Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dianty Rosirda

Harapan Tinggi Pendidikan Pascapandemi

Lomba | Saturday, 25 Sep 2021, 19:33 WIB
Foto: Yasin Habibi/Republika.co.id

Pendidikan merupakan salah satu bidang yang terdampak akibat pandemi virus Corona atau Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Meski kasus COVID-19 di Wuhan diberitakan terus-menerus sejak akhir 2019, tetapi Indonesia tidak siap saat kasus tersebut muncul di tanah air.

Sekolah yang selama ini mengandalkan pembelajaran tatap muka (PTM), dipaksa untuk memulai pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau remote learning. Pada dasarnya, PJJ tidak mewajibkan guru untuk menuntaskan seluruh capaian kurikulum. Apalagi hanya untuk kepentingan kenaikan kelas atau kelulusan. PJJ lebih menekankan untuk melatih kecakapan hidup dan memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa.

Sekolah memiliki keleluasaan untuk menerapkan kurikulum darurat dan melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri. Guru hanya perlu fokus pada kompetensi utama dan kompetensi yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Guru pun tidak memiliki kewajiban untuk memberikan penilaian secara kuantitatif. Penilaian diberikan melalui umpan balik secara kualitatif yang penekanannya pun untuk kepentingan guru.

Namun, proses PJJ yang dimulai sejak Maret 2020, menimbulkan banyak permasalahan. Perubahan yang tiba-tiba menyebabkan sebagian besar institusi pendidikan belum mampu menterjemahkan tujuan PJJ karena terpaku pada proses pembelajaran konvensional. Selain itu, disparitas kondisi pendidikan memperbesar masalah yang ada. Keterbatasan akses internet beserta sarana pendukungnya, orang tua yang kehilangan pekerjaan, serta kurangnya pengawasan dan keterlibatan orang tua dalam proses belajar.

Disparitas seharusnya diatasi menggunakan metode dan strategi pembelajaran yang berbeda. Sekolah dan guru perlu memiliki inovasi dan kreativitas agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik. Pemerintah perlu campur tangan untuk mengatasi berbagai kendala dan masalah yang ada. Memperoleh pendidikan merupakan hak asasi yang seharusnya menjadi prioritas untuk diperhatikan.

Tak hanya di Indonesia, berdasarkan laporan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) yang dilansir dari Republika.co.id tanggal 1 Februari 2021, diketahui bahwa setahun setelah pandemi, lebih dari 450 juta siswa di seluruh dunia tidak dapat mengakses pendidikan dan 800 juta siswa mengalami gangguan sekolah. Peralihan PTM ke PJJ tidak dapat melayani semua siswa secara setara. UNESCO memperkirakan ada sekitar 24 juta anak dan remaja di dunia berisiko putus sekolah.

Saat ini, rakyat Indonesia telah satu setengah tahun terpaksa menjalankan aktivitas dari rumah, termasuk para siswa. Kebutuhan akan kehidupan sosial membuat istilah new normal ramai diperbincangkan. Kasus COVID-19 yang melandai menyebabkan dunia pendidikan pun bersiap menjalankan aktivitas new normal.

Foto: Republika.co.id

Bentuk pembelajaran tatap muka terbatas (PTMT) disambut dengan euforia berbagai pihak, meski menuai pro dan kontra. Masyarakat yang kontra mengkhawatirkan kesehatan dan keselamatan anak-anak. Timbulnya kluster baru penyebaran COVID-19 masih mengancam. Prosedur kesehatan yang kerap abai dilaksanakan serta baru 28% tenaga kependidikan yang divaksin menjadi pertimbangan untuk tetap melanjutkan PJJ.

Sementara itu, pihak yang pro menyatakan bahwa PTMT akan memberikan pemahaman yang lebih baik bagi siswa. Guru tidak hanya dapat menyampaikan materi pelajaran umum, tetapi juga pendidikan karakter (adab). Kekhawatiran timbulnya learning lost dan learning gap akibat ketidaksiapan melaksanakan PJJ dapat dihindari.

Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sutarimah Ampuni, S.Psi., M.Si yang dilansir dari Republika tanggal 11 Juni 2021 menyatakan mendukung dimulainya PTM. Beliau menyampaikan bahwa PJJ mempertaruhkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Kendala ekonomi, tingkat pendidikan, dan tingkat literasi orang tua tidak sama. Selain itu, fasilitas pendidikan dan kondisi geografis Indonesia juga mempersulit pemerataan pendidikan.

Sebelum pandemi, kondisi dan kualitas pendidikan di Indonesia berada pada titik yang mengkhawatirkan. Berdasarkan asesmen yang dilakukan oleh PISA (Program for International Student) tahun 2018, hanya satu dari tiga anak Indonesia yang memiliki kemampuan membaca. Indonesia menduduki peringkat tujuh terbawah dari 80 negara. Tak hanya masalah membaca, sebagian besar anak Indonesia tidak memiliki kemampuan memecahkan masalah matematika dasar. Hal itu terungkap dalam asesmen yang dilakukan TIMSS (Trends in International Mathematics dan Science) tahun 2015. Kekhawatiran munculnya learning lost dan learning gap yang semakin lebar selama pandemi tentu memiliki alasan yang kuat.

Meski peralihan pembelajaran dari PTM menjadi PJJ dan kembali PTM tidak semudah yang dibayangkan, tetapi PTM juga menaruh harapan tinggi akan membaiknya pendidikan pascapandemi. Pola pembelajaran yang berubah-ubah memang dapat menimbulkan kekacauan dalam pengalaman belajar. Oleh karena itu, beberapa pakar pendidikan internasional khawatir learning lost tetap terjadi dalam jangka waktu yang panjang.

Namun, PTMT dapat mengeliminir seluruh hambatan selama PJJ. Kemampuan masyarakat Indonesia untuk beradaptasi serta munculnya berbagai kreativitas di tengah masyarakat memunculkan harapan tersebut.

Para guru yang kerap dituding tidak bekerja, telah menjawab tantangan dengan munculnya media dan proses pembelajaran yang interaktif dan menarik. Keterpaksaan belajar cepat untuk menggunakan berbagai teknologi selama pembelajaran online meningkatkan kualitas para guru tanpa disadari. Hal itu tentu sesuai dengan perkembangan teknologi digital saat ini. Semua pihak belajar cepat mengantisipasi kemajuan global sehingga sesuai era disrupsi 4.0 dan 5.0.

Saatnya pemerintah meningkatkan dan melakukan pemerataan peningkatan fasilitas pendidikan di semua daerah. Saatnya guru meningkatkan kemampuan agar dapat membimbing siswa untuk mampu menganalisis, mengevaluasi, dan memiliki kreativitas yang lebih baik. Bila kemudian dilakukan asesmen kembali, terdapat harapan bahwa kemampuan anak Indonesia meningkat.

Bila dilakukan secara gotong-royong, mengapa tidak.

#Lomba Menulis Opini

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image