Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image ACHMAD NUR IMAN

Sertifikat Bank Indonesia Syariah, Adakah Hubungannya dengan Transmisi Moneter?

Bisnis | Sunday, 22 May 2022, 19:01 WIB

Kebijakan Moneter di Indonesia

Kebijakan moneter adalah kewenangan yang dimiliki bank sentral suatu negara dalam mengendalikan jumlah uang yang beredar di masyarakat serta yang digunakan oleh negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Di Indonesia, Bank Indonesia merupakan bank sentral yang mempunyai wewenang untuk mengontrol jumlah uang yang beredar serta mencetak uang. Bank sentral mempunyai kuasa untuk menaikkan suku bunga pinjaman untuk mengurangi peredaran uang ataupun menurunkan suku bunga agar memperbanyak uang yang beredar. Dengan mengelola jumlah uang yang beredar, faktor-faktor ekonomi makro bisa terpengaruh seperti inflasi, tingkat konsumsi, pertumbuhan ekonomi, dan likuiditas secara keseluruhan.

Kebijakan moneter untuk mengatur peredaran uang di masyarakat umumnya terbagi dua. Pertama yakni kebijakan ekspansioner, yakni mengurangi suku bunga, menurunkan rasio pajak, serta menaikkan anggaran belanja pemerintah. Yang kedua yakni kebijakan kontraksioner, yakni menaikkan suku bunga, menaikkan rasio pajak, serta mengurangi belanja negara.

Ketika perekonomian sedang mengalami boom atau maju pesat, jumlah uang yang beredar terlalu banyak dan jika perkembangan ekonomi terlalu pesat bisa menurunkan nilai mata uang secara drastis dan meningkatkan konsumsi, sehingga sumber daya alam yang ada semakin berkurang. Hal ini dapat meningkatkan nilai inflasi. Dalam hal ini pemerintah akan menjalankan kebijakan kontraksioner agar masyarakat banyak yang menginvestasikan uang mereka di bank karena suku bunga meningkat, sehingga bisa mengurangi jumlah peredaran uang di masyarakat. Dampak negatif dari kebijakan ini memang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi sehingga meningkatkan jumlah pengangguran. Namun, kebijakan kontraksioner tetap dianggap perlu untuk mendinginkan perekonomian dan menjaga harga tetap terkendali.

Saat perekonomian sedang lesu, terutama terjadi dikarenakan adanya pandemi COVID-19 seperti sekarang, laju perekonomian melambat akibat turunnya daya beli masyarakat,sehingga banyak perusahaan yang terpaksa mengurangi output produksi mereka. Hal ini bisa menyebabkan perusahaan terpaksa memangkas jumlah pegawai, cabang, ataupun menutup usaha mereka. Pemerintah perlu menerapkan kebijakan ekspansioner dengan meningkatkan anggaran belanja pemerintah untuk digunakan sebagai stimulus bantuan modal bagi para pelaku industri yang potensial. Selain itu, suku buku yang diturunkan bisa menambah jumlah uang yang beredar di masyarakat dikarenakan masyarakat berkurang untuk menginvestasikan uang di bank akibat suku bunga yang rendah.

Jika suatu negara menghadapi pengangguran yang tinggi karena perlambatan atau resesi, otoritas moneter dapat memilih kebijakan ekspansif yang ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperluas kegiatan ekonomi. Peningkatan jumlah uang beredar di pasar bertujuan untuk mendorong investasi dan belanja konsumen. Suku bunga yang lebih rendah menarik pemilik usaha untuk mengajukan pinjaman dengan persyaratan yang menguntungkan.

SBIS sebagai Instrumen Moneter Berbasis Syariah

Selain memodifikasi tingkat bunga, bank sentral dapat membeli atau menjual obligasi pemerintah, mengatur nilai tukar mata uang asing (valas), dan merevisi jumlah uang tunai yang harus disimpan bank sebagai cadangan. Obligasi pemerintah bertujuan untuk menarik dana dari masyarakat dengan imbal hasil untuk digunakan pada proyek-proyek strategis pemerintah, seperti pembangunan infrastruktur, pembiayaan pada UMKM yang potensial, serta turut berinvestasi pada investasi luar negeri. Salah satu bentuk obligasi pemerintah yakni Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS).

Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) merupakan instrumen kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh pihak Bank Indonesia sebagai kebijakan untuk mengatur kelebihan dana likuiditas perbankan syariah. Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) menurut aturan Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 63/DSN-MUI/XII/2007 adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral dengan jangka waktu pendek dengan mengikuti aturan-aturan syariah. Awalnya, SBIS bernama Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dan bergant nama menjadi menjadi Sertifikat Bank Indonesia Syariah sesuai dengan Peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia No 10/11/PBI/2008 tanggal 31 maret 2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah, (BI, 2008). Dalam operasi moneternya, BI melalui penerbitan SBIS mengumumkan target penyerapan likuiditas kepada bank-bank syariah sebagai upaya pengendalian moneter dan menjanjikan imbalan tertentu bagi yang turut berpartisipasi dalam pelaksanaannya.

SBIS diterbitkan oleh BI menggunakan akad akad ju’alah dengan janji atau komitmen (Iltijam) untuk memberikan imbalan tertentu (Iwadh) atas pencapaian hasil (Natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan (Maghfiroh and Widiastuti, 2019). Karakteristik SBIS berupa satuan unit nya sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan berjangka waktu 1-12 bulan. Penerbitan SBIS menggunakan Bank Indonesia Scripless Securities Settlement System yang terhubung secara langsung antara peserta, penyelenggara, dan sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement. Peserta lelang SBIS hanya unit usaha syariah dan bank umum syariah dan dewan Gubernur melalui Deupti Gubernur Bank Indonesia yang memutuskan pemenang lelang.

Ketika kebijakan ekspansioner diberlakukan, lebih banyak peredaran uang di masyarakat agar konsumsi masyarakat semakin meningkat. Terlebih lagi, suku bunga yang diturunkan tidak menarik nasabah, terutama investor untuk menyimpan uang di bank, dan mengalihkan dana mereka pada investasi seperti pada SBIS. SBIS mengacu pada imbalan yang ditetapkan Bank Indonesia atas hasil lelang yang tingkat imbalannya disesuaikan dengan tingkat diskonto pada Sertifikat Bank Indonesia konvensional.

Melalui SBIS, jumlah uang yang beredar akan lebih terkendali, sehingga dapat menekan laju inflasi. Karakteristik lain dari SBIS yakni imbal hasilnya tidak didasarkan pada suku bunga, dikarenakan suku bunga dilarang dalam prinsip ekonomi syariah. Penerbitan lelang melalui SBIS merupakan salah satu alternatif BI untuk mengatur inflasi dan jumlah uang yang beredar di masyarakat. Pasar uang syariah turut berperan penting dalam mengatur regulasi perekonomian Indonesia.

Selain itu, SBIS menjadi sarana bagi pemerintah untuk mengisi kekosongan kas negara, terutama disaat pandemi COVID-19 akibat penganggaran untuk berbagai fasilitas kesehatan dan dana bantuan sosial untuk masyarakat terdampak. Pemerintah bisa mendapatkan banyak dana segar lewat dana yang diinvestasikan pada SBIS. Dengan terisinya kekosongan kas negara, keuangan negara bisa lebih stabil akibat terkurasnya kas lewat kebijakan ekspansioner. SBIS juga menguntungkan pemerintah, dimana pemerintah tidak wajib membayar imbalan berdasarkan rasio suku bunga, namun dengan berdasarkan akad ju’alah yang telah ditentukan oleh pihak bank sentral, dalam hal ini yaitu Bank Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image