Guru di Era Pandemi
Guru Menulis | 2021-10-10 15:24:48Tatkala tubuh ini bangkit mengawali lembaran baru lebih cepat daripada mentari, segala tugas telah bersiap-siap menyita waktu, mempersembahkan siang terik seperti di siang-siang sebelumnya yang âtak kunjung usai. âSelamat pagi, anak-anak â kalimat yang keluar dari seorang guru yang menyapa siswa-siswi tercinta. Gambaran ini yang mudah ditemukan di gerbang sekolah, ruang guru, ruang kelas, bahkan juga koridor kelas yang menjadi spot untuk berpapasan dengan siswa. Beserta âselamatâ yang lain sebagai penyemangat di kala hari yang nantinya di rasa panjang. Betapa ademnya melihat murid â murid yang sopan dan selalu menghormati gurunya di manapun berada.
Namun sekarang, hari-hari penuh kisah itu âtak seperti dulu lagi. Wajah-wajah murid hanya tampak nama dan profilnya saja, suaranya bahkan tidak mengandung semangat, semuanya berubah sejak pandemi melanda sektor pendidikan. Bagai jatuh tertimpa tangga pula, mengajak murid untuk berkomitmen dan berjalan bersama bukan hal yang mudah. Itulah mengapa, perjuangan guru untuk terus berdiri tegak menjadi tameng bagi muridnya dari muslihat COVID-19. Menahan berbagai keluh kesah anak didiknya yang mengamuk pada keadaan dan menjawab semua pertanyaan mereka tentang nasib mereka tanpa pembelajaran tatap muka. Membangkitkan jiwa pemuda yang telanjur dikarantina adalah misi khusus bagi guru-guru Angkatan Corona.
Serasa kelu bibir ini terus berucap dan berargumentasi tentang nasib anak didik di dunia pendidikan di masa pandemic , ada banyak prioritas yang lebih penting dan entah nomor berapa pendidikan anak ini diletakkan. Pendidikan bagaikan air di daun talas, tidak lagi tertebak rutenya meski sudah dibuatkan kurikulum khusus, tetap saja, orang tua perlu memberikan kontribusi besar untuk masa depan anaknya. Begitu juga sekolah dan guru, perlu membuat kurikulum khusus di masa darurat yang belum pasti kapan berakhirnya.
Sebagai guru, baru kusadari setelah hampir dua tahun pembelajaran jarak jauh ini berjalan, semua terkena dampaknya, dan kita tidak mampu untuk menyalahkan suatu pihak tanpa merenungkannya lagi. Pada akhir Maret 2020 lalu, tentu pengumuman diliburkannya sekolah selama dua minggu adalah kabar yang cukup menyakitkan bagi anak-anak sekolah, karena kebosanan selama di rumah sudah tak kuasa dibendung. Jika diusut lagi perjalanan bergelombang pendidikan ini, maka hanyalah berupa harapan-harapan palsu dengan janji dan wacana terencana tetapi âtak terlaksana. Sebagai guru, saya berkali-kali berdoa agar segera bertemu murid â murid di sekolah. Berkali-kali juga, saya mendengar berita tentang protokol kesehatan, dan berkali-kali kudengar berita burung tentang rumah kedua yang akan kembali mempersilakan penghuninya untuk menempati. Nyatanya, semua itu hanyalah kata-kata indah di telinga. Gendang telinga anak-anak didik kini sudah kebal dengan kata-kata, bahkan nasihat gurupun sampai diabaikan. Untuk melampiaskan kejenuhan, mereka berkeliaran kemana â mana tanpa arahan dan bimbingan, gadget menjadi pegangan utamanya
Guru, orang tua, murid. Ketiganya mendapatkan misi khususnya masing-masing di era pandemi. Sampai hari ini, setiap kali pembelajaran, solusi untuk membuat murid bersedia membuka kamera dan mikrofonnya masih saja menjadi misteri di setiap ruangan pertemuan daring. Rindunya suasana pembelajaran luring pasti sudah meluap-luap apalagi ketika melihat nilai murid-murid yang menurun drastis. Berbagai strategi sudah dicoba, mulai dari âyang membuka kamera dapat tambahan nilaiâ, âpembelajaran tidak akan dimulai kalau tidak membuka kameraâ, dari peringatan tingkat terendah sampai yang tertinggi, masih saja ada yang enggan membuka kamera. Sebagai guru, keadaan ini sungguh menjengkelkan, tetapi inilah fenomena pendidikan saat ini. Terutama ketika guru bertanya tidak ada yang menjawab dan murid hanya diam seribu Bahasa. Muncul berbagai tanda tanya, entah mereka paham atau tidak denga pembelajaran yang sudah disampaikan.
Siapa yang dibenci oleh murid? Karena tidak mungkin membenci takdir dan pemerintah, sekolahlah yang menjadi targetnya. Menyalahkan diri sendiri? Jiwa anak-anak didik menjadi tidak stabil, sukar diminta untuk menjadi dewasa. Mereka rindu sekolah. Di mana mengucap âselamat pagiâ dengan semangat dan percaya diri, di mana suasana ramai kelas terdengar menyenangkan, di mana mereka bisa bertemu dengan guru-guru tercinta membulatkan tekat siap menerima pembelajaran serta membahagiakan orang tua. Hanya sebuah harapan dan impian panjang yang penuh tanya, kapan pembelajaran normal kembali seperti dulu.
Namun, setelah pemerintah memperbolehkan guru dan murid untuk bertemu, begitu terasa canggung yang begitu kuat ditunjukkan oleh murid. Beberapa ada yang tidak mengenal guru maupun temannya sendiri. Namun demikian, tetaplah menjadi tugas guru untuk meluruskan niat murid â murid, menjadikan mereka pemuda profil Pancasila.
Waktu tidak akan terulang. Perjuangan stakeholder dunia Pendidikan, guru dan masyarakat seperti tak berujung, hanya untuk mewujudkan Pendidikan yang normal tanpa ada ketakutan. Meluruskan niat murid untuk kembali ke dunia mereka sebagai anak didik yang perlu mendapatkan ilmu dari guru bukanlah hal yang mudah. Karena mereka sudah terlalu lama dalam dunia yang tidak terarah. Hanya gadget teman mereka. Walaupun mereka beralasan, gadget untuk pembelajaran, tetapi ternyata peran dan pengaruhnya begitu luar biasa. Disadari atau tidak, orang tua yang keseharian bekerja, tanpa bisa memperhatikan putra-putrinya di rumah, akan tercengang ketika putra-putrinya begitu mencintai gadget.
Inilah fenomena Pendidikan di Indonesia, di masa pandemic. Pandemi benar â benar membuat kalang kabut dunia Pendidikan. Contoh, ketika anak â anak diminta menyebutkan sila â sila Pancasila, ternyata yang terucap tidaklah lengkap bahkan tidak hafal. Menyebutkan ibukota negara, jumlah bulu â bulu sayap burung garuda dan banyaknya propinsi di Indonesia, mereka tidak sanggup bahkan tidak bisa.
Melihat fenomena ini, perjuangan guru tidak akan pernah berakhir. Pendidikan yang baik, sangat diperlukan untuk generasi bangsa. Merdeka belajar tetaplah harus dilakukan dengan bimbingan dan spesifikasi yang jelas untuk mewujudkan Indonesia maju, menciptakan generasi yang berkualitas, profil pemuda Pancasila, yang nantinya bisa menjadi penopang bagi kemajuan negara.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.