Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aurelia Rahma Savitri

Patriarki : Tak Hanya Perempuan, Laki-laki Juga Kena Imbas

Eduaksi | Wednesday, 01 Jun 2022, 12:48 WIB

Apa itu patriarki? Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi di atas perempuan. Menurut Alfian Rokhmansyah (2013), dalam bukunya yang berjudul Pengantar Gender dan Feminisme, patriarki memiliki arti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya. Sistem ini menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga ke berbagai aspek kegiatan manusia.

wl-brightside" />
Ilustrasi perempuan terbelenggu kewajiban peran. Sumber : wl-brightside

Patriarki merugikan kaum wanita. Seperti yang kita tahu, patriarki menjadikan laki-laki memiliki peran sebagai kontrol utama di dalam masyarakat. Laki-laki dapat mendominasi dan menguasai, sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh di sebagian kecil dalam masyarakat—baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, dan bahkan di dalam institusi pernikahan.

Patriarki bukan lagi kesalahan yang dibuat oleh salah satu jenis kelamin, melainkan budaya yang sudah mandarah daging di dalam kehidupan masyarakat. Sejak masa lampau, budaya masyarakat di dunia telah menempatkan laki-laki pada hierarki teratas, sedangkan perempuan menjadi kelas nomor dua. Dalam Sosiologi, beberapa teori juga mendukung bagaimana teori terbentuk. Misalnya teori nature, yaitu perbedan biologis antara perempuan dan laki-laki yang sudah menjadi kodrat. Perbedaan tersebut memberikan indikasi dan implikasi bahwa kedua jenis kelamin tersebut memiliki tugas dan peran yang berbeda, sehingga terjadi peran dana tugas yang bias. Perbedaan bilogis ini diyakini memiliki pengaruh pada peran yang bersifat naluri (instinct), sehingga masing-masing jenis kelamin memiliki kesadaran diri atas pekerjaannya masing-masing.

Namun, apakah hal itu menjadikan kita harus mewajari patriarki? Perempuan yang umumnya dan kodratinya memiliki tubuh lebih kecil, ramping, dan lemah tidak seharusnya diperlakukan secara rendah. Dalam istilah Jawa, perempuan yang sudah menikah harus dapat melakukan 3M—yaitu “Masak, Macak, Manak,” atau yang artinya “Memasak, Berdandan, dan Menghasilkan Keturunan”. Istilah tersebut membuat saya menyelingar, seakan-akan paradigma masyarakat terhadap perempuan hanya seputar itu saja. Perempuan dipaksa untuk dekat dengan sumur, dapur, dan juga dapur saja di dalam kehidupan pernikahannya.

Sistem ini telah membelenggu perempuan di dalam ketidaksetaraan gender. Namun sebenarnya, perempuan bukanlah satu-satunya korban dalam sistem patriarki ini. Laki-laki pun juga terkena imbasnya. Tatkala perempuan dianggap lebih lemah, rendah, dan tak berdaya—maka sebaliknya, laki-laki dituntut untuk lebih kuat, cakap, dan dominan. Laki-laki dituntut untuk menjadi “laki-laki sejati” yang hanya menunjukkan sisi dominannya saja, bukan kelemahannya.

iStock" />
Ilustrasi anak laki-laki menahan tangis. Sumber : iStock

Jangan menangis. Malu, ah. Kamu itu anak laki-laki, harus kuat,” ya, kita sering mendengar dialog demikian—bahkan terkadang, terlontar dari birai kedua orangtua kepada putranya sendiri. Sejak belia, seorang anak laki-laki sudah menjadi dampak dari patriarki. Di saat perempuan dapat menjadi cengeng dan mengekspresikan emosi mereka, seorang anak laki-laki diharuskan menahan air mata mereka agar menjadi kuat, tabah, logis, dan dapat mengontrol emosi. Padahal sebenarnya, menangis adalah hak bagi setiap individu, baik itu laki-laki maupun perempuan. Penekanan emosional bukanlah hal yang baik, karena hal tersebut menimbulkan sakit secara fisik dan mental. Laki-laki maupun perempuan berhak untuk mengeluarkan air mata mereka, mengekspresikan diri mereka.

Menangis bukan berarti lemah.

Menangis bukan berarti cengeng.

Menangis adalah bukti bahwa manusia memiliki perasaan di dalam kalbunya.

iStock" />
Ilustrasi laki-laki menjadi korban patriarki. Sumber : iStock

Di saat perempuan akan mendapatkan stigma buruk jika lebih banyak beraktivitas di luar rumah hingga malam hari, maka laki-laki sebaliknya. Pada umumnya, orangtua akan menormalisasi jika putra mereka berinteraksi dengan dunia luar hingga larut malam. Laki-laki dituntut untuk bersikap maskulin dan beraktivitas secara aktif, bukan hanya berdiam diri di rumah dan melakukan aktivitas rumah tangga. Laki-laki yang memiliki hobi mengasuh anak kecil, membersihkan rumah, hingga memasak akan dianggap aneh. Padahal, pekerjaan-pekerjaan di atas seharusnya menjadi kewajiban dua belah pihak gender, bukan menjadi beban perempuan saja.

Contoh kasus lainnya adalah hal yang baru-baru ini terjadi. Dalam sebuah cuitan Twitter, seseorang perempuan mengungkapkan kekecewaannya setelah first date dengan seorang laki-laki. Ia mengaku merasa dongkol dan ilfeel karena sang laki-laki mengajaknya split bill setelah kencan mereka berakhir. Split bill adalah suatu metode pembayaran yang mana setiap orang harus membayar tagihannya masing-masing dengan uang mereka sendiri. Harusnya, dengan adanya metode ini tidak akan ada yang merasa dirugikan.

“Selama gue ngajak orang makan (apalagi pertama kali) common sense yang gue anut adalah ‘you pay what you want’ dengan catatan gue bagi rata dengan orang tersebut,” terang si lelaki, membagikan cuitan balasan untuk membela dirinya.

Dalam kasus ini, sebenarnya apa yang dilakukan laki-laki sudahlah benar. Laki-laki tidak seharusnya berkewajiban memenuhi kebutuhan perempuan yang belum dinikahinya (apalagi dalam kasus ini, mereka belum menjadi sepasang kekasih). Karena adanya patriarki, laki-laki juga dirugikan dalam sebuah hubungan. Steriotipe memaksa laki-laki yang jantan harus mengantarkan perempuannya hingga sampai rumah dan membayarkan memenuhi biaya kencan mereka.

Dapat disimpulkan, patriarki adalah sistem yang merugikan segala pihak, baik perempuan maupun laki-laki. Kita harus mengubah mindset budaya patriarki menjadi patriarki membudaya. Budaya merupakan perilaku positif yang berasal dari akal budi manusia. Jika parameternya adalah akal budi, maka perilaku yang dihasilkan oleh budaya mempunyai unsur kebaikan dan memberikan manfaat untuk masyarakat. Sehingga seharusnya patriarki yang membudaya harus dihapuskan. Laki-laki dan perempuan harus saling bahu-membahu untuk menghapuskan sistem ini dari muka bumi.

~~~~~
Penulis

Aurelia Rahma Savitri

Sosiologi, FISIP, Universitas Airlangga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image