Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Atropal Asparina

Mengungkai Peran Guru sebagai Basis Pendidikan Ideal di Masa Pandemi

Guru Menulis | Wednesday, 06 Oct 2021, 08:15 WIB
Dok. Pribadi: Diambil saat kelas Literasi Digital pada awal Desember 2019 dengan tema "Memahami Relasi Sains-Agama-Teknologi, di SMK Muh Tarkid Garut.

Kata “ungkai” dalam KBBI bermakna mengurai atau membongkar tali simpul yang rumit. Kata itu sengaja penulis gunakan demi secara jujur dan hati-hati melihat peran guru sebagai basis pendidikan ideal di masa pandemi.

Pendidikan ideal di masa pandemi—sesuai Surat Edaran Nomor 4 tahun 2020 Kementerian Pendidikan—intinya, pembelajaran secara daring baik interaktif atau non-interaktif; pendidikan lebih diarahkan pada kecakapan hidup yang kontekstual, sesuai kondisi rumah, lingkungan, dan cara-cara menghindari covid-19, dan tidak perlu terbebani menuntaskan kurikulum; serta memberikan penilaian harus lebih kualitatif, terutama yang sifatnya memberi motivasi kepada peserta didik.

Peran guru dalam empat pokok strategi Kemendikbud, sebegitu vitalnya. Namun hemat penulis, demi perspektif yang lebih komprehensif, peran guru di masa pandemi lebih dari itu. Peran guru mesti mulai dilihat pada saat covid-19 pertama masuk Indonesia. Setelah itu, membincang peran guru saat pembelajaran jarak jauh. Barulah, menyoal peran guru di masa normal-baru dan seterusnya.

Peran Guru dalam Mendialog-Integrasikan Sains dan Agama

Terjadi perang wacana ketika covid-19 mulai menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Sebagian membawa keyakinan agama dan sebagian lain murni sains. Terlebih setelah kasus pertama positif covid-19 di Indonesia diumumkan presiden, tanggal 2 Maret 2020 (Republika, Kompas: 2 Maret 2020), keterbelahan wacana soal apa itu covid-19 semakin jelas.

Wacana pertama yang muncul dan menggelinding mengesankan seolah-olah covid-19 adalah murni urusan teologis. Akibatnya, bukan hanya abai terhadap berbagai tindakan preventif, namun banyak yang tidak percaya pada “sakit akibat virus”. Semuanya kemudian membuncah saat himbauan untuk tidak ibadah berjamaah di rumah ibadah, muncul.

Lawan dari wacana seolah covid-19 murni teologis, adalah sebaliknya, yakni murni sains. Misalnya, Kemendagri pada Maret 2020 mengeluarkan buku Pedoman Umum Menghadapi Pandemi Covid-19 Bagi Pememrintah Daerah, yang ditulis oleh kumpulan saintis bidang pandemi dan virus menular.

Meski wacana soal covid-19 murni urusan teologis terkesan sempalan dan kalah dari wacana lawannya, namun di media sosial lain lagi ceritanya. Karenanya pemerintah, ormas-ormas keagamaan dan demikian juga MUI melalui fatwa nomor 14 tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi pandemi, berupaya merangkul kedua wacana yang bertarung tersebut.

Di sinilah peran guru pada mulanya terkait pandemi. Seorang guru sejatinya harus berkemampuan mendialog-integrasikan hubungan sains dan agama. Bukan menambah keruh dengan memberikan perspektif konflik atau independen terhadap relasi sains dan agama (Ian G. Barbour, 2000:40-42) dalam konteks pandemi.

Mendialog-integrasikan, artinya bukan juga melakukan riset panjang terhadap pandangan, lebih-lebih wacana, agamawan dan saintis terkait pandemi, bukan. Walakin cukup, seorang guru mampu memahami dan memberikan pemahaman kepada peserta didik bahwa antara agama dan sains sudah bukan zamannya dipandang sebagai entitas yang bertolak belakang. Keduanya justru mempunyai relasi yang erat, saling melengkapi. Agamawan dan saintis sama-sama punya peran vital dalam menuntaskan pandemi di bumi Indonesia—bahkan dunia. Sekali lagi, agen terpenting dalam penyebaran perspektif tersebut adalah seorang guru.

Peran Guru Kala Teknologi Harga Mati

Keluasan perspektif seorang guru dalam menghadapi ‘seolah” pertarungan sains dan agama di kala pandemi, sejatinya adalah basis penting. Sebab, ketika sekolah mulai ditutup dan pembelajaran jarak jauh (PJJ) menjadi satu-satunya cara agar pendidikan tidak terhenti, teknologi jadi harga mati.

Jika dalam upaya mendamaikan relasi agama dan sains hanya memerlukan modal kesadaran penuh dan kejernihan pikiran, maka saat terkait teknologi, modalnya jauh lebih besar. Kesadaran penuh tidak akan cukup tanpa infrastruktur teknologi yang memadai. Di sinilah peran guru kemudian saling terkait dengan peran institusi di atasnya sampai tingkat kementerian.

Hasil survei KAPUSTEKKOM Kemendikbud tahun 2018 menyebutkan bahwa sekitar 60% guru non-TIK, masih terbatas dalam menguasai teknologi informasi dan komunikasi (TIK) (Republika: 4 Desember 2018). Beberapa media masih menggunakan hasil survei yang sama dalam memotret kompetensi TIK guru non-TIK di tahun 2021. Akibatnya tentu sangat buruk, terutama bagi para guru senior (guru di atas 40 tahun). Bahkan, beberapa kasus yang terkesan “mengolok-olok” guru gagap teknologi sempat viral di jagat media sosial (Detiknews: 10 Agustus 2020).

Terlepas dari dukungan struktural yang sedang diupayakan secara masif dan sistematis berbagai pihak, secara personal, seorang guru hebat harus mengimbangi zaman (Asrul R., 2021:36). Minimal diawali dari adanya kemauan yang kuat untuk berubah dan bergerak. Guru yang hebat tidak hanya ulet dalam transfer knowledge and character building para murid, tapi juga sekaligus menjadi pribadi yang menuntut ilmu benar-benar min al-mahdi ila al-lahdi (dari buaian sampai liang lahat).

Adalah begitu naif dan keliru jika respon yang ditunjukkan terhadap guru yang gagap teknologi, berupa olok-olokan. Alih-alih mendukungnya dengan cara tepat berupa upaya rekayasa habit dan kebijakan serta motivasi tulus, supaya ujung tombak pendidikan yang bernama guru, semakin baik kualitasnya.

Meski, jika setelah semua dukungan itu masih ada guru yang malas berubah, bergerak dan belajar, maka dialah di antara guru pertama yang akan tersingkir di masa depan. Yakni, ketika kemajuan teknologi begitu pesat di luar bayangan kita selama ini.

Peran Guru Saat Kembali Tatap Muka

Banyak media memberitakan adanya kluster covid-19 baru ketika sekolah kembali tatap muka. Tapi yang ingin penulis sorot bukan soal itu, melainkan peran guru sebagai teladan serta pahlawan tanpa tanda jasa yang mampu melampaui formalitas.

Teladan artinya, guru itu adalah orang yang “digugu-ditiru”. Artinya guru kecing berdiri murid kencing berlari. Artinya, saat guru abai, lengah dan menampilkan kesan tidak peduli—apalagi tidak percaya—pada covid-19 dan bahayanya, maka dapat dibayangkan bagaimana murid-muridnya. Semboyan Ing ngarso sun tulodo (di depan menjadi panutan/teladan) sebagai salah satu abstraksi ideal seorang guru, begitu krusial di masa pandemi, karena terkait langsung dengan keselamatan generasi penerus bangsa.

Teladan baik yang berasal dari cara pandang yang cerdas terhadap segala lekuk terkait pandemi, akan menuntun pada terbangunnya pribadi guru yang melampaui formalitas. Kebijakan berupa syarat-syarat untuk menjaga secara ketat protokol kesehatan bagi sekolah yang hendak tatap muka, akan berakibat begitu fatal jika dipraktikkan alakadarnya dan sekadar formalitas. Itu semua tidak serupa menyiapkan RPP atau dokumen sekolah saat akreditasi. Tapi ini menyangkut keselamatan jiwa dan nasib pendidikan bagi ratusan peserta didik.

Semoga guru yang luas-jernih pandangannya; punya kemauan kuat untuk belajar dan terus mengimbangi zaman; serta pemberi tauladan hebat yang sudah melampaui formalitas dalam segala hal terkait proses pendidikan, terus bermunculan di penguhujung pandemi ini. Akhirnya, slogan guru hebat bangsa kuat, adalah slogan optimistis sebagai harapan besar bagi generasi bangsa Indonesia mendatang.

Referensi Buku

Asrul Right, Survival Teacher. Yogyakarta: Noktah, 2021.

Ian G. Barbour, When Science Meet Religion. New York: Harper San Francisco, 2000

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image