Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image SAIFUL ANWAR

PEMBELAJARAN JARAK JAUH DAN KONSEP MERDEKA BELAJAR

Guru Menulis | Friday, 08 Oct 2021, 19:19 WIB
Seorang guru sedang mengikuti pelatihan online.

Syahdan, pada tahun 1665, London diserang wabah mengerikan. Wabah dari bakteri yesminia pestis secara tanpa ampun telah membunuh 100.000 jiwa. Petugas kesehatan tak henti-hentinya mengangkut jenazah. Sementara mereka yang masih hidup terpaksa menetap di rumah. Wabah itu dikenal dengan nama Pes.

Peristiwa itu juga berimbas pada sektor pendidikan. Salah satu universitas di Inggris, Trinity College Cambridge, diliburkan. Banyak mahasiswa yang mengisolasi diri agar terhindar dari Pes.

Namun pada suatu siang, seorang mahasiswa Trinity College Cambridge justru belajar di bawah pohon apel tak jauh dari rumahnya di Wollsthorpe Manor. Tiba-tiba sebuah apel jatuh mengenai kepalanya. Alih-alih takut Pes, ia justru berpikir; mengapa apel itu bisa jatuh? Ia menuliskan gagasannya dalam sebuah catatan dan lahirlah teori gravitasi. Mahasiswa itu bernama Isaac Newton.

Kondisi Indonesia dua tahun ini tak jauh berbeda dengan London 347 tahun lalu. Wabah Covid-19 menyebar, korban berjatuhan, dan orang-orang dipaksa menjaga jarak satu sama lain. Di bidang pendidikan, siswa diharuskan belajar dari rumah dan sekolah menerapkan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

PJJ adalah hal baru bagi dunia pendidikan Indonesia. Ia laksana ombak besar yang muncul tiba-tiba dari tengah lautan yang tenang. Saya adalah salah satu dari sekian banyak orang yang diterpa ombak besar itu. Pada Maret 2020, ketika pengabdian saya di sebuah sekolah swasta di kota Semarang belum genap 2 tahun, pemerintah “meliburkan” sekolah. Siswa dan guru diharuskan di rumah agar tak terpapar Covid-19.

Perubahan sistem pembelajaran yang drastis ini membuat saya mengalami shock culture. Berbagai kekhawatiran muncul di benak saya. Bagaimana menyampaikan materi pembelajaran pada siswa? Apakah mereka paham ketika berpindah dari sistem offline ke online? Apakah mereka mengalami kesulitan dalam belajar? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikiran saya pada awal PJJ.

Untungnya pihak Yayasan tak tinggal diam. Pimpinan mengadakan kegiatan pelatihan guna meningkatkan kompetensi guru, khususnya di bidang teknologi. Pelatihan membuat kelas online, pertemuan online, dan tugas online adalah beberapa yang pernah saya ikuti. Awalnya PJJ menyulitkan saya, namun lambat laun semua menjadi terasa mudah. Bisa karena terbiasa rasanya menjadi rumusan yang tepat atas pengalaman baru ini.

Kini PJJ menjadi hal lumrah. Namun apakah sistem ini efektif? Menurut saya belum. Ada beberapa hal yang patut diperhatikan. Pertama, durasi waktu pembelajaran. PJJ mengharuskan guru mengajar secara efektif karena waktu pembelajarannya berbeda dengan pembelajaran tatap muka (PTM). Pada PTM, satu jam pelajaran setara 45 menit waktu normal, sedangkan pada PJJ satu jam pelajaran setara 30 menit. Guru harus bisa memilah materi mana yang disampaikan. Ini wajib dilakukan karena mustahil menyampaikan semua materi dengan durasi waktu yang ada. Ada yang harus dipelajari, ada pula yang harus dilewati. Sekali lagi, sekolah menjembatani hal itu dengan membuat daftar materi esensial.

Kedua, masalah jaringan internet. Di sekolah perkotaan, jaringan tidak begitu bermasalah. Namun di desa, terutama yang lokasinya terpencil, ini masalah pelik. Harus diakui jaringan internet belum tersebar secara merata di Indonesia. Masih ada (bahkan mungkin banyak) wilayah di negara ini yang minim jaringan internet. Keterbatasan akses internet tersebut membuat PJJ tidak bisa terlaksana secara maksimal.

Sekolah-sekolah di wilayah yang minim jaringan internet harus “memutar otak” agar pembelajaran tetap berjalan. Seorang kawan guru Bahasa Jawa yang mengajar di wilayah desa terpencil, melakukan cara unik. Ia menulis tugas di selembar kertas, kemudian orangtua siswa diminta mengambil tugas itu dan membawanya pulang untuk dikerjakan oleh anak mereka di rumah. Cara ini menarik, walau, tentu saja, masih perlu dievaluasi. Poin utamanya adalah: dalam hal pembelajaran masa pandemi, guru di sekolah minim jaringan internet mungkin lebih kreatif dan inovatif dibanding guru di sekolah yang jaringan internetnya kuat.

Pertanyaannya kemudian adalah; apakah berarti PJJ selalu tidak lebih baik dibanding PTM? Saya kira belum tentu. Memang benar PJJ membuat pembelajaran tidak efektif, namun justru pada masa inilah kreativitas guru perlu didorong dan difasilitasi. Guru harus kreatif dalam mengajar. Guru harus memberi kemerdekaan kepada siswanya. Kemerdekaan macam apa? Kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan mencari tahu, dan kemerdekaan mengerjakan tugas. Hal itu hanya mungkin terjadi ketika pembelajaran tak monoton dan tugas yang diberikan tidak “saklek”.

Saya jadi ingat pada konsep Merdeka Belajar yang digaungkan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nadiem Makarim. “Apa itu artinya merdeka belajar? Itu artinya unit pendidikan yaitu sekolah, guru-guru dan muridnya punya kebebasan: kebebasan berinovasi, kebebasan belajar dengan mandiri dan kreatif (25/11/2019). Kebebasan berinovasi menjadi kunci. Kreativitas adalah hasil.

“Kebebasan” sejatinya diidam-idamkan semua orang. Sebagus apa pun sebuah sangkar, seekor burung akan lebih memilih terbang di alam bebas. Tatkala kebebasan kreatif dimasukkan dalam proses belajar, maka sekolah akan menghasilkan manusia yang kreatif, inovatif, dan kritis. Pada masa pandemi seperti sekarang ini, konsep Merdeka Belajar harus menjadi acuan utama sekolah dan guru di Indonesia.

Pandemi Covid-19 sampai detik ini masih melumpuhkan sendi-sendi kehidupan. Pendidikan adalah satu dari banyak sektor yang terimbas pandemi tersebut. Namun dalam kondisi serba terbatas ini, kita dituntut terus meningkatkan semangat belajar. Prasyarat semangat belajar di antara guru dan siswa adalah kemerdekaan kreatif. Kemerdekaan menumbuhkan semangat, cinta, kecerdasan. Bukankah kemerdekaan belajar pula yang membuat Isaac Newton menemukan teori gravitasi?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image