Sembilan Burung Camar Syekh Yusuf
Sejarah | 2022-05-23 10:09:23Syekh Yusuf yang memiliki nama lengkap Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani, lahir di Gowa, Sulawesi Selatan pada 3 Juli 1626. Pria yang juga dijuluki Syekh Yusuf al-Makassari al Bantani ini dalam karya-karyanya menekankan keilmuan yang beraliran sufisme. Selain sebagai seorang sufi, Syekh Yusuf juga dikenal sebagai pejuang yang bergerak bersama Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika itu terjadi perlawanan bersenjata antara Sultan Ageng dengan Sultan Haji dan Belanda. Syekh Yusuf yang sudah bersahabat lama dengan Sultan Ageng, tentu ia berada di pihak Sultan Ageng. Namun, dalam gencatan senjata tersebut kesultanan Banten akhirnya menyerahkan diri setelah Sultan Ageng tertangkap Belanda.
Syekh Yusuf yang bergeriliya dengan 5.000 pasukannya ke daerah Jawa Barat, akhirnya tertangkap oleh Belanda pada 14 Desember 1683 di Sukapura. Sebelum menangkap Syekh Yusuf, Belanda menangkap Asma, putri Syekh Yusuf terlebih dahulu.
Tidak lama setelah tertangkap, Syekh Yusuf ditahan di Batavia dan Cirebon. Melihat pengaruhnya yang cukup kuat dalam mempropagandakan masyarakat untuk melawan Belanda, akhirnya ia diasingkan di Srilangka pada September 1684. Di Sri Langka ia masih aktif untuk menyebarkan agama Islam dan memiliki ratusan pengikut.
Pengasingan Syekh Yusuf tidak berhenti disitu saja, ia juga diasingkan di Cape Town, Afrika Selatan dan juga meninggal di sana pada 23 Mei 1699, di umur 72 tahun. Di Afrika ia tetap berdakwah dan memiliki banyak pengikut. Mantan Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela, menjadikannya role model dalam melawan apartheid. Ia juga digelari Tuanta Salamaka ri Gowa ("tuan guru penyelamat kita dari Gowa") oleh pendukungnya di kalangan rakyat Sulawesi Selatan. Jenazahnya dibawa ke Gowa atas permintaan Sultan Abdul Jalil (1677-1709) dan dimakamkan kembali di Lakiung, pada April 1705. Kemudian Syekh Yusuf Allahu yarham dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Soeharto dengan SK Presiden : Keppres No. 071/TK/1995, Tgl. 7 Agustus 1995. Pada tahun 2009, Syech Yusuf dianugerahi penghargaan Ordo Sahabat Oliver Thambo yaitu penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan oleh Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki.
Sembilan Camar
Penonton terkesima saat Taufiq Ismail membacakan dua puisinya: “Tanjung di Cape Town” dan “Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf.” Selain khidmat, penonton pun terharu atas puisi yang dibacakan. Itu terjadi pada tanggal 21, 22 dan 24 April 1993 di Universitas Cape Town, di Masjid Zinatul Islam yang terletak di Districk Six sebelum salat Jumat dan pada acara Cultural Evening di Claremont Civic Centre dalam pertemuan dengan masyarakat Melayu Cape Town yang sangat akrab dan ramah-tamah.
Penonton yang memiliki trah dengan bangsa Melayu ini, merasa bahwa Indonesia adalah tanah leluhur mereka, bahwa 15 - 20 pejuang di bawah pimpinan Syekh Yusuf yang dibuang dan terkubur di benua Afrika sejak abad 17 itu adalah pemimpin panutan mereka. Mereka rindu berkunjung ziarah ke Sulawesi Selatan, Banten, Tidore, Madura dll, tempat asal-usul pemimpin dan keluarga mereka dahulu.
Kawasan Cape atau Tanjung menjadi tempat pengasingan pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia antara lain seperti tiga orang tokoh dari Sumatera Barat yang tak dikenal namanya (1667), Syekh Yusuf (1694) kelahiran Goa, berjuang di Banten, Imam Abdullah Ibn Qadi Abdussalam (1780) yang adalah Sultan Tidore atau lebih terkenal dengan nama Tuan Guru, kemudian Tuan Said dari Batavia (asal Yaman), Raja Tambora (Nusa Tenggara). Sultan Ahmad (Ternate), Said Abdurrahman (Madura) dan Daeng Mangenan (Sulawesi Selatan).
Sejak itulah Belanda menjalankan dua proyek kolonialisme sekaligus, yaitu Indonesia dan Afrika Selatan. Keturunan mereka dan juga pekerja-pekerja paksa yang didatangkan Belanda ke Afrika Selatan yang kini bermukim di sana lebih dikenal sebagai Cape Malays, kurang lebih 600.000 orang dari sejuta kaum Muslimin di negara yang berpenduduk 38 juta.
Walaupun terpisah oleh jarak 10.000 km jauhnya dan oleh waktu sudah lebih dari 300 tahun lamanya, terutama sejak zaman apartheid 1948-1991 yang merupakan isolasi nyaris total sehingga seperti saling tak kenal atau lupa pada sejarah, namun mereka tetap merasa sangat dekat dengan Indonesia dan Malaysia yang mereka kenang sebagai negeri leluhur, tanah air asal-usul nenek moyang mereka.
Pada abad ke-17, sejarah mencatat pelbagai perjuangan yang digerakkan tokoh-tokoh Muslim untuk melawan penjajahan Barat di Nusantara. Di antara mereka, terdapat nama Syekh Muhammad Yusuf al-Makassari. Ulama kharismatik ini lahir di Moncong, Loe, Gowa, Sulawesi Selatan, pada 3 Juli 1626.
Makassar saat itu menjadi bagian penting dari Kesultanan Gowa. Islam tidak hanya diakui sebagai agama resmi. Penguasa setempat bahkan ikut menyokong perkembangan dakwah di wilayahnya.
Membaca puisi adalah membaca sejarah. Dua puisi yang ditulis Taufiq Ismail, setidaknya memberikan acuan tambahan bagi sosok Syekh Yusuf, ulama pendakwah Nusantara yang dibuang ke Capetown Afrika Selatan.
Puisi “Tanjung di Capetown” menuangkan larik-larik:
Turunlah Syekh Yusuf di benua selatan
Pengembara ilmu dari Makassar, Imam di Masjidil Haram
Lelaki pemberani yang menjalani pembuangan
Pemikir dalam sunyi yang mengguratkan tulisan
Ditakuti ketika memimpin pertempuran
Di Banten dan hutan belantara Jawa Barat
Ditakuti ketika sudah jadi tulang-belulang
Ya, Syekh Yusuf, apa gerangan gumam zikirmu
Yang sepanjang butir tasbihmu gemerlapan 300 tahun.
Ia telah memberi pujian atas dakwah bergerak di pelbagai negeri.
Lalu, Taufiq Ismailpun menulis puisi berikut.
Sembilan Burung Camar Tuan Yusuf
Cape Town, 26 April 1993
Sekarang bayangkanlah saya memegang terali kubur pertama
Tuan Yusuf,
dan memandang bekas tumpak bumi
yang pernah menating jenazahnya.
Kemudian lihat saya keluar bangunan itu,
pergi ke empat kuburan dengan empat nisan berjajar,
tiada bernama tapi berukir Asmaul Husna.
Di situ empat orang terbujur
mungkin ulama, mungkin komandan pasukan
Tuan Yusuf,
mungkin orang Makasar, Bugis atau Banten.
Kemudian bayangkan sebuah meriam bercat hitam
menunjuk cakrawala langit Afrika.
Ikutilah kini saya surut tiga abad mengingat-ingat
jalan pertempuran ketika Tuan Yusuf jadi komandan.
Dengar angin bertiup di Faure waktu itu
mungkin dari dua samudera yang bersalam-salaman
di tanjung paling ujung
mungkin juga suhu dingin dari Kutub Selatan.
Lihat dedaunan musim rontok pada dedahanan
mengitari teluk bermerahan
yang berbisik-bisik menyanyi ketika warna ganti berganti.
Dapatkah kita membayangkan
Tuan Yusuf
seorang sufi yang cendekia
zikir membalut tubuhnya karangan mengalir
melalui kalam terbuat dari sembilu bambu
dengan dawat berwarna merah dan hitam jadi buku
dalam tiga bahasa
Lantas fantasikan tulang-belulang seorang pemberani
tersusun dalam peti
berlayar lebih 10.000 kilometer lewat dua samudera
suara angin dari barat menampar-nampar tujuh layar
di pesisir Celebes buang jangkar
lalu orang-orang bertangisan menurunkan Tuan Yusuf penuh hormat
ke dalam bumi Lakiung dekat tempat
ibunya Aminah bertumpah darah melahirkannya.
Wahai sukarnya bagiku mereka-reka garis wajahmu
ya Syekh
karena rupa tuan tidak direkam dalam fotografi abad ini
tidak juga dibuatkan lukisan pesanan pemerintah
dalam potret cat akrilik lima warna
namun kubayangkan sajalah kira-kira
wajah seorang sangat jantan, 65, bermata tajam,
bernafas ikhlas berjanggut tipis bersuara dalam bertubuh langsing
berbahasa fasih Makasar Bugis Arab Belanda dan Melayu.
Orang-orang Tanah Rendah itu takut pada Tuan.
Dan sebenarnya di lubuk hati Gubernur
dan manajer-manajer maskapai dagang VOC
yang gemar menyalakan meriam dan mesiu itu
mereka kagum pada Tuan.
Tapi mereka mesti membuang Tuan ke Batavia, Ceylon,
lalu 10.000 kilometer ke benua ini
karena mereka tak mau tergaduh dalam pengumpulan uang emas
disusun rapi dalam peti-peti terbuat dari kayu jati dengan bingkai besi
begitu kubaca catatan mereka.
Apa format dan fisiologi kecendekiaan dan kejantananmu ya Syekh?
Perhatikan kini kabut jadi gulung-gemulung mega,
lepas meluncur cepat dari Gunung Meja
yang memandang dua samudera.
Aku merasakan angin musim gugur bulan April berkata
kau merdeka hari ini karena tiga abad lalu
Syekh Yusuf
telah membabat hutan rotan dan menyibakkan ilalang berduri untukmu.
Aku mendengar zikir mengalir
lewat sembilan burung camar
yang sayapnya seperti berombak menyanyi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.