Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Martha Wijaya

MERAWAT OBJEKTIVITAS PADA PEMILU : CEGAH SIKAP INTOLERANSI DALAM PEMILU

Politik | Friday, 03 Jun 2022, 21:33 WIB

Pembukaan ruang publik dan perluasan organisasi kemasyarakatan tidak selalu dikaitkan dengan penguatan demokrasi. Inilah yang banyak terjadi di Indonesia pasca reformasi. Demokrasi yang jujur memberikan ruang tidak hanya bagi masyarakat sipil yang demokratis tetapi juga bagi masyarakat yang anti-demokrasi. Salah satunya adalah organisasi anti-minoritas yang menyebarkan intoleransi dan kebencian aktif dan sering mengarah pada kekerasan. Mayoritas menolak memimpin minoritas karena dirasa tidak memiliki hak untuk memimpin, tumbangnya rasa nasionalisme yang berujung pada kurangnya kepercayaan pada agama lain, sekularisme, serta perasaan terancam dari agama dan kelompok etnis lain.

Sumber : https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fwww.nabire.info%2F2019%2F09%2Fdikotomi-mayoritas-dan-minoritas.html&psig=AOvVaw1ngc216i7ZYiWY5z6OARrG&ust=1654352930533000&source=images&cd=vfe&ved=0CAwQjRxqFwoTCLjYi4m_kfgCFQAAAAAdAAAAABAg

Bagaimana dengan Pola Kepemimpinan Pemerintahan Non-muslim Menurut Landasan Hukum Indonesia?

Pola Hukum Tata Negara Indonesia dapat ditemukan pada pembukaan UUD 1945 tidak membedakan adanya perbedaan suku, bangsa, budaya, agama, dan latar belakang apapun. Oleh karena itu, setiap individu berhak menjadi pemimpin bagi Indonesia jika individu tersebut berkewarganegaraan Indonesia dan mampu menunaikan tugas dan tanggung jawabnya. Pernyataan tersebut terkandung dalam UUD 1945 yaitu “Kemudian dari pada itu untuk membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan itu dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasarkan kepada ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan, dan praktik keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia”.

Aturan hukum dalam peraturan perundang-undangan negara dimaksudkan untuk memperlakukan semua orang sebagai manusia, tidak memandang perbedaan latar belakang yang memfokuskan untuk mencapai kesamaan denominator perbedaan, dan untuk membangun demokrasi, dan untuk menyatakan hak-haknya sebagai manusia dan warga negara Indonesia untuk mampu menanggung tuntutan publik dan tanggung jawab, kemandirian dan akal. Peran seorang pemimpin dianggap berdampak besar bagi negara karena pemimpin yang ceroboh menjadi penyebab negara mendapati banyak masalah, terutama dalam memahami masyarakat yang kurang fasih dalam masalah ini. Oleh karena itu, pemerintah hanya akan maju jika individu tersebut diakui secara sah oleh UUD 1945.

Rakyat Indonesia sebagaimana termaktub dalam ketentuan UUD 1945 memprakarsai mengelola pola kepemimpinan Indonesia sebagaimana diuraikan dalam teks “Persatuan Indonesia”. Artinya, seluruh rakyat Indonesia harus bersatu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Seorang pemimpin non-Muslim dapat menjadi pemimpin negara dengan penduduk Muslim yang besar menurut hukum Indonesia. Namun, syariat Islam pertama-tama harus terpenuhi dahulu, dimana yang mencakup pernyataan berikut, “Sebab darurat yakni jika orang muslim tidak ada lagi yang mampu menjadi seorang pemimpin yang adil, bijaksana, dan tidak mampu membuat perubahan yang lebih baik dan maju, dengan adanya hal itu tidak menimbulkan fitnah yang dapat memecah belah keutuhan bangsa, menjalankan kewajiban dan ketetapan undang-undang negara dengan jujur dan adil”.

Tingginya Rasa Intoleransi terhadap Perbedaan Yang Ada

Ditemukan beberapa faktor yang berpengaruh langsung terhadap perilaku intoleran, seperti etnosentrisme, ketidakpercayaan terhadap agama lain dan etnis lain, sekularisme, dan perasaan terancam. Responden yang merasa terancam dan mencurigai penganut agama lain dan orang dari etnis berbeda memiliki kecenderungan untuk menjadi intoleran. Ada situasi serupa antara orang-orang dengan latar belakang agama yang kuat dan pengguna media yang serius. Ungkapan ini diperkuat dengan data yang telah diperoleh dari WAHID FOUNDATION, dimana data tersebut menyoroti rasa ancaman ketika orang-orang dari agama yang berbeda menjadi otoritas yang lebih tinggi dan mengambil kekuatan ekonomi dan politik.

Kecenderungan yang sama juga ditemui pada mereka yang memiliki tingkat fanatisme agama yang tinggi dan mereka yang menggunakan sosial media secara aktif. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kecurigaan terhadap pihak yang berbeda keyakinan berkontribusi terhadap tumbuhnya sikap intoleran.

Kediktatoran Mayoritas

https://www.google.com/url?sa=i&url=http%3A%2F%2Facppost.blogspot.com%2F2015%2F08%2Fmayoritas-vs-minoritas.html&psig=AOvVaw1ngc216i7ZYiWY5z6OARrG&ust=1654352930533000&source=images&cd=vfe&ved=0CAwQjRxqFwoTCLjYi4m_kfgCFQAAAAAdAAAAABAm

Kediktatoran mayoritas yang tumbuh menjadi standar moral bagi hubungan keagamaan dan demokrasi di Indonesia. Karena kediktatoran mayoritas seringkali mengakibatkan terkucilnya masyarakat mayoritas dari minoritas. Banyak kelompok mayoritas akan mengucilkan minoritas yang kepercayaan atau sistem kepercayaannya jelas berbeda dengan kepercayaan kelompok mayoritas di Indonesia. Karena kekuatan dan sifat negosiasi masyarakat yang inkonsisten dengan gagasan tradisional yang sudah membudaya, kelompok mayoritas tidak segan melakukan tindakan represif terhadap kelompok agama minoritas .

Sebagian besar kelompok yang menyamar sebagai pemuka agama dan ahli kitab suci tidak segan-segan mengambil tindakan terhadap minoritas agama. Hal ini memiliki tujuan agar minoritas merasa tertekan dan tidak berani ‘muncul’ dalam kegiatan kemasyrakatan, merasa terkucilkan dan pasrah sehingga kaum mayoritas dapat mendominasi kaum minoritas dengan mudah. Dampak dari pengucilan bersifat fatal terhadap kerukunan antar umat beragama. Di sisi lain, kelompok minoritas kehilangan suara untuk mengemukakan pendapat sehinggabisa menimbulkan miskomunikasi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image