Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ari Faturrokhmah

Asas Manfaat & Perlindungan Terhadap Haji, Pelopori Lahirnya BPKH

Lomba | Saturday, 16 Oct 2021, 22:19 WIB
www.republika.co.id " />
Sumber www.republika.co.id

Indonesia menjadi negara Muslim terbesar di dunia selama berabad-abad. Berbeda dengan belahan dunia lain, Islam menyebar di negeri ini hampir tanpa pertumpahan darah. Sebagai pemeluk Islam, umat berupaya menjalankan ibadah sebaik-baiknya sesuai dengan anjuran agama. Tidak terkecuali berupaya untuk menunaikan setiap rukun Islam, termasuk Haji.

Para ahli telah banyak mengungkapkan tentang keutamaan Haji dalam berbagai tinjauan. Dikutip dari republika.co.id, Ichsanuddin Kusumadi dalam bukunya berjudul Memahami Haji dan Umrah mengatakan, dari sekian banyak hikmah yang dirumuskan oleh para ahli tersebut, jika ditarik garis besarnya maka dapat disimpulkan kepada dua macam hikmah. Yaitu hikmah yang yang berkaitan dengan keagamaan dan hikmah yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Sehingga tidak heran, jika haji menjadi impian tiap umat islam.

Ibadah tahunan ini pun mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia. Pelaksanaan haji menjadi salah satu ibadah yang diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Sejarah Lahirnya BPKH

Intervensi pemerintah perlu diberikan untuk memastikan "perlindungan" atas Jemaah Haji Indonesia. Selain ditinjau dari aspek populasi Umat Islam, Association of Chartered Certified Accountants ACCA (2018) menyebutkan bahwa perhitungan kuota haji suatu negara didasarkan pada 1000 jamaah per 1 juta warga muslim pada suatu negara. Dengan metode perhitungan ini, dapat dipastikan bahwa Indonesia adalah negara penerima kuota haji terbesar di seluruh dunia. Namun demikian, kuota haji Indonesia saat ini masih belum dapat memenuhi minat Umat Islam Indonesia untuk melakukan ibadah haji tiap tahunnya.

Berdasarkan data waiting list pada situs Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama (2018), diketahui bahwa total kuota haji Indonesia adalah 201.994 jiwa. Jumlah kuota ini tidak sebanding dengan total pendaftaran jamaah haji yang mencapai 3.968.655 jiwa. Tidak sebandingnya kuota tahunan dan total pendaftar haji menyebabkan waktu tunggu haji yang cukup lama. Data pada situs Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama(2018) menunjukkan waktu tunggu haji terdekat adalah tahun 2025 dan waktu tunggu haji terjauh adalah tahun 2057.

Secara eksplisit, kondisi inilah yang tergambarkan pada penjelasan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang pengelolaan Keuangan Haji yang menjelaskan bahwa perbedaan jumlah kuota dan pendaftar jamaah haji menyebabkan penumpukan dana jamaah haji yang pada hakikatnya bisa digunakan untuk kegiatan yang lebih bermanfaat.

Dalam rangka memberi kebermanfaatan atas dana haji, dibentuklah suatu badan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 untuk mengelola keuangan haji. Badan tersebut yakni Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

https://bpkh.go.id" />
Sumber https://bpkh.go.id

Pengelolaan Keuangan Haji Sebelum Pembentukan BPKH

Pengelolaan dana haji di Indonesia kian mengalami perkembangan sejak dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sejak 4 tahun lalu, tepatnya pada 26 Juli 2017.

Sebelum kehadiran BPKH, dana haji yang terkumpul dikelola secara langsung oleh kementerian agama berdasarkan UU no. 17 tahun 1999. Namun, hal tersebut menimbulkan tantangan berupa cakupan tanggung jawab yang terlalu luas dan kemampuan pengelolaan yang belum mumpuni.

Dengan adanya berbagai tantangan tersebut pihak pengelola Dana Abadi Umat (DAU) diubah dari kementerian agama menjadi Badan Pengelola Dana AbadibUmat (BP DAU) dengan diawasi Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) berdasarkan uu no. 13 tahun 2008. Pengelolaan dana haji berdasarkan UU no. 34 tahun 2014 memberi wewenang yang lebih luas dalam investasi oleh BPKH melalui produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung, dan investasi lainnya dengan pengawasan KPHI.

Perbedaan pengelolaan Keuangan Haji setelah adanya BPKH yakni pengelolaan Keuangan Haji tidak berada di tangan Kementerian Agama lagi, selain itu, sistematika pengelolaan Keuangan Haji semakin menjadi jelas karena terdapat kejelasan mengenai status dana haji yang selama ini berada di tangan pemerintah.

Sebagai badan hukum publik yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri, BPKH mempunyai tugas dan fungsi dalam mengelola keuangan haji mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan, serta pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan penerimaan, pengembangan, dan pengeluaran keuangan haji.

BPKH bertujuan meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, meningkatkan rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH, serta meningkatkan manfaat bagi kemaslahatan umat islam. Guna mencapai tujuan itu, BPKH merumuskan grand strategy dan langkah strategis ke dalam empat tahap yaitu tahap menyiapkan pondasi kelembagaan, tahap membangun kepercayaan dan kredibilitas kelembagaan BPKH, tahap mengembangkan peran strategis dan tanggung jawab bpkh untuk kemaslahatan umat, dan tahap mengembangkan pengelolaan dan pelayanan haji terpadu.

Diusia BPKH yang tergolong muda dan tugas yang cukup berat, BPKH terus berupaya mengoptimalisasikan dana haji yang telah tersimpan di tangan pemerintah dan mendorong pengelolaan keuangan haji menjadi lebih baik.Implikasi lahirnya BPKH dalam mengelola Keuangan Haji, membawa dampak kepada berbagai pihak yakni Jemaah Haji, Kementerian Agama, pihak perbankan syariah, dan pihak lain yang terkait dengan penyelenggaraan Ibadah Haji serta pengelolaan Keuangan Haji.

Implikasi yang cukup besar berkaitan dengan hubungan hukum BPKH dengan Jemaah Haji, bahwa BPKH menjadi wakil dari Jemaah Haji dalam hal pengelolaan dana Haji yang disetorkan oleh Jemaah Haji.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image