Eksistensi Starling di tengah padatnya Ibukota Jakarta
Kuliner | 2022-06-06 00:38:50Bukan untuk sekedar Instastory, dan sepedanya bukan sepeda sepeda yang harganya mahal. Tapi untuk mengais rupiah demi makan keluarganya. Starling, kata itu sudah tidak asing bagi orang orang di ibukota. Orang yang mengendarai sepeda dengan aneka minuman instan, air mineral, rokok hingga makanan ringan di keranjang depan sepedanya dan termos air panas serta es batu di belakangnya ini kerap disebut “starling”. Sebutan starling tersebut diambil dari nama sebuah toko kopi ternama dari Amerika, Starbucks. Disebut Starling karena para pedagang starling menjual aneka minuman instan yang didominasi minuman berjenis kopi sehingga disamakan dengan starbucks, maka dari itu disebutlah dengan kata “starling” atau singakatan dari starbuck keliling.
Para penjual starling sangat mudah dijumpai di tempat tempat tertentu di Jakarta, khususnya wilayah perkantoran atau distrik kuliner di ibukota seperti jalan Bulungan, bundaran HI, depan Plaza Indoesia, Barito, Monas, Menteng dan masih banyak lagi. Pelanggannya beragam, bukan hanya anak anak muda yang sekedar nongkrong di pinggir pinggir jalan, namun tidak sedikit pelanggannya adalah para pekerja kantoran yang tidak segan bertukar nomor telfon dengan para pedagang starling untuk memudahkan mereka yang sedang ingin membeli kopi atau minuman lain. “Cuma Rp.4000 doang udah dapet kopi item, dari pada beli kopi di mall mall bisa sampe Rp.50.000” kata seorang pedagang starling yang sedang menceritakan pendapat pelanggannya, tidak heran karena harga minuman yang mereka tawarkan terbilang murah jika dibandingkan dengan harga segelas kopi di mall mall.
Starling muncul pada awal tahun 2000an, dan eksistensinya masih bertahan hingga kini. Sebelumnya penjual starling biasa menggunakan gerobak atau keranjang yang dibawa dengan berjalan kaki untuk menjajakan barang dagangannya, namun setelah tahun 2000an para pedagang starling sudah banyak yang beralih untuk mengguanakan sepeda untuk berjualan, menggunakan sepeda dinilai memudahkan mereka untuk berjualan. Selain lebih hemat tenaga, sepeda juga memudahkan untuk mobilisasi para penjual starling.
Omset mereka memang tidak terlalu besar, namun dinilai masih cukup untuk menafkahi keluarga mereka mengingat mayoritas latar belakang mereka adalah orang yang memiliki ekono kelas bawah bahkan tidak jarang dari mereka memilih berjualan starling karena tidak memiliki ijazah pendidikan formal sehingga tidak dapat memiliki pekerjaan yang lebih baik. Saat ditanya, seorang penjual sterling mengaku omset pendapatan dari berjualan starling dalam sehari hanya sekitar Rp.200.000 hingga Rp.500.000, maka banyak pedagang starling yang memilih untuk tidak pernah libur berjualan. Ditambah dengan pandemic Covid-19 yang membuat dagangan mereka menjadi sepi karena banyak distrik hiburan dan perkantoran yang ditutup sehingga membuat mereka kehilangsn pelanggan mereka.
Mayoritas pedagang starling adalah para pelancong yang berasal dari Madura dan sisanya biasanya berasal dari Jawa Timur seperti Surabaya, hal itu dikarenakan saat pedagang starling pulang ke kampung halaman di Madura biasanya mereka mengajak keluara atau kerabat mereka untuk mengadu nasib di Ibukota sebagai penjual starling. Maka sudah tidak aneh para pedagang starling yang kerap disebut ”sahabat kuli” atau “sahabat ojol” ini menjamur di ibukota mengingat modal yang dibutuhkan untuk berjualan starling tidak terlalu besar.
Penjual starling mengaku satu-satunya tantangan mereka adalah saat bertemu Satpol PP, makanya tak ayal para pedagang starling biasanya melarikan diri saat bertemu Satpol PP saat sedang berjuala, “kalo ada Satpol PP saya kabur, kalo ngga bisa bisa saya ditangkep. Soalnya jalan protocol, kalo disana (tempat yang diizinkan) baru boleh” kata seorang penjual starling.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.