Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lilis Ummi Fa'iezah

Lelaki Pendamba Cinta

Sastra | 2021-10-12 11:53:09
https://unsplash.com/s/photos/man-alone

Nastiti atau lebih sering dipanggil Bu guru Nastiti jelas risih. Bagaimana tidak, di sekolah dimana ia mengabdikan diri, ada pria yang suka padanya walaupun pria itu tahu bahwa Nastiti telah berkeluarga dan berputra dua. Pria itu tidak hanya menyukai tapi sudah pada taraf mencintai Nastiti secara pribadi.

Pria yang sangat mengganggunya itu adalah rekan kerja Nastiti sendiri di sekolah. Sejak menyadari adanya ketidakberesan dengan teman kerjanya ini, praktis hari-hari Nastiti berlalu dengan ketidaknyaman. Setiap hari ia harus menghindari bertemu rekan kerja yang satu ini.

Pak guru Anwar, begitu ia biasa dipanggil adalah seorang pria yang saat ini hidup sendiri. Pak guru ini memang baru saja bercerai dengan istrinya yang seorang pengusaha. Anak semata wayangnya saat ini tinggal bersama sang istri. Anwar kebetulan mengalami sakit yang lumayan berat. Ia harus melakukan cuci darah seminggu dua kali. Konon kabarnya, sakit Anwar ini yang menyebabkan sang istri meminta cerai darinya. Tapi kebenarannya entah, hanya mereka berdua yang tahu.

Nastiti menganggap pak guru yang usianya sepuluh tahun lebih muda darinya ini tidak tahu malu dan tidak tahu diri. Mencintai orang yang lebih tua. Ia juga tidak peduli bahwa apa yang dilakukannya ini dapat merusak rumah tangga Nastiti. Beruntungnya, Utomo, suami Nastiti bisa mengerti. Itu juga karena Nastiti selalu menceritakan apa adanya tentang kejadian di sekolah padanya.

Dengan embel-embel cerita sakitnya Anwar, Nastiti dapat membuat Utomo percaya bahwa tidak layak kalau Utomo harus marah pada Anwar, melakukan tindak anarkis ataupun melabrak Anwar hanya demi sebuah harga diri. Utomo cukup mengerti hal ini karena Nastiti adalah seorang wanita yang tidak pernah aneh-aneh dalam hidupnya.

Apa yang dipesankan Utomo adalah selama bisa menghindar, Nastiti harus berusaha meghidar agar tidak berjumpa langsung dengan Anwar. Nastiti menurut saja apa yang diinginkan Utomo demi kebaikan rumah tangganya.

Bisa dipahami apabila Nastiti merasa risih. Sikap Anwar di sekolah seperti anak kecil saja. Ia tak sungkan menceritakan perasaannya pada Nastiti kepada guru-guru dan karyawan di sekolah. Tak ayal Nastiti sering menjadi bahan perundungan rekan rekan kerjanya. Anwar juga sering melakukan hal-hal yang aneh menurut Nastiti. Seperti pada saat ulang tahun Nastiti beberapa bulan yang lalu. Tepat jam dua belas malam, Anwar mengirim ucapan selamat ulang tahun lewat grup whatsapp guru pada Nastiti. Tentu saja pagi-pagi sekali di sekolah, Nastiti menjadi bahan guyonan teman-temannya. Walaupun semua warga sekolah tahu bagaimana cinta Anwar hanya bertepuk sebelah tangan, namun mengolok-olok Nastiti menjadi hal yang mengasyikkan bagi mereka.

”Cie..cie...Bu Nastiti. Pak Anwar takut keduluan orang lain sampai-sampai jam dua belas tengah malam tepat sudah kirim ucapan. Cinte nih, yee,” kata Bu Sinta yang duduk di sebelah Nastiti disambut tawa teman-teman sesama guru lainnya. Nastiti hanya tersenyum tipis tanpa menanggapi celotehan sahabat akrabnya ini. Hanya saja, hatinya menyimpan kepedihan yang sangat.

Sebenarnya mengirim ucapan selamat ulang tahun adalah hal biasa. Namun kalau yang melakukan adalah Anwar pada Nastiti, tentu itu menjadi hal yang tidak biasa. Belum lagi lagu-lagu cinta yang selalu dikirim Anwar setiap malam minggu melalui grup Whatsapp guru. Walaupun tak pernah tertera nama Nastiti di kalimat-kalimat pengantar lagu sendu itu, namun semua orang tahu untuk siapa lagu itu ditujukan.

”Hayo tebak, nanti malam lagunya apa. Jam berapa kirimnya,” Pak Iklas mencandai Nastiti Sabtu siang sebelum jam pulang sekolah. Semua yang berada di ruang guru spontan tertawa.

”Tenda Biru,” kata pak Cahya sambil terkekeh.

”Nggak ya. Aku Benci Kamu. Jam tujuh malam,” Bu Anita menjawab sekenanya.

”Eh, nggak ya. Risalah Hati by Dewa 19,” Bu Laila menambahkan. Tak ayal suasana ruang guru menjadi bertambah riuh. Muka Nastiti memerah menahan marah. Ia berusaha membuat suasana menjadi netral dengan tersenyum yang dipaksakan. Celotehan teman-teman sesama guru seperti itu biasa terjadi setiap hari. Nastiti berbesar hati menerima semua perundungan dari teman-teman guru untuknya.

Dongkol sebenarnya Nastiti menghadapi teror lelaki pendamba cinta itu. Namun bagaimana lagi, sakit Anwar menjadi alasan Nastiti tak mampu berbuat apa-apa. Pernah suatu saat Nastiti marah pada Anwar. Bukan apa-apa, pasalnya Anwar tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Ia bercerita pada hampir setiap rekan guru yang ditemuinya tentang kekagumannya pada Nastiti.

Entah disengaja atau tidak, Anwar sering memuji-muji Nastiti di hadapan rekan kerja yang lain. Bahkan di hadapan siswa, Anwar sering mengucapkan sanjungannya pada diri Nastiti. Tak jarang ada beberapa siswa yang sering menggunjingkan Nastiti pada saat ia mengajar.

Sering anak-anak yang beranjak dewasa ini berbisik-bisik berkelompok dengan ekor mata mengarah pada Nastiti. Tentu Nastiti menjadi tidak nyaman selama mengajar. Selama pelajaran berlangsung, Nastiti berusaha berlaku sewajarnya agar tidak menimbulkan pergunjingan lebih lanjut dari para siswanya.

Setiap kali kejadian menjengkelkan terjadi yang disebabkan oleh ulah Anwar, Nastiti dengan sekuat tenaga berusaha menahan perasaannya. Semua itu agar ia tak terlihat resah di hadapan siswa. Tak ayal sepanjang jam mengajarnya, Nastiti dihinggapi perasaan tak nyaman. Sehebat apapun ia menahan kemarahan, Nastiti adalah peempuan biasa yang tidak tahan digunjing. Bell tanda pegantian pelajaran sering menyelamatkan rasa malunya di hadapan siswa. Padahal sesungguhnya ia tidak tahu apakah para siswa tadi sedang menggunjingnya atau hanya sekedar berbisi-bisik mengobrolkan masalah lain.

Pernah saat Nastiti tidak tahan lagi menjadi bahan olok-olok semua rekan-rekannya di sekolah, hingga ia bertekad memberi pelajaran pada Anwar. Ditemuinya Anwar pagi itu. Nastiti meluapkan segala emosinya pada Anwar. Hanya saja kemarahan Nastiti dianggap angin lalu oleh Anwar karena ia justru menikmati kehadiran Nastiti. Saat itu Anwar justru terlihat senang karena orang yang disayangnya mau berbicara padanya walaupun dalam keadaan marah.

Sebenarnya Nastiti tahu teman-temannya hanya bercanda dengan mengolok-olok Nastiti. Hanya saja Nastiti kadang menanggapinya dengan serius walaupun tidak secara terang-terangan. Wajah Nastiti memerah menahan malu. Tak mungkin Nastiti mengungkapkan rasa marahnya pada rekan-rekannya di sekolah. Apa jadinya apabila Nastiti yang seorang guru terpancing emosinya hanya karena diolok-masalah yang menurutnya tidak penting.

”Bu Nastiti, tadi pak Anwar titip salam buat Ibu,” kata Mbak Sari petugas laboraturium IPA. Nastiti hanya menanggapinya dengan senyum. Mbak Sari bahkan menawarkan salam balik buat pak Anwar, namun Nastiti hanya tersenyum karena ia tahu Mbak Sari hanya ingin mencandainya. Nastiti teringat pesan Utomo untuk tidak menanggapi gurauan teman-temannya. Namun tetap saja hati Nastiti dongkol bukan kepalang.

”Sudahlah, Adik tidak usah menanggapi. Mereka hanya bergurau. Yang penting Adik bekerja sebaik-baiknya. Menghindar sebisa mungkin. Aku percaya kok,” kata Utomo yang memang berkepribadian lembut menanggapi keluhan Nastiti dengan santai.

”Tapi aku merasa terganggu dan tidak nyaman. Coba Mas jadi aku. Pasti dongkol setengah mati,” Nastiti nyerocos begitu saja mengungkapkan kejengkelannya. Seperti biasa Utomo hanya tersenyum mendengarkan kalimat-demi kalimat yang meluncur dari mulut Nastiti yang seolah tanpa berhenti. Bagi Utomo, perilaku Nastiti setiap hari yang biasa dan baik sudah cukup membuktikan bahwa Nastiti adalah istri yang setia.

Nastiti kadang berpikir untuk melaporkan Anwar pada atasannya yaitu kepala sekolah. Andai ia tak ingat akan sakitnya Anwar, tentu ia sudah membuat laporan tertulis kepada kepala sekolah tentang perilaku Anwar yang menurut Nastiti menyimpang.

Nastiti sering mendengar cerita dari beberapa rekan guru bahwa sakit Anwar sangat parah. Sering Anwar kejang dan pingsan di sekolah tanpa sebab. Sering rekan-rekan guru mengantarkan ia ke rumah sakit ketika ia tiba-tiba kejang atau pingsan. Namun semenjak kepindahan Nastiti ke sekolah itu, Anwar sangat jarang terlihat kejang atau pingsan di sekolah. Setahun ini ia hanya mengalami kejang dan pingsan dua kali. Padahal sebelumnya, bisa jadi satu bulan ia terjatuh tidak sadar tiga sampai empat kali.

”Dasyatnya cinta,” kata Pak Doni salah satu guru yang sering mengantar pak guru Anwar ke rumah sakit.

”Menurut kalian ini karena aku. Ya enggaklah. Ini takdir kenapa ia tampak sehat begitu. Emang aku Tuhan apa!” kata Nastiti sedikit emosi.

”Buktinya, sejak kehadiran Bu Nastiti, Pak Anwar jadi sehat. Kalau begitu, judulnya Mahadaya Cinta,” kata Bu Sinta disambut tawa rekan-rekannya. Melihat teman-temannya tertawa Nastiti hanya bisa menahan senyum kecut. Jelas hatinya tak suka.

Seiring waktu berlalu, keadaan tidak berubah. Nastiti tetap bersikap sama terhadap Anwar, menjauh. Anwar tetap dengan kelakuannya yang sering menjengkelkan Nastiti. Semua orang di sekolah hanya berusaha meredam kemarahan Nastiti dengan menjelaskan bahwa pak Anwar menjadi sehat sejak kehadiran bu Nastiti. Rasa cintanya pada bu Nastiti menambah semangatnya untuk hidup. Sudah tiga tahun lebih teman-teman menyaksikan bagaimana semangat hidup pak Anwar timbul lagi semenjak Nastiti bertugas di sekolah itu. Boleh percaya atau tidak Anwar seperti hidup kembali. Semakin banyak ia bertemu Nastiti, semakin terlihat ia bahagia. Semakin ia merasa bahagia, semakin bertambah semangat hidupnya. Semua orang ikut berbahagia dengan kebahagian yang dirasakan Pak Anwar.

Namun tidak begitu dengan perasaan Nastiti. Rasa bersalah pada Utomo suaminya membuatnya tidak nyaman berada di sekolah. Nastiti tidak ingin setiap orang, termasuk suaminya melihatnya sebagai wanita penggoda. Padahal Nastiti merasa ia bekerja baik-baik sebagai guru. Tak pernah terbersit di hatinya ada seorang lelaki yang tertarik padanya. Lelaki tersebut menjadi tidak bisa berpikir waras. Yang tidak masuk akal lagi ketika lelaki yang sudah sakit lumayan parah ini berubah menjadi sehat semenjak bertemu dengan Nastiti. Nastiti yang duduk di gazebo sekolah sendirian termenung merunut kejadian yang tengah menimpanya.

Di kejauhan, Nastiti melihat Anwar berjalan pelan menuju kelas 8E yang letaknya paling ujung dekat laboraturium Komputer. Langkahnya yang memang gontai namun terlihat bersemangat menandakan semangat hidupnya yang besar. Nastiti mengusap wajahnya yang tidak berkeringat ataupun kotor. Ia menengadah keatas seolah mencari keberadaan Sang Maha Kuasa. Sambil bergumam ia menitipkan pesan padaNya. ”Jangan Kau persalahkan aku dengan keadaan ini, ya Allah. Aku tidak tahu lagi.”

Pagi itu, sehabis subuh Nastiti membuka grup Whatsapp para guru untuk mengecek agenda pagi ini yang biasa dibagikan Kepala Sekolah. Ternyata sudah ada lima puluhan pesan belum terbaca. Nastiti terhenyak ketika semua ucapan itu adalah ucapan duka untuk pak Anwar yang baru saja pergi untuk selamanya.

Nastiti terduduk. Tak terasa air matanya tumpah perlahan. Terucah kalimat istirja perlahan dari mulutnya. ”Semoga husnul Khatimah, kawan,” gumam Nastiti lirih.

#cerpenjagalahhati

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image