Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ika Bunda i i

Jangan gila, karena canda

Eduaksi | Sunday, 26 Sep 2021, 05:03 WIB

Belakangan terjadi fakta seorang komika memperolok agama sebagai dagelan dipanggung media. Tujuannya melucu, namun menciderai ajaran agama tentulah hal yang tak beretika. Ditambah lagi, fakta agama yang diobok obok bukan sesekali saja. Namun berulang menjadi kebiasaan yang menggurita. Ada apa dengan dunia komika? Apakah sindiran terhadap SARA tak ada batasannya. Apakah agama tak lagi berharga dimata dunia tawa.

Membahas kelucuan komika serasa menjadi buah simalakama. Hiburan memang sah-sah saja. Asal tak mengajarkan dosa, karena kita makhluk beragama. Negara pun mendasari ketuhanan dalam pedoman berbangsa.

Ketegasan terhadap komika yang mempermainkan agama adalah sebuah keniscayaan. Agar bangsa tak lagi gaduh hanya karena kedunguan orang-orang yang tak beretika. Sanksi yang tegas bisa menjadi cara menertibkannya. Agar anarkisme komika tak menular ke yang lainnya.

Selain sanksi, upaya preventif menjadi solusi kedua. Dimana profesi strategis ini seharusnya mendapat perhatian untuk memfilternya. Sudah saatnya, canda tak hanya menyuguhkan tawa tetapi juga menambah takwa. Berkontribusi dalam edukasi generasi, dengan gayanya yang meremaja namun tetap beretika. Sehingga remaja bisa menjadi sosok komika Yang menginspirasi sekelilingnya.

Sesungguhnya mengolok agama demi canda adalah tindakan anarki yang gila. Hanya orang yang tak menghargai agama tersangkanya. Bukan berarti tak beragama, namun bisa jadi beragama namun tak menganggap agamanya ada. Sekuler anarkis bisa disebutnya. Tak hanya membuang agama, namun dia juga menyakiti ajaran dan umat beragama.Tragis nasib orang yang demikian. Karena didunia menebar kegaduhan. Merekalah sejatinya para penebar kebencian, dengan topeng tawa.

Cukuplah sebuah ayat menjadi nasehat untuk berbenah. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

فَلْيَـضْحَكُوْا قَلِيْلًا وَّلْيَبْكُوْا كَثِيْرًا ۚ جَزَآءً بِۢمَا كَا نُوْا يَكْسِبُوْنَ

"Maka, biarkanlah mereka tertawa sedikit dan menangis yang banyak, sebagai balasan terhadap apa yang selalu mereka perbuat."

(QS. At-Taubah 9: Ayat 82)

Sesungguhnya setiap tawa dan marah kita akan ditanya, tersebab apa? Dan untuk apa? Sehingga, cerdaslah dalam memilih canda. Agar tawa tak hanya didunia, tetapi juga disyurga. Sehingga tawa kita membahagiakan didunia dan akhirat juga.

Teringat sebuah kisah dimasa khalifah Harun Al-Rasyid yang bisa menjadi pelajaran berharga. Kisah ini berasal dari seorang sufi yang dikenal nyentrik bahkan masyarakat baghdad menyebutnya majnun (gila).

Nama lengkapnya Abu Wahb Buhlul bin Amr as-Shairafi al-Kufi.

Ia adalah seorang sufi yang hidup pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid. Wafat pada tahun 197 H atau bertepatan pada tahun 810 M. Bulbul merupakan salah seorang sufi yang sekaligus penyair, ahli zuhud dan pendongeng.

Pada suatu saat, Khalifah Harun al-Rasyid betanya. "Wahai Buhlul, kapan kau sembuh dari gilamu?"

Ia balik bertanya,"Aku apa engkau yang gila, wahai Khalifah?

Khalifah menukas, "Kau yang setiap hari duduk di atas kuburan yang gila".

Bahlul menjawab, "Aku yang waras!"

"Kenapa begitu?"

Buhlul menjawab, "Ya, karena aku tahu bahwa istana dan kekuasaanmu -sembari menunjuk istana Harun- akan musnah. Dan di situ (menunjuk kuburan) kau akan abadi. Oleh karenanya aku mempersiapkan diri untuk tinggal kekal di sini. Sementara engkau justru menyibukkan diri dengan membangun istanamu yang kelak atas takdir-Nya ia akan punah! Kau terlihat begitu membenci kuburan sedangkan di situlah kelak tempat peristirahatan terakhirmu!"

Buhlul melanjutkan,"Jika demikian adanya, lalu siapa di antara kita yang gila! wahai khalifah?!"

Khalifah Harun diam sejenak tanpa mampu bicara. Lalu ia berkata kepada Buhlul sambil menangis terisak, "Demi Allah. Benar sekali apa yang kau katakan, wahai Buhlul."

Khalifah meminta nasihat dan petunjuk sang sufi ini. Ia berkata, "Nasihatilah aku, wahai Buhlul."

"Cukuplah kau pegang dan amalkan kitabullah."

Khalifah melanjutkan, "Baiklah, apakah kau mengingingkan sesuatu dariku?"

"Ya!" Jawab Buhlul. "Ada tiga permintaanku kepadamu yang jika kau sanggup melakukannya aku akan berterimakasih sekali kepadamu!"

Pertama, bisakah kau menambah atau memperpanjang usiaku? tanya Buhlul

Khalifah menjawab, "Tentu aku tidak mungkin mampu melakukannya"

Kedua, mampukah kau menjagaku dari malaikat maut?

"Tentu aku juga takkan mampu". Jawab Khalifah

"Ketiga, mampukah kau memasukkanku di Surga dan menjauhkan diriku dari api neraka?" Pinta Buhlul

"Juga tak mungkin mampu untuk aku lakukan."

Buhlul kemudian menukas, "kalau begitu, aku tidak membutuhkan bantuanmu!"

Maasya Allah, orang yang dikenal gila dimasa islam adalah seorang sufi. Yang tetap menjadikan pedoman agama sebagai batasan perkataannya.

Tentu kisah ini menjadi pelajaran berharga. Bagi orang waras di negri ini, yang ingin ditertawakan tapi dengan kedunguannya. Kepemimpinan islam juga menjadi teladan sistemik, yang mampu melahirkan manusia beretika sekalipun gila.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image