Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Pandu Satyabrata

Jungkir Balik Pendidikan di Era Covid

Guru Menulis | Sunday, 10 Oct 2021, 20:11 WIB
dok. pribadi

Pandemi merubah segalanya, dunia seakan terbalik, semua sektor terkena dampaknya. Entah besar atau kecil, badai itu ada, tak terkecuali sektor pendidikan. Wajah pendidikan seketika berubah total dan berlaku di seluruh dunia. Terjadi shifting dari offline (tatap muka) menjadi online/ daring (dalam jaringan). Mau tidak mau, suka atau tidak, maka kita harus beradaptasi dan melaksanakan semua dengan daring, kecuali apakah kita rela tertinggal lebih jauh lagi dari negara lain? Tentu tidak.

Mengacu pada hasil survei PISA (Program for International Student Assesment) yang menyatakan bahwa Indonesia berada pada 10 negara terbawah dengan tingkat literasi yang rendah, diperkuat dengan data UNESCO yang menyatakan bahwa minat baca orang Indonesia sebesar 0,001%, yang artinya dari 1000 orang hanya 1 orang yang gemar membaca, Indonesia dipaksa melakukan kegiatan belajar mengajar secara daring. Lho, dengan pembelajaran tatap muka saja, anak-anak malas membaca, jika bukan minatnya maka bacaan hanya di-skip, apalagi sekolah daring yang tidak ada pantauan tatap muka. Tidak sampai disini saja, Indonesia berdasarkan laporan Speedtest Global Index menempati urutan ke 121 negara dengan kecepatan internet. Apakah Indonesia yakin mampu melakukan pembelajaran daring? Tentu mampu, dengan segala problematikanya.

Dari data diatas kendala seakan menghantui, belum lagi dampak yang ditimbulkan dari pembelajaran daring, pertanyaan selanjutnya, apakah kita akan berdiam diri saja kalau tidak mencobanya? Jawabannya adalah tidak, mengingat masa depan bangsa ada di tangan anak-anak. Pelaksanaan pembelajaran daring harus disiapkan regulasinya dan ditata pelaksanaannya supaya semua seragam berlaku di seluruh Indonesia, bertujuan meminimalisir kesenjangan pendidikan antar daerah. Pemerintah tidak tinggal diam, melalui Kemendikbud segera mengeluarkan Kurikulum Darurat pada Satuan Pendidikan dalam kondisi khusus. Mendikbud, Nadiem Makarim, menyatakan bahwa kurikulum darurat memberikan fleksibilitas bagi sekolah memilih kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan melakukan penyerderhanaan kurikulum secara mandiri, tentunya tetap mengacu pada kurikulum nasional sebagai pedoman. Ah, sungguh aturan pemerintah memberi angin segar bagi sekolah, harapannya pelaksanaan daring berjalan lancar. Seiring jalan, pemerintah juga memberikan kuota internet gratis kepada siswa dan guru, rasanya semakin semangat menghadapi pembelajaran daring. Sektor swasta tak tinggal diam juga, dukungan dari perusahaan besar dan brand ternama sangat besar melalui program CSR (Customer Social Responsibilities) berupa pemberian alat sekolah yang krusial dalam pelaksanaan daring seperti handphone, laptop, komputer, dll, pemberian insentif untuk guru dan murid tidak mampu dan sebagainya. Semua stakeholder sudah turun tangan dan semakin lengkap persiapannya, mungkinkah semua berjalan dengan lancar? Mari kita bedah, sambil mengingat-ingat apa saja yang terjadi selama pelaksanaan belajar daring ini.

Media sosial tumbuh pesat di Indonesia, pada awal 2021 saja pengguna internet tembus 202 juta jiwa lebih dan setidaknya 170 juta jiwa diantaranya aktif bermedia sosial. Hal ini menjadikan media sosial sebagai sarana memberitakan sesuatu, mulai dari yang serius sampai yang receh, bahkan bisa menjadi sarana memantau berita terkini yang terjadi di Indonesia, tak terkecuali isu pendidikan. Memantau fenomena pembelajaran daring melalui media sosial sungguh menggelitik, dari yang mengundang tawa hingga hal yang membuat geleng kepala dan jadi buat kita bertanya “kok bisa sih?”

Pembelajaran daring di media sosial seliweran seputar tentang peran orang tua, peran guru hingga isu budaya dan adat-istiadat dalam pelaksanaannya. Kejadian mengenai saat-saat orang tua mendampingi anak mengerjakan tugas sekolah daring beraneka ragam, ada anak yang berdebat dengan orang tuanya mengenai suatu materi pelajaran tanpa adanya guru yang menengahi, ibunya marah karena anak tak kunjung mengerti tugasnya, sedangkan sang anak menganggap tugasnya sepele, masing-masing memiliki argumen yang diyakininya, debat dan marah yang terjadi sejatinya tak sampai menimbulkan suasana chaos atau justru terkesan menjadi hal tercela, nyatanya mimik mereka jenaka sehingga membuat kita yang melihatnya tertawa. Di sisi lain, ada cerita ibu dan anak yang membuat kesepakatan, rupanya pekerjaan rumah ibu tak kunjung selesai karena mendampingi anak belajar cukup memakan waktu lama, maka dibuat kesepakatan bahwa ibu mengerjakan tugas sekolah sedangkan anak mengerjakan pekerjaan rumah, mulai dari menyapu sampai memasak dan kesepakatan tersebut berjalan dengan baik. Bagaimana, sudah cukup tergelitik dan geleng kepala membacanya? Masih ada contoh lainnya, berita tentang perjuangan anak-anak mencari sinyal hingga ke gunung demi dapat melakukan belajar daring melalui zoom meeting bahkan harus naik ke atas pohon, terpancar bahwa jaringan teknologi dan telekomunikasi belum merata di Indonesia. Melihat anak-anak semangat belajar dengan menerabas rintangan, apakah belum cukup motivasi untuk memeratakan jaringan telekomunikasi? Ini menjadi bahan renungan. Ada lagi cerita seorang bapak yang rela bertindak kriminal dengan mencuri handphone demi anaknya yang membutuhkannya untuk belajar daring, ini mencerminkan bahwa teknologi adalah sesuatu yang sulit disentuh oleh kaum tak punya. Jangankan handphone, buat makan hari ini saja masih harus dipikirkan cari kemana. Tak kalah miris, banyak anak usia sekolah yang rela meninggalkan sekolah dan memilih menikah di usia dini dengan dalih supaya tidak merepotkan orang tua yang harus menyediakan segala kebutuhan belajar daring. Pernikahan anak usia dini menjadi alarm terkait kesehatan fisik dan mental anak. Tak sampai disitu saja, cerita mengharukan juga muncul lewat seorang guru hebat yang rela keliling dari rumah ke rumah tiap anak didiknya untuk mengajar secara privat dikarenakan sang guru tahu bahwa muridnya adalah orang tak mampu yang tidak mungkin belajar daring karena bahkan handphone saja tidak punya apalagi alat teknologi spesifikasi lengkap seperti laptop. Pernak pernik dunia pendidikan sungguh beragam di masa pandemi ini, banyak hal yang bisa dipetik. Cerita orang tua, anak-anak dan guru menegaskan bahwa pembelajaran daring adalah sebuah keniscayaan.

Dengan membaca dan melihat langsung fenomena pembelajaran daring rasanya dapat ditarik benang merahnya, yaitu perjuangan. Anak berjuang beradaptasi dengan belajar sendiri dengan minim pengawasan dan keadaan yang terbatas untuk diskusi dengan teman, orang tua berjuang memenuhi kebutuhan anaknya dengan tak pelak diiringi pengendalian emosi bahkan rela melakukan tindakan kriminal, demi anaknya tetap bisa mengenyam pendidikan di masa pandemi, guru berjuang untuk menyemangati muridnya agar tetap pada jalur pendidikannya dan tak putus sekolah meski berat menghadapi kondisi pandemi. Komunikasi antara anak dengan orang tua, dan orang tua dengan guru semakin intensif agar anak-anak tetap terjaga semangatnya untuk belajar. Orang tua di masa pandemi tak bisa serta merta meninggalkan anaknya belajar sendiri tanpa pengawasan.

Pandemi ini menyadarkan kita semua bahwa peran guru sangat besar dan krusial di dalam kehidupan anak. Bukankah kita sering mendengar kalimat “anakku lebih nurut sama gurunya”, “bu guru hebat banget bisa bikin anakku jadi penurut”, “pak guru sabar banget menghadapi anakku” dan lain sebagainya. Benar bahwa Guru adalah digugu dan ditiru yang membuat anak kita semakin pintar, berwawasan luas dan ber-ilmu pengetahuan. Melihat bahwa guru penting bagi anak bangsa yang memegang tongkat estafet kemajuan negara, semua itu rasanya nasib guru perlu ditingkatkan dan kesejahteraannya diperhatikan. Kalau saja ada atau bahkan banyak guru yang bilang bahwa tidak menuntut macam-macam, mengajar dan mendidik anak untuk mencari pahala Tuhan, maka saatnya kita, orang tua murid yang menyuarakan nasib guru. Guru tidak hanya dituntut menjadi hebat tapi guru juga harus bahagia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image