Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arief Hanafi

Mempertanyakan Digitalisasi Pendidikan

Guru Menulis | Sunday, 10 Oct 2021, 21:55 WIB
ilustrasi belajar daring. by edukasi.kompas.com

Pandemi Covid-19 telah meruntuhkan kemapanan model pembelajaran konvensional yang berlangsung ratusan tahun. Hanya dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, pembelajaran dengan tatap muka berubah menjadi pembelajaran dalam jaringan (daring). Tak ayal, perubahan yang sangat cepat ini menimbulkan kekalutan dalam dunia pendidikan kita.

Kondisi seperti itu harus diakui, sekalipun ada percepatan perkembangan teknologi, masalah pendidikan ternyata tidak serta merta teratasi dengan baik. Hal ini disebabkan karena sebelum pandemi, bisa dihitung berapa sekolah di tanah air yang telah melakukan adaptasi bahkan transformasi pembelajaran berbasis digital.

Selain itu, seringkali pengambil kebijakan kita baik ditingkat pemerintah maupun sekolah cenderung berfikir instan dalam menyelesaikan masalah pendidikan. Misalnya saja mereka menginvestasikan dana dalam jumlah besar untuk pengadaan produk teknologi yang baru. Pertanyaanya adalah, apakah dengan pengadaan berbagai fasilitas, seperti satu siswa satu laptop, perluasan jaringan internet, penggabungan model pembelajaran tatap muka dan digital mampu membuat lompatan dalam meningkatkan mutu pendidikan? Jawabanya adalah belum tentu.

Sebagai contoh, adanya kebijakan pemberian kuota internet oleh pemerintah tidak serta merta siswa memanfaatkan kuota tersebut untuk belajar. Sebaliknya banyak laporan orang tua yang menyayangkan sikap anaknya karena memanfaatkan kuota tersebut untuk game online atau sekedar melihat video melalui aplikasi youtube.

Melihat pemahaman yang tidak sepenuhnya tepat ini, agaknya perlu disepakati terlebih dahulu posisi teknologi dalam pembelajaran. Menurut hemat penulis, peran teknologi adalah sebagai alat untuk membantu proses pembelajaran. Karena sebagai alat, maka teknologi tidak bisa menggantikan posisi manusia sebagai subjek atau pelaku utama pembelajaran.

Misalnya saja dalam penggunaan power point. Teknologi ini menjanjikan “kekuataan” saat guru tampil di depan kelas. Namun kekuatan ini seketika akan pudar atau bahkan menjadi powerless point saat laptop tiba-tiba rusak, atau file tidak bisa dibuka. Dalam kasus yang berbeda, power point akan menjadi tanpa daya jika kita hanya menumpuk uraian dalam satu lembar tampilan. Bisa dipastikan siswa akan jenuh bahkan cenderung mengantuk saat guru menjelaskan.

Pedagogi Kritis di Ruang Digital

Fakta bahwa era digital yang notabene berbasis teknologi ternyata tidak serta merta membawa pendidikan yang memanusiakan manusia. Di masa pandemi seperti sekarang sekolah-sekolah memberikan alternatif pembelajaran dengan menggunakan berbagai produk Learning Management System (LMS), seperti Google Classroom, Moodle, Schoology dsb.

Alih-alih ingin memberikan pembelajaran yang dialogis kepada peserta didik, penggunaan LMS cenderung menguatkan kembali peran guru dengan desain instruksional dan latihan soal yang bersifat searah dan monolog. Padahal hakikat teknologi di bidang pendidikan adalah untuk melakukan inovasi pembelajaran yang dialogis dan humanis. Bukan sebaliknya, sebagai alat untuk mempertahankan dominasi guru atas siswa.

Paulo Freire (2017) dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas menolak pembelajaran gaya bank. Model pembelajaran ini identik dengan dominasi guru terhadap siswa. Anak secara pasif dijejali pengetahuan dan tidak diberi ruang yang cukup untuk berkreasi dan berpikir secara kritis. Masalahnya model pendidikan seperti ini jamak terjadi di sekolah-sekolah. Pendidikan model celengan seperti ini bagi Paulo Freire sudah semestinya ditinggalkan. Guru harus berani memikirkan ulang, mempertanyakan kembali pembelajaran yang dilakukan selama ini.

Untuk memulai pedagogi kritis dalam dunia digital, setiap guru agaknya perlu memaknai pembelajaran virtual tidak hanya sebagai proses transfer pengetahuan. Lebih dari itu, pembelajaran merupakan usaha untuk menyiapkan siswa sebagai agen perubahan.

Maka Pedagogi kritis semacam ini mengajarkan bahwa pengetahuan sesungguhnya tidak netral. Guru harus mengedepankan dialog kepada siswa dan bersikap kritis terhadap pengetahuan yang akan dibahas: pengetahuan ini milik siapa dan dibuat oleh siapa, supaya pendidikan selalu menjadi upaya untuk membebaskan, bukan untuk mempertahankan status quo.

Melihat persoalan ini, pedagogi kritis memberi pesan kepada kita agar tidak menyerah pada platform, LMS atau perangkat teknologi lainya. Sebisa mungkin kita mengendalikan alat bukan sebaliknya: diperalat oleh alat. Maka dengan begitu guru memaknai pendidikan kritis dalam ruang digital sebagai alat untuk mengubah praktik belajar yang searah menjadi ruang belajar yang kolaboratif, memancing diskusi dan refleksi kritis, mempertanyakan status quo dan menjadi agen perubahan.

Dalam pedagogi kritis kepiawaian guru dalam mengajukan pertanyaan dalam ruang digital menjadi sangat penting. Guru bisa memulai pembelajaran dengan memberi teks, baik dalam bentuk video atau tulisan. Selanjutnya siswa perlu diajak untuk berdialog bersama untuk memberikan tanggapan atau analisis berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas.

Kelas pedagogi kritis dapat dilakukan untuk semua tingkatan dan gabungan beberapa mata pelajaran. Hal ini akan membantu kita untuk membangun budaya dialog. Merancang kelas pedagogi kritis tidak sulit dilakukan bila guru berani keluar dari kotak sempit mata pelajaran dan mengaitkan materi pembelajaran dengan isu-siu demokrasi, keadilan, keberagaman, kejujuran dan anti korupsi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image