bisa di pakai terus menerus, karean masyarakat lebih memerlukan bantuan pemberdayaan di banding denga cara konsumtif.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image