Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Surat Cinta untuk Anakku…

Agama | Saturday, 09 Oct 2021, 02:41 WIB
Sumber gambarL https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/kematian-_140627104414-910.jpg

Anakku, tahukah kamu tentang sesuatu hal yang amat membahagiakan Ayah dan Ibumu? Sesuatu yang jauh lebih berharga dari uang dan kuasa, harta dan tahta. Tak perlu kau jawab, anakku. Karena kamulah jawabannya.

Benar, uang itu penting, kuasa dan kedudukan, status sosial, itu semua penting. Tetapi itu tak lebih berharga dari makna hadirmu untuk kami. Harta, kuasa, status sosial, tentu saja itu amat dibutuhkan, menyenangkan jika manusia menggenggamnya. Tetapi, itu semua tidak melulu mampu membuat kami bahagia. Tell me, can money buy happiness?

Tidak sedikit orang tua yang bekerja teramat keras, workaholic, membantingtulangkan tenaga, pikiran, dan mungkin harga diri, tetapi kebahagiaan tak serta merta menghampiri. Ayahnya mungkin beranjak dari rumah saat anaknya masih terlelap, lalu kembali ke rumah juga anaknya sudah terlelap. Uang mereka banyak, tabungan dan asuransi untuk istri dan anak-anaknya lebih dari cukup. Tetapi mereka kesulitan sekadar meluangkan waktu untuk makan malam bersama. Bahkan akhir pekan mereka mungkin juga telah dikontrak oleh tempatnya bekerja.

Bagaimana dengan Ayahmu?

Ketahuilah Anakku, Ayah dan ibumu juga teramat sering merasa bahagia, apalagi jika itu menyangkutmu. Tahukah kau, dulu ayah sering mendengar nasihat seperti ini: Selelah apapun seorang Ayah bekerja, begitu ia pulang ke rumah dan menyaksikan tawa putra atau putri kecilnya yang sedang bermain, seketika lelah itu luruh menjelma menjadi perasaan bahagia. Dulu, sebelum kamu lahir, Ayah menganggap cerita ini tak lebih dari mitos yang didengang dengungkan para orang tua. Mungkin sebagai mantra pelipur lara atas jibaku yang penuh duka dan lara. Tetapi akhirnya Ayah membuktikan sendiri kebenaran nasihat ini, tentu melalui kehadiranmu.

Ada saatnya Ayah pulang kerja dengan kelelahan yang teramat, fisik maupun pikiran, lahir batin. Dalam perjalanan pulang, yang terpikir hanyalah bantal dan kasur, ingin rasanya merebahkan segera lelah ini. Tetapi saat membuka pintu rumah, lantas kamu berlari untuk memeluk Ayahmu, memanggil-panggil dengan manja: Ayah Ayah Ayah .. Tahukah Nak, saat itu seketika lelah ini hilang entah ke mana, mendadak hati dan pikiran yang penuh sesak kembali plong. Saat itulah Ayahmu mampu menikmati kualitas kebahagiaan yang sulit terjelaskan, ingin rasanya berlama-lama menghayati setiap detailnya. Mungkin ini hanya kebahagiaan kecil, tetapi yang kecil ini menjadi sesuatu yang amat mahal bagi banyak orang yang hidup berlimpah harta.

Anakku, ingatlah selalu pesan Ayahmu ini. Aku telah sering menjumpai orang-orang tua yang hendak menemui ajalnya. Tahukah apa yang mereka risaukan? Ternyata mereka hanya menakutkan satu hal: kesendirian, kesepian. Mereka hanya mengharapkan hal sederhana, bahwa di saat-saat kritisnya itu ada anak-anaknya yang menemani, karena kesendirian di akhir itu teramat menyakitkan, lebih sakit dari sakit yang telah menahun dia rasakan. Beberapa menjalani fase kritis yang panjang, mungkin juga koma, hanya karena menanti anak-anaknya yang belum genap di samping pembaringannya.

Begitupun Ayahmu, Nak. Karena sehebat apapun manusia, proses kematian selalu menyakitkan dan menakutkan. Maka berjanjilah kelak kau akan mendampingiku, Anakku. Berada di samping Ayahmu. Ya, rekatkan jarakmu, hingga kau dengan mudah mengusap kening Ayahmu yang mendadak berkeringat, memeluk tubuhku yang mendingin, menempelkan bibirmu ke telinga Ayahmu yang tak berdaya, membisikkan mantra kalimusada: Laa ilaaha illallah, Muhammadur rasulullah.

Selepas itu, mungkin kau akan merasakan sedikit getaran, karena tubuh ayahmu yang berkonstraksi, hingga detak jantung dan denyut nadi ini akan benar-benar berhenti. Ya, Ayahmu telah mati. []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image