Garing Pembelajaran Daring
Guru Menulis | 2021-10-10 16:28:35Hampir dua tahun pandemi covid melanda. Selama itu pula penyelenggaraan pendidikan mengalami kendala. Sejak awal pandemi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengalihkan pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran daring (online). Guru mengajar dan siswa belajar dari rumah. Dengan segala keterbatasan, pembelajaran daring menjadi pilihan utama untuk mencegah peningkatan kasus penyebaran covid di tingkat sekolah.
Selama hampir dua tahun berjalan, pembelajaran daring kerap menuai masalah. Dari segi guru misalnya, banyak yang kesulitan mengelola PJJ. Data dari Kementerian Pendidikan menunjukkan sebanyak 60 persen guru bermasalah dalam hal akses teknologi. Dalam hal keterampilan mengajar, banyak guru yang belum memahami bagaimana merancang pembelajaran daring yang baik dan efektif. Tidak mengherankan jika pembelajaran daring menjadi sesuatu yang membosankan karena guru hanya menyampaikan materi dan hanya melaksanakan interaksi satu arah.
Bagi orang tua, PJJ dianggap hanya membuat susah karena mereka harus berjibaku membagi waktu dengan tugas pendampingan anaknya. Orang tua butuh bekerja untuk mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarga. Tidak mengherankan jika sangat sedikit di antara mereka yang dapat meluangkan waktu menemani belajar sekaligus mengontrol perilaku anaknya di rumah. Belum lagi pengeluaran orang tua menjadi bertambah karena harus membelikan gawai dan kuota untuk kepentingan belajar anaknya.
Siswa adalah subjek yang paling banyak merasakan dampak pembelajaran daring. Hal yang serius adalah terjadinya penurunan pengetahuan (loss learning) dan penurunan karakter (loss caracter). Anak didik menjadi tidak berkembang karena pembelajaran daring tidak berjalan maksimal. Kebebasan akses terhadap gawai tidak dibarengi dengan kontrol yang kuat dari guru serta orang tua. Akibatnya banyak siswa yang menyalahgunakan gawaiâbukan sebagai alat untuk belajar melainkan lebih banyak untuk bermain games dan mengakses konten-konten yang tidak baik. Selain itu, masalah sosial pun menghantui. Tidak dipungkiri selama pandemi, banyak pekerja anak bermunculan, angka putus sekolah meningkat, serta pernikahan dini marak terjadi. Data dari Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak menunjukkan bahwa selama pandemi terdapat 64.000 anak di bawah umur yang mengajukan dispensasi menikah.
Pembelajaran New Normal
Pembelajaran daring benar-benar telah menjadi garing. Teknologi yang sejatinya adalah untuk memudahkan ternyata menjadi masalah. Hal itu adalah wajar terjadi mengingat memang sebelum pandemi pun teknologi masih belum menjadi hal yang familiar dalam pembelajaran. Pandemi inilah yang saat ini membelalakkan mata secara jelas bahwa ternyata Indonesia masih jauh tertinggal penggunaan teknologinya. Untuk menekan dampak negatif berkepanjangan yang ditimbulkan selama pandemi, banyak pihak yang mendesak agar pembelajaran daring diakhiri saja. Saatnya kita berdamai dengan pandemi karena tiada seorang pun yang tahu kapan virus ini dapat diatasi.
Untuk itulah, pemerintah telah merancang sistem pembelajaran tatap muka terbatas (PTMT) lewat SKB empat menteri sebagai bentuk adaptasi di masa pandemi. Bagi satuan pendidikan di luar zona merah dapat mengadakan pembelajaran tatap muka dengan menerapkan protokoler kesehatan secara ketat. Walaupun payung hukum penyelenggaraan tatap muka telah ada, hingga saat ini masih sedikit daerah yang melaksanakan pembelajaran tatap muka terbatas. Kekhawatiran bahwa sekolah menjadi cluster baru penularan corona menjadi alasannya. Hal tersebut adalah wajar mengingat pandemi semakin hari semakin menjadi. Akan tetapi hendaknya jangan sampai berkepanjangan sebab dampak yang ditimbulkan dari PJJ jauh lebih buruk dibandingkan dengan pelaksanaan tatap muka terbatas. Hal yang perlu dilakukan adalah pelaksanaan tatap muka terbatas harus diawasi secara ketat agar dapat terhindar dari penularan corona.
Untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka terbatas ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama: pelaksanakan tatap muka terbatas terlebih dahulu harus mendapat persetujuan satgas covid di wilayahnya. Kedua: perlu dicek kesiapan sarana dan prasarana. Penyiapan sabun dan air untuk mencuci tangan serta sarana kesehatan harus dipenuhi. Ketiga: proses pembelajaran di sekolah tidak bisa langsung kembali seperti semula. Di setiap kelas, jumlah siswa tidak boleh lebih dari 20 orang. Jam belajar maksimal dua jam. Belajar dengan menjaga jarak dan memakai masker. Kantin dilarang buka dan kegiatan ekstrakurikuler tidak boleh dilaksanakan karena berpotensi menimbulkan kerumuman. Keempat: sekolah harus membentuk tim satgas covid guna memantau pelaksanaan tatap muka terbatas tersebut. Kelima: memastikan setiap warga sekolah telah mendapatkan suntikan vaksin.
Di banyak negara, pembelajaran tatap muka sudah mulai terlaksana. Tujuannya adalah untuk mengejar ketertinggalan. Anak didik adalah generasi penerus bangsa yang padanya digantungkan cita-cita mulia. Oleh karena itu, sudah saatnya kita mengembalikan hak anak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Adaptasi menjadi solusi dan pengawasan adalah kunci. Mari kita beradaptasi dan berdamai dengan pandemi dengan melaksanakan pembelajaran tatap muka terbatas.
#GuruHebatBangsaKuat
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.