Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Belfin P.S.

Aku Iri Kepada Istriku: Muridnya Sangat Aktif, Muridku Malah Mati Suri!

Guru Menulis | Saturday, 25 Sep 2021, 22:46 WIB
Sumber foto: https://unsplash.com/photos/qnWPjzewewA

Kutitipkan rindu pada doaku

Bersua muridku di ruang kelas Zoom

Kusematkan cinta pada mikrofon dan videoku

Kututurkan sapa dan rindu yang kupendam

Tapi mengapa yang di balik layar malah mati suri?

Diam membisu seribu bahasa

Tak ada tutur sapa sopan santun lagi

Hanya merespon saat disuruh saja

Apakah mungkin mereka enggan nyatakan rasa?

Mau bilang rindu jadi sungkan?

Ataukah pasrah tak tahu harus bagaimana?

Ataukah pandemi ini terlalu menjenuhkan, membuat mereka jadi bungkam?

Terbiasa sendiri hingga akhirnya memilih berteman sepi?

Oh Tuhan, kembalikan wajah kami pada sekolah

Jangan biarkan muridku menjadi apatis

Ibarat robot yang disetting tersistematis

Ironis!

Itulah isi sepenggal puisi yang saya tuangkan di jurnal saya. Sebuah ungkapan sedih dan pilu melihat potret pembelajaran online yang berubah menjadi ruang kelas yang sepi, tampak seperti kuburan. Meski tak semua, tapi kebanyakan murid cenderung memilih begitu. Itulah yang saya rasakan saat mengajar murid-murid SMA, murid-murid yang notabene masuk dalam masa-masa aktualisasi diri, masa SMA yang paling indah katanya. Tapi lihatlah sekarang, masa-masa SMA mereka terenggut oleh pandemi, berkutat pada layar yang membosankan dan melelahkan. Dunia mereka hanya berkubang pada layar dan tembok kamar. Mereka seolah kehilangan nyawa, “mati suri”, tak bergairah, dan memilih bungkam di balik layar. Entah sibuk atau memilih tak kelihatan karena dengan begitu mereka merasa nyaman.

Uniknya, pengalaman ini sepertinya hanya terjadi pada jenjang SMA. Ketika saya bertanya kepada guru SMA lain, ternyata pengalaman mereka sama juga. Siswa cenderung pasif, meski beberapa kelas dan siswa masih terlihat antusias dan berinisiatif untuk berinteraksi dengan guru dan temannya. Akan tetapi, hal itu berbanding terbalik dengan apa yang saya alami ketika menyaksikan pembelajaran anak saya di di TK dan SD. Ruang kelas yang dioperasikan lewat Zoom terlihat berbeda situasinya. Anak-anaknya sangat aktif, ramai, dan seru. Tidak ada kesan jaim, malu, atau takut. Yang lebih membuat saya trenyuh itu adalah ketika anak saya dan teman-temannya memilih tinggal di Zoom saat jam istirahat hanya untuk bisa mengobrol dengan teman-temannya. Situasi yang betul-betul luar biasa menyentuh hati. Anak-anak kecil ini masih mau menyapa dan berbagi cerita dengan temannya, padahal belum tentu mereka pernah ketemu secara fisik di sekolah. Pengalaman ini sangat berbanding terbalik dengan kelas SMA yang saya ajar. Siswa yang aktif dan interaktif hanya itu-itu saja. Sementara yang lain memilih berlindung di balik layar dan hanya aktif ketika ditanyai dan diminta untuk merespon.

Itulah yang membuat saya iri kepada istri saya. Ia adalah guru SD. Berkali-kali saya harus geleng-geleng kepala menyaksikan muridnya yang aktif belajar di kelas. Mereka tampak antusias dan ingin berlama-lama bersama guru dan teman-temannya. Selalu saja ada cerita-cerita seru dari kisah mereka. Ingin rasanya menjadi guru SD saja. Karena kami sama-sama mengajar dari rumah, situasi kontras ini sangat mengena di hati saya. Rasa penasaran saya tentang sikap anak-anak SMA ini menjadi satu riset yang saya lakukan.

Dari kuesioner yang saya bagikan, hampir semua jawaban mengarah pada satu kesimpulan yaitu mereka cenderung malu terlibat di forum besar ketika seluruh temannya menyaksikan diri mereka di layar, apalagi ketika mereka tampil dan melakukan kesalahan konyol. Itu mungkin yang membuat mereka cenderung lebih suka chat melalui direct message (DM) ke guru, ketimbang chat di forum yang ditujukan kepada semua orang. Kesalahan konyol itu dapat memperburuk imej mereka ke teman sebaya. Agaknya, self-esteem, pride dan aktualisasi diri dalam bentuk penerimaan dan pengakuan itu menjadi salah satu yang memengaruhi cara berpikir mereka untuk cenderung berdiam diri dan berlindung di balik layar.

Riset ini membuat saya tak berhenti sampai di situ. Dengan mengusung metode pembelajaran yang aktif dan kreatif, terbukti mereka memang menyimak dan belajar. Hanya saja, kecenderungan mereka untuk memilih menonaktifkan kamera dan mikrofon agaknya membuat saya kurang nyaman karena berada di Zoom sendirian, melihat diri sendiri, dan akhirnya menderita FOMO (fear of missing out). Siswa saya selalu kooperatif, merespon ketika ditanya, mengikuti instruksi ketika diminta membuka kamera, belajar, dan berdiskusi sesuai porsinya. Namun, rasa penasaran saya untuk membuktikan jawaban kuesioner itu pun akhirnya saya observasikan pada break out room Zoom, di kelompok-kelompok kecil, terutama saat penugasan berdiskusi. Hasilnya memang terbukti berbeda. Mereka sangat nyaman, aktif terlibat di kelompok kecil yang terdiri dari 2-4 orang. Mereka bisa tertawa, sharing, cekikikan, tidak takut, dan tidak jaim. Luar biasa. Di sini, mereka menunjukkan karakter mereka yang sessungguhnya. Agaknya, faktor psikologis untuk tampil di forum besar itu memang benar. Rasa takut untuk ditolak, dinilai, disaksikan banyak orang seringkali membuat mereka tidak percaya diri, khawatir, dan akhirnya memilih untuk diam dan tak tampil.

Hal ini pun secara langsung saya tanyakan kepada mereka di kelompok kecil. Sebagian besar menyampaikan bahwa sejak pandemi dimulai, mereka sama sekali masih belum saling kenal karena hanya sempat bertemu sekitar beberapa bulan sehingga belum akrab. Itu yang membuat mereka enggan untuk aktif di forum besar karena khawatir dinilai pamer, suka cari perhatian, dan lain-lain. Jawaban yang jujur ini membuat pikiran saya terbuka. Ternyata, penilaian saya untuk mengharapkan mereka seperti anak-anak TK dan SD itu tidaklah bisa disamakan. Kondisi psikologis mereka sangat berbeda. Namun, saya berharap agar pandemi ini segera berakhir sehingga mereka bisa bersosialisasi dan mampu merasakan masa-masa SMA yang indah, berpetualang dengan teman sebaya dan guru-gurunya yang seru.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image