Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Atien Barkatin

Fenomena Belajar Daring Saat Pandemi

Guru Menulis | Sunday, 10 Oct 2021, 08:01 WIB

Hampir dua tahun sudah pandemi Covid-19 melanda hampir seluruh negara di dunia. Berdampak disegala sektor kehidupan. Saat awal pandemi semua kegiatan dikerjakan dari rumah dengan cara online. Perkantoran melaksanakan WHF (Work From House), rumah ibadah ditutup, pusat-pusat perbelanjaan diatur jam operasional termasuk pasar tradisional, angkutan umum membatasi penumpang, sekolah belajar menggunakan sistem daring.

Untuk menyelamatkan ekonomi bangsa pemerintah akhirnya menerapkan new normal. Perkantoran buka dengan menerapkan protokol kesehatan serta membatasi jam kerja, tetapi tidak dengan sekolah. Siswa belajar dari rumah, hanya guru yang diwajibkan ke sekolah mengontrol anak belajar di rumah, dengan alasan siswa tidak andil dalam pembangunan ekonomi bangsa dan menyelamatkan generasi muda dari tertular pandemi, kecuali mereka yang belajar di pondok pesantren diperbolehkan kembali belajar di pondok sesuai dengan SK Bupati setempat, tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan dan tes swab sebelum bermukim di pesantren. Tidak hanya Indonesia, semua negara mencari solusi agar anak usia sekolah tetap belajar dan terpenuhi hak pendidikannya. Dilansir dari laman Republika.co.id. tanggal 4 Agustus 2020, menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengemukakan bahwa sebanyak 68 juta peserta didik mulai dari tingkat Pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga sekolah menengah atas (SMA) di Indonesia turut terdampak pandemi Covid-19.

Sistem belajar daring mengubah habit dan sikap pelajar dari yang biasanya tatap muka menjadi menatap layar ponsel atau laptop. Ada beberapa sekolah yang menerapkan sistem luring, yaitu beberapa hari masuk beberapa hari libur dengan alasan tertentu atau sembunyi-sembunyi. Sistem belajar daring memberikan dampak positif dan negatif, antara lain :

Dampak positif pelajar belajar di rumah :

1. Terhindar dari terpapar pandemi. Pelajar yang sudah duduk di bangku SMP dan SMA mudah menerapkan protokol kesehatan, tetapi mungkin kesulitan merapakannya bagi anak-anak yang masih PAUD/TK dan SD, karena masa anak-anak adalah masa bermain, bergerombol. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya menerapkan kebiasaan menjaga jarak 1 meter.

2. Guru dan siswa melek teknologi. Tuntutan belajar daring menyebabkan guru harus bisa menguasai tehnologi untuk membuat materi pembelajaran seperti membuat video pembelajaran. Demikian pula siswa, mereka belajar mengerjakan tugas guru dengan menggunakan aplikasi-aplikasi pembelajaran.

3. Siswa lebih mengenal keluarganya. Bagi orang tua yang sibuk bekerja, berangkat pagi pulang malam, kini mereka berkumpul di rumah. Merasakan kasih sayang keluarga.

4. Orang tua bertanggung jawab penuh mendampingi belajar putra-putri mereka, sehingga orang tua mengetahui sikap, kebiasaan anak mereka sendiri saat belajar di sekolah. Sebelum pandemik merebak, banyak kasus kekerasan pada guru oleh orang tua atau siswa sendiri. Kasus pelecehan martabat guru oleh sejumlah murid laki-laki SMK swasta di Kendal menyerang gurunya yang diketahui bernama Joko Susilo. Ada lagi kasus kematian guru kesenian hingga meninggal dunia dipukul siswanya akibat menegur siswa karena mengganggu teman saat mengerjakan tugas. Banyak kasus lain yang mencoreng dunia pendidikan akibat menurunnya moral pelajar terhadap peran guru. Belajar di rumah para orang tua menjadi tahu tidak mudah mengajar anak orang dan melihat kelakuan anaknya yang tidak terpuji saat di sekolah.

Dampak negatif pelajar belajar di rumah :

1. Kurangnya sarana pendukung. Siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu kesulitan untuk membeli HP, laptop/netbook dan kuota, kondisi ekonomi orang tua yang terpuruk akibat pandemi, korban PHK, dagangan tidak laku, sehingga siswa tidak mengerjakan belajar akhirnya menjadi malas, dan banyak bermain. Melihat fenomena seperti ini banyak fintech yang bergerak dibidang tehnologi pemberian bantuan pengadaan perangkat teknologi baik untuk siswa, guru maupun sekolah serta bantuan kuota belajar oleh pemerintah pusat.

2. Belajar daring membuat siswa menjadi jenuh dan bosan. Jika di sekolah aktifitas banyak bergerak kini tidak bisa mengeksplorasi lingkungan sekitar, mengenal teman-teman barunya lebih dekat, sehingga belajar di rumah tanpa teman. Siswa hanya menatap layar HP dan laptop berjam-jam, menimbulkan masalah kesehatan mata siswa karena hampir 12 jam menatap layar terpapar radiasi sinar dari alat elektronik.

3. Timbulnya stress pada orang tua terutama ibu. Siswa sekolah dasar masih belum mampu belajar sendiri tanpa bimbingan orang lain. Sistem belajar daring mengharuskan belajar dibantu orang terdekat. Disinilah peran orang tua terutama ibu sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya. Ibu harus membimbing semua mata pelajaran yang anaknya tidak mampu dari materi yang diberikan gurunya, apalagi jika putra-putrinya lebih dari satu dan anaknya beda jenjang pendidikan. Belum lagi tugas utama ibu di rumah seperti mencuci, memasak, membersihkan lantai kini ditambah mengajari anak-anaknya belajar, mengerjakan tugas bertumpuk-tumpuk dari sekolah. Bahkan yang terjadi tugas-tugas sekolah dikerjakan orang tua. Jika orang tuanya tidak mampu maka tidak mengerjakan tugas.

4. Fenomena dilapangan ada guru hanya memberikan tugas tanpa menjelaskan materi. Setiap pertemuan para siswa diberi tugas menumpuk, lebih parah lagi ada tugas-tugas diambil dari internet yang sudah ada jawabannya. Siswa mencari jawaban dari google, ditulis tanpa mengetahui cara penyelesaiannya. Pada sekolah-sekolah tertentu anak dibiarkan lulus tanpa menguasai materi pelajaran. Namun tidak semua guru hanya memberikan materi saja. Banyak guru yang kreatif mengadakan modifikasi pembelajaran online agar siswa tidak merasa jenuh dan bosan, tetapi malah sebaliknya para siswa yang kadang malas. Banyak keluhan dari para pendidik, kalau sudah menyiapkan materi pembelajaran namun para siswa saat belajar malah justru mematikan kamera, atau tertidur.

5. Tidak ada kegiatan ektrakulikuler dan praktikum mata pelajaran. Para pelajar yang mengambil jurusan IPA, seharusnya ada materi praktikum untuk mata pelajaran tertentu seperti Biologi, Kimia, Fisika, ektrakulikuler yang menunjang ketrampilan dan melatih siswa untuk kreatif dan berpikir kritis di tiadakan.

6. Daerah perkotaan jaringan internet bagus tidak ada kendala, berbeda kondisi dengan sekolah-sekolah atau rumah siswa yang berada di daerah pedalaman, daerah susah sinyal. Mereka harus naik ke bukit atau puncak genteng untuk mendapatkan sinyal. Tentu sangat tidak nyaman, apalagi jika cuaca tidak bersahabat. Masih ada di Indonesia dimana listrikpun belum masuk. Fenomena ini merupakan tantangan pemerintah untuk memperluas akses internet dan meningkatkan kapasitas bandwithnya agar dapat menjangkau daerah-daerah pedalaman.

Tidak mudah beradaptasi dengan kebiasaan belajar daring, membutuhkan waktu berlahan dan pasti. Yang terpenting belajar online bukan membebankan siswa dengan tugas bertumpuk-tumpuk, apalagi membuat jenuh yang sudah jenuh tetapi harusnya mendorong siswa menjadi kreatif memanfaat akses digital untuk membuat karya, menghasilkan wawasan dan tetap belajar bagaimanapun keadaannya.

#GuruHebatBangsaKuat

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image