Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Suzan Lesmana

Napak Tilas Bulan Madu di Yogyakarta Usai Pandemi

Wisata | Saturday, 25 Sep 2021, 22:45 WIB
Deretan Becaj du Jalan Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Ahad (5/9). Sumber Foto: Wihdan Hidayat / Republika

“Pah, lihat, Pah, ada awan!” seru si bungsu Tsaqib.

“Awannya kok bergerak, Pah?” tanya Tsurayya kakaknya Tsaqib tak mau kalah dari adiknya.

Sementara Abib, abangnya Tsurayya tetap cool dengan headset menempel di kedua telinganya sambil jarinya menutul-nutul tombol layar di depannya. Di sebelahnya tampak ibunya alias istri saya asyik membolak-balik halaman majalah Colours, majalah premium terbitan maskapai Garuda Indonesia—pesawat yang sedang membawa kami sekeluarga ke Yogyakarta.

Ya, Yogyakarta begitu membekas di hati saya dan istri. Dulu, awal Januari 2007—setelah saya dan istri resmi menjadi suami istri—kami memutuskan berbulan madu ke Yogyakarta. Dan akhirnya hari ini saya dan istri berangkat dari Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, melakukan napak tilas bulan madu kami di Yogyakarta bersama ketiga buah hati kami.

***

Sudah lama saya dan istri merencanakan wisata ke Yogyakarta. Hampir dua tahun lamanya pandemi Covid-19 membuah seluruh masyarakat Indonesia menahan diri di rumah, tak dapat bepergian jauh. Itulah makanya begitu dinyatakan pandemi usai oleh pemerintah, saya langsung membeli lima tiket pesawat Garuda Indonesia tujuan Yogyakarta. Lima hari rencana saya habiskan waktu dengan keluarga di Yogyakarta.

Izin cuti kerja selama sepekan sudah saya dapatkan—yang memang sengaja saya sesuaikan waktunya dengan hari libur sekolah anak-anak. Anak-anak begitu bersemangat dan bergembira dapat pergi liburan ke Yogyakarta. Tak hanya itu, pengalaman ini adalah pertama kalinya ketiga anak saya naik pesawat terbang. Tak heran, betapa antusiasnya mereka.

Tak terasa, suara kru pesawat yang menginformasikan sang burung besi Garuda Indonesia akan mendarat di bandara Yogyakarta International Airport (YIA). Saya dan keluarga pun bersiap-siap turun dan mengantri keluar pintu pesawat.

Keluar bandara, saya memutuskan menumpang taxi bandara untuk sampai ke Hotel Inna Garuda yang sudah saya pesan sebelumnya. Saya pikir, lokasi hotel yang berada di Jalan Malioboro akan memudahkan saya dan keluarga menjelajah obyek-obyek wisata kuliner maupun belanja di sepanjang jalan Malioboro.

Berhubung hari masih pagi, saya langsung membawa istri dan anak-anak saya ke Kompleks Keraton Yogyakarta. Berfoto tentu saja saya lakukan sebagai kenang-kenangan bahwa saya dan keluarga sudah sampai di Yogyakarta. Dahulu saya dan istri juga berfoto di depan salah satu kereta istana.

Saat berkeliling kompleks Keraton, saya teringat bahwa di Kelurahan Karadenan, Cibinong di daerah perumahan saya terdapat situs Kerajaan Muara Beres—bagian dari kerajaan Padjadjaran peninggalan Prabu Siliwangi, lengkap dengan makam dan keturunannya yang masih hidup. Di lantai atas masjid makam, ada museum keris dan senjata koleksi kerajaan Muara Beres. Ya, mirip-miriplah. Sungguh Indonesia sangat kaya dengan peninggalan warisan raja-raja terdahulu.

Setelah dari keraton, saya mengajak istri ke Pasar Beringharjo di Jl. Malioboro kembali, mengingatkan saya saat dahulu mencari bahan kain dan baju untuk dipakai dan oleh-oleh khas Yogyakarta. Saya pun menyamakan Pasar Beringharjo Yogyakarta dengan Pasar Anggada di Jl. Mayor Oking Cibinong—yang menjadi pilihan buah tangan bahan baju dan pakaian—satuan atau grosiran.

Sebelum kembali ke hotel, saya mengajak istri ngadem ke Mall Malioboro sekalian mau beli charger HP saya yang ndilalah kok ya ketinggalan tak terbawa. Saya pikir-pikir Mall Maliboro mirip-mirip Cibinong City Mall atau akrab disebut CCM—sebuah mall besar dan megah di Cibinong.

***

Esoknya pagi-pagi selesai sarapan, saya, istri dan anak-anak segera menuju Pantai Parang Tritis. Anak-anak sungguh antusias kalau diajak ke pantai. Saya memutuskan tak bergabung dengan istri dan anak-anak. “Nyusul, sebentar lagi,” janji saya.

Cukuplah saya memperhatikan mereka dari jauh. Entah kenapa saya merasa mengantuk. Bisa jadi semilir angin pantai Parang Tritis mempengaruhi mata saya yang memang gampang tidur ini, hehehe.

Saat menyaksikan anak-anak bermain pasir dan air laut di pantai Parangtritis, tiba-tiba kursi yang saya duduki berderak kakinya. Dalam hitungan detik dan tak sempat saya melompat, kaki kursi pun patah dan membuah tubuh saya yang semakin tambun gara-gara banyak Work From Home (WFH) terduduk di pasir.

Meski tak terlalu keras, posisi jatuh yang tepat di tulang ekor yang bertemu patahan kaki kursi, tak urung membuat saya menjerit spontan. “Aduuh!” teriak saya. Dan mendadak langit di atas saya menjadi gelap.

Keadaan tak berlangsung lama, sejurus kemudian langit terang kembali. Namun ada yang berbeda kali ini. “Kok, jadi langit pantai Parangtritis berubah jadi langit-langit kamar saya,” ucap saya dalam hati.

“Pah, Paaah!” suara khas istri membuat saya setengah tersadar.

“Istighfar, Pah!” imbuh istri saya lagi.

Bagaikan orang yang baru muncul dari kedalaman air laut pantai Selatan, saya mengucap,” Astaghfirullahal ‘azhiim.”

“Dimana ini, Mah?” tanya saya sambil mencoba memahami sekeliling.

“Papa mimpi, ya?” tanya istri saya kembali.

“Yassalaam,” saya pun akhirnya sadar penuh sedang berada di samping tempat tidur. Ya, saya jatuh terguling dari tempat tidur. Ternyata saya mimpi. Mimpi andai pandemi usai ke Yogyakarta. Oalaah.

Namun dalam hati saya memanjatkan doa tulus penuh harap kepada Ilahi agar pandemi benar-benar usai supaya saya dan keluarga dapat ke Yogyakarta—menemukan kembali keramahan khas bak lirik lagu ‘Yogyakarta’ KLA Project yang sukses meromantisasi Yogyakarta dengan suasana tiap sudut menyapa bersahabat. Aamiin.

***

Suzan Lesmana – Pranata Humas BRIN

#LombaMenulisOpini

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image