Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Mengenang Prof Dr. Moestopo, Kiprah dan Semangat Pahlawan Nasional di Dunia Pendidikan

Sejarah | Friday, 10 Jun 2022, 20:35 WIB

Prof. Moestopo dikenal sebagai sosok yang penuh dengan ide, kreativitas dan berjiwa mandiri. Sebagai seorang idea maker, banyak ide yang disumbangkan kepada masyarakat. Ide yang dinilai banyak kalangan sangat berguna karena cepat menyerap ilmu dan kemudian mengembangkannya. Beliau pernah berkata, “Ambil lah salah satu bagian dari ilmuku dan kembangkan. Anda akan menjadi orang yang terkenal dan ahli di dalam masyarakat.”

Banyak kalangan yang menilai Prof. Moestopo seseorang yang mumpuni karena ditempa oleh kehidupan zaman, bahkan ilmunya sudah sampai ke tingkat tarikat dan hakikat, sehingga kadang-kadang kemauannya sukar diikuti oleh orang kebanyakan. Mereka baru mengerti dan mengetahui kebenarannya beberapa bulan, bahkan beberapa tahun kemudian, setelah mengalaminya sendiri. Semua ilmunya diterjemahkan secara empiris, baik secara akademik maupun di dalam praktik kemasyarakatan.

Beliau dikenal juga sebagai tokoh sejarah, pengembang teori dan filsafat. Namun, kekayaannya akan ilmu tetap membuatnya mau bergaul dengan orang kebanyakan. Ibarat padi, semakin berisi maka semakin merunduk. Beliau membaur dengan masyarakat bahwa hingga kaum elit, peduli lingkungan sekitar, sekaligus seorang ilmuwan yang dapat dibuktikan dengan gelar-gelar ilmu yang disandangnya.

Putra terbaik bangsa yang ditandai dengan berbagai macam penghargaan dari dalam dan luar negeri, penyandang bintang Maha Putra Utama Tingkat Pertama, penyandang Bintang Maha Putra Naraia, dan terakhir sebagai Pahlawan Nasional. Beliau berjiwa “merah putih” yang ditunjukkan dengan seluruh perjuangannya yang dipersembahkan untuk Ibu Pertiwi. Beliau juga menyatakan sebagai pengawal Pancasila, sebagai bukti semua itu diperlihatkan tingkah laku sehari-hari sesuai dengan keyakinannya.

Sebagai seorang humoris, kehidupannya dipenuhi dengan senda gurau dan tidak pernah tersinggung sedikit pun apabila ada serangan balik. Ini terbukti dalam sebuah acara ramah tamah. Seorang penerjemah menyanyikan lagu “Ya Mustafa" dan mengajak beliau naik panggung. Dengan gaya tidak canggung, beliau menari ala Timur Tengah sebagaimana layaknya seorang Abu Nawas menari. Hal itu menimbulkan gelak tawa seluruh hadirin. Sebagai balasannya, beliau menyanyikan lagu perjuangan, menyuguhkan tarian wals, dan berakhir dengan semua hadirin ikut serta berdansa mengikuti irama sehingga suasana pertemuan menjadi sejuk dan bersahabat.

Demikian juga ketika beliau berada di lingkungan sekolah. Kepada para murid taman kanak-kanak, beliau menyebut dirinya “Paman Profesor”. Kepada para alim ulama, beliau menyebut dirinya “Pak Jenal”, serta di kalangan pemuda, intelektual dan mahasiswa, sebutannya “Pak Moes”. Begitu akrabnya, Pak Moes dengan para pemuda dan mahasiswa, sehingga sering tidak kelihatan perbedaan antara mahasiswa dan profesor.

Berhadapan dengan mahasiswanya di Universitas Prof. Dr. Moestopo (beragama), Moestopo memiliki cara unik sendiri. Seringkali Pak Moes “dikadali” para mahasiswanya. Contohnya ketika Pak Moes dan sejumlah mahasiswa berkumpul dan memanggil tukang sate. Habis lah satu satu pikul dimakan mahasiswa, termasuk Pak Moes. Ketika harus membayar, Pak Moes yang memberikan uang kepada penjual. Tetapi, dia tidak kehilangan akal. Setelah hening sejenak, tiba-tiba beliau berteriak “Siap!”. Saat itu, mahasiswa pun langsung mengambil sikap berdiri tegak.

Pak Moes berkata, “Kamu sekalian di sini sekolah swasta, dan sekolah swasta harus bayar. Ayo, siapa yang belum bayar?” Dengan sigapnya beliau menyuruh pembantunya untuk mengutip uang dari mahasiswa dan mencatat pembayaran uang kuliah, kalau perlu semua isi kantong diminta dikeluarkan. Bagi mereka yang benar-benar tidak punya uang, tentunya dibebaskan dengan beberapa syarat.

Peristiwa seperti itu tidak pernah direncanakan, terjadi dengan spontanitas. Untuk mencairkan suasana yang kecut, Pak Moes memanggil mahasiswa yang pandai main suling. Lalu tidak lama, mereka hanyut dalam gelak dan tawa sembari menyanyikan lagu Jawa dan Melayu. Ini menjadi salah satu cara Pak Moes mendekatkan diri dengan para mahasiswanya di Universitas Prof. Dr. Moestopo (beragama) di awal-awal waktu. Kadang sampai larut malam, Pak Moes masih beraktivitas dengan civitas akademika di kampus tersebut.

Mayor Jenderal (Purn) Prof. Dr. Moestopo wafat pada 29 September 1986 dan dimakamkan di TMP Cikutra Bandung. Atas jasanya, Pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan bintang jasa Mahaputra Adipradana sesuai dengan Kepres RI No. 066/TK/2007. (tamat)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image