Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Liseh

Learning Loss, Generasi Literatus dan Representasi Merdeka Belajar Di Pesantren

Guru Menulis | Friday, 08 Oct 2021, 21:46 WIB
Republika)" />
Ilustrasi: Santri belajar di pesantren (Sumber: Republika)

“I hear, I know. I see, I remember. I do, I understand.” – Confusius-

Kata-kata bijak dari seorang filsuf China di atas menjadi sesanti luhur bagi dunia pendidikan, bahwasanya apa yang kita dengar, kita lihat, kita rasakan dan yang kita lakukan adalah pembelajaran. Esensi pendidikan yang mulai kehilangan eksistensinya belakangan ini.

Bagaimana tidak? Dunia pendidikan tengah mendapat guncangan hebat tatkala pandemi melanda, kritikan terhadap ketidak efektifan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) ramai diperbincangkan di jagat maya maupun jagat raya. PJJ ditengarai semakin membawa gambaran ideal ruang belajar jauh ke angan utopis. Learning loss semakin menghantui kualitas pendidikan kita sebab banyak orang tua mengaku tidak mampu menjadi pendamping belajar anak di rumah.

Tentu saja, permasalahan di atas hanya saya dengar dari banyak kolega dan saudara, hanya saya lihat di berita dan media, sebab saya termasuk kalangan yang tidak perlu dibingungkan dengan kebijakan PJJ. Saya tetap mengajar secara tatap muka di salah satu pesantren di Jawa Timur.

Selama pandemi, pondok pesantren tetap diizinkan melakukan pembelajaran tatap muka dengan syarat mematuhi protokol kesehatan secara ketat. Di pesantren tempat saya mengajar, semua santrinya sudah melaksanakan vaksin dua kali. Jadwal kunjungan wali santri diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi kerumunan dan dibatasi hanya 15 menit.

Namun demikian bukan berarti hilang sama sekali rasa kekhawatiran. Pertanyaan seperti, “Apakah usaha tersebut benar-benar efektif?” Lebih-lebih ketika muncul banyak klaster pesantren, varian baru yang lebih ganas hingga kasus kematian tembus ribuan dalam sehari. Memang, pengasuh pesantren kemudian memutuskan untuk melakukan karantina lokal, dimana santri dilarang keluar dan orang luar dilarang masuk. Tercatat tiga kali pesantren kami melakukan lockdown atau karantina lokal, yaitu pada akhir Maret hingga Juni 2020. Lockdown ke-2 terjadi sepanjang Oktober 2020. Dan terakhir pada 27 Juni 2021-04 Agustus 2021 ketika varian baru Covid-19 semakin mengganas.

Selama lockdown lokal tersebut, pembelajaran formal diliburkan karena pembelajaran daring tidak memungkinkan. Alhasil, materi pembelajaran sudah pasti tidak bisa diselesaikan sesuai kurikulum yang dirancang. Untunglah, selama pandemi Kemendikbud memberikan keluwesan pada satuan pendidikan untuk menggunakan kurikulum darurat atau merombaknya sesuai kebutuhan. Langkah ini diambil sejalan dengan jargon “Merdeka Belajar”. Karena satuan pendidikanlah yang paling mengerti kebutuhan dan situasi belajar siswanya (Republika, 08/04/21).

Frasa “Merdeka Belajar” di sini menjadi jargon sakti dalam merancang pembelajaran untuk murid. Dari pengalaman saya mengajar dan membimbing ekstrakurikuler kelas menulis, ada murid saya yang selama lockdown, membuat penelitian tentang eksistensi bidang usaha pesantren selama pandemi. Hasil penelitiannya kemudian disajikan dengan judul, “Teknologi Perkebunan dan Jihad Pemberdayaan Ekonomi Pesantren” untuk diikutkan dalam lomba di salah satu Universitas di Jember, dan berhasil menjadi juara I sehingga berhak mendapat beasiswa selama empat tahun kuliahnya.

Sebagai pengajar, saya belajar darinya. Sebagai seorang siswa ia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap pesantren yang ia tinggali. Ini penelitian pertamanya, ia bertanya banyak hal tentang dunia penelitian, mewawancara kepala madrasah dan yang bertanggung jawab terhadap perkebunan pesantren, hingga ia mengetahui fakta bahwa hasil laba dari perkebunan pesantren digunakan untuk meringankan beban wali santri. Kebetulan lembaga kami tidak menarik uang bulanan atau SPP. Lalu dia bilang dengan mantap pada saya, bahwa dia ingin menjadi pengusaha suskes agar dapat membantu lebih banyak orang.

Si murid ini bukanlah bintang madrasah yang di rapotnya berderet angka 9, tapi menurut saya, dialah representasi dari “Merdeka Belajar”. Sebab dia mampu membebaskan diri dari keterbatasan sekitarnya. Terbatas ruang gerak, karena tidak boleh keluar dari pesantren. Terbatas sarana prasarana, sebab santri dilarang menggunakan gawai. Terbatas waktu, karena santri selalu hidup dengan jadwal tersistematis dari membuka mata hingga jam tidur. Bukankah jargon “Merdeka Belajar” berarti bahwa belajar tidak hanya dibatasi di ruang kelas? Tidak hanya diukur dengan pencapaian nilai semata?

Maka, jika ada yang bertanya bagaimana mendidik anak agar berprestasi? Ajaklah peserta didik melihat potensi dalam diri mereka dan bahan baku apa saja yang ada di sekitarnya. Sebab berprestasi tidak harus selalu tentang nilai sempurna atau seberapa bagus hafalannya dan tidak harus menguasai semua mata pelajaran di sekolahnya. Mengutip dari Einstein, semua orang itu jenius. Jadi, jangan menilai ikan dengan kemampuannya memanjat pohon.

Mungkin anak-anak zaman dulu dibungkam rasa ingin tahunya dengan cerita, mitos atau hal menakutkan lainnya jika bertanya tentang hal yang tabu. Anak hanya boleh mempelajari apa yang diberikan padanya. Sekarang, anak usia 7 tahun sudah bisa menjelaskan mengapa langit berwarna biru atau bagaimana bayi lahir dari ibunya.

Mengapa bisa sedemikian berbeda perkembangan belajar anak-anak zaman sekarang? Inilah yang disebut revolusi belajar. Kita berada di era generasi literatus, dimana anak-anak lahir dengan suasana kebebasan bertanya, kebebasan berfikir dan tentu saja juga bebas mencari dan menemukan sendiri solusinya. Sebagai seorang pendidik, rasa haus mendapat jawaban dari banyak pertanyaan dalam benaknya inilah yang harus kita arahkan. Jangan sampai membungkamnya setiap kali melontarkan pertanyaan nyeleneh, arahkan pertanyaannya ke suasana ilmiah. Sebab bukan tidak mungkin jika seorang murid nantinya tumbuh menjadi pegiat literasi, ilmuwan, founder atau CEO perusahaan rintisannya sendiri. Karena dari sekolah yang merdeka, segala macam embrio bisa dilahirkan hingga survive tumbuh menjadi individu yang merdeka, dan tugas seorang pendidiklah sebagai pemeliharanya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image