Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mochammad Fajar Nur

Tulisan, Penulis, dan Kekuasaan

Sastra | Thursday, 14 Oct 2021, 13:48 WIB
Novelist Naguib Mahfouz Winner Nobel (Shutterstock.com)

“Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” – Pramoedya Ananta Toer

Pada suatu siang, seorang pria yang terlihat masih segar dalam umur senjanya terlihat sedang berjalan-jalan menuju sebuah kafe di kawasan Kairo. Ia hendak menuju kafe untuk menghadiri diskusi rutin yang telah ia lakukan bertahun-tahun dengan para sahabat. Ketika hendak memasuki mobil seorang pemuda menghentikannya. Ketika Pak Tua itu hendak menjabat tangannya tiba-tiba saja sang pemuda menusuk lehernya. Total saja ia roboh dan darah mengucur deras. Pada hari Jum'at yang tak pernah ia perkirakan berakhir muram.

Pak Tua itu tak lain adalah seorang penulis novel sekaligus penyair bernama Naguib Mahfouz. Ia satu-satunya orang Timur Tengah yang mendapatkan hadiah Nobel Sastra atas karya novelnya. Karya-karyanya banyak bercorak historical-fiction dimana ia bersuara lantang tentang kehidupan negerinya yang terbentang dalam suatu tradisi sejarah yang panjang dan penuh hal-hal yang luput disuarakan.

Novel-novelnya hendak menjadi “suara lain” yang ia gunakan untuk membangunkan masyarakat dunia bahwa keadaan negerinya jauh dari kata baik-baik saja sekaligus punya sebuah sejarah yang patut didiskusikan. Tak ayal usahanya banyak ditentang, mulai dari pemerintah sampai lembaga agama. Mulai dari yang liberal hingga yang paling radikal. Banyak mengkritik dirinya.

Tentu saja orang besar adalah mereka yang dicintai sekaligus dibenci. Dikenang sekaligus ditentang. Naguib hanyalah satu dari sekian banyak penulis yang berurusan dengan kekuasaan akibat tinta penanya dianggap, "mengganggu stabilitas dan keamanan". Di dalam negeri tentu kita kenal nama-nama seperti Pramoedya Ananta Toer, Goenawan Mohamad, HAMKA, Arswendo Atmowiloto hingga HB. Jassin, yang tulisan dan karyanya menjadikan mereka harus berurusan dengan kekuasaan dan stabilitas.

Tentu saja banyak nama-nama lain dan kisah lainnya yang selalu melihatkan pertentangan antara kekuasaan dan tulisan. Antara penulis dan penguasa. Baik Negara maupun Agama. Tentu saja kita sering mendengar nama-nama seperti Hallaj, Ibnu Arabi, atau bahkan Siti Jenar. Mereka yang mengguncang jagat kuasa keagamaan kala itu dengan berbagai ekspresi cintanya yang dicap sebagai "ekstrem" atau bahkan "kafir". Pada akhirnya mereka yang bersuara lewat tinta harus berhadapan dengan penguasa, berakhir di tiang gantung atau mati di penjara.

Dalam suatu negeri komunis yang kebijakannya berubah menjadi penjara kebebasan berkarya, pada akhirnya juga banyak memakan korban bagi para penulis yang bersuara untuk zamannya. Ada orang-orang seperti Boris Pasternak, Anna Akhmatova, Alexandr Solzhenitsyn, József Lengyel, hingga peraih Nobel Czeslaw Milosz yang harus berurusan dengan kekuasaan. Beberapa diancam penjara, beberapa lari, beberapa hilang tak tergali.

Kini, kita tau pisau yang menusuk di leher Naguib adalah simbol dari ketakutan. Dari keresahan dan konspirasi kekuasaan yang khawatir kedudukannya goyang. Kita tak pernah tau maksud si pemuda yang menyerangnya, tak tau untuk siapa ia bekerja. Pemerintah dan kaum ekstrimis saling menyalahkan dan bermain teori. Belasan orang ditangkap dan dieksekusi dan menjadi kambing hitam kejadian ini.

Naguib yang ditemui NewYorker saat di rumah sakit hanya bisa tersenyum sedih melihat buntut kasusnya. Ia menentang para ekstrimis yang berbuat kekerasan sekaligus menentang sistem keamanan pemerintah yang asal dan sewenang-wenang. Ia pada akhirnya hanya menjadi boneka pelegalan atas kekerasan dan penindasan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu kekuasaan.

Pada akhirnya kita tau tulisan dan kekuasaan saling berkelindan dan bisa jadi bertentangan. Penguasa dan penulis kadang mesra bercengkrama atau bahkan saling serang dengan tinta dan senjata. Yang pasti jelas setiap suara yang menggoyangkan singgasana berarti ancaman keamanan, kita tak pernah sadar bahwa hal sebesar dan semegah kekuasaan bisa gentar menghadapi ide dan kata-kata. Ya, hanya kata-kata. Sebab ia mampu menembus ribuan kepala. Kepala-kepala yang ‘sadar’ adalah bahaya terbesar suatu kuasa.

Saat ini, masihkah kata-kata memberi kesadaran di kepala kita?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image