Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mochammad Fajar Nur

Menjadi Manusia Pasca-Pandemi

Lomba | Saturday, 25 Sep 2021, 14:52 WIB
Looking for Wings karya Putu Sutawijaya. (Dok. Artnet)

Sudah hampir dua tahun kita berjalin hidup dengan wabah. Pandemi yang mulai dicanangkan berubah menjadi endemi, virus yang mengagetkan manusia secara tiba-tiba. Setelah banyak berjibaku dengan duka, tragedi, dan air mata, manusia mulai menata hati kembali ke masa silam, sebagaimana perkataan Emha Ainun Nadjib yakni “memasuki kembali kepasrahan, keikhlasan, dan rasa aman” menyusun kembali rencana dan pergulatan hidupnya untuk katakan saja, menerima keadaan.

Kita telah melewati momen-momen horror ketika semuanya bingung tak mengerti kenapa tiba-tiba manusia mati bergelimpangan di jalan. Lalu para pakar mengetahui bahwa viruslah penyebabnya, mahluk tak kasat mata telanjang ini akhirnya menghentikan aktivitas, membuat usaha-usaha berhenti berputar, membuat orang menjadi pengangguran, ekonomi runtuh, negara kalang kabut, dan kita terisolasi dalam bilik rumah pribadi. Seakan hidup bergerak cepat sekaligus lambat di masa pandemi. Cepat berubah buruk dan lambat kembali baik.

Setelah itu harapan datang, berbagai metode dan percobaan diusahakan untuk menemukan pola hidup yang baru, kesadaran yang baru. Isolasi, jaga jarak, hingga aturan kerja dari rumah, semua dicoba. Berbagai penelitian digalakan untuk menemukan vaksin terbaik agar penyebaran tak meluas dan daya tahan tubuh meningkat. Hampir semua orang kini sadar akan kebersihan dan kegunaan penting masker, hidup dengan cairan anti-septik, menjaga kesehatan tubuh, dan bahkan pentingnya berjemur di bawah matahari pagi. Ditambah kini masyarakat mulai termobilisasi untuk menerima vaksin, ikhtiar dalam rangka menyongsong apa yang saya katakan sebelumnya, pola hidup baru dan kesadaran baru.

Lalu bagaimana setelah ini? Setelah usaha-usaha mulai menjumpai hasil baik dan harapan mulai terbit, “apakah kita bisa berjalan dengan enteng?”, sebuah pertanyaan yang muncul dalam tulisan Arundhati Roy soal pandemi ini. Penulis pemenang "Man Booker Prize" ini juga menambahkan seruan penting lainnya yaitu, “bersiap untuk membayangkan dunia yang lain. Dan siap berjuang untuk mewujudkannya.” Lantas apa yang kita, manusia perlu lakukan?

Kita sudah sepakat memasuki kehidupan yang serba baru, kesadaran yang baru, yang akhirnya saat ini kita terapkan sebagai pola hidup di masa pandemi. Namun perlu ditanyakan apakah semua itu hanya berhenti pada pembaharuan pola aktivitas, kegiatan, dan kesadaran hidup sehat saja? Perlukah ada yang harus diperbaharui juga dalam laku lain yang mungkin, lebih substil atau esensial dalam diri manusia sendiri?

Layaknya perlu ditanyakan apakah manusia pra-pandemi dan pasca-pandemi masih sama saja dalam hubungannya dengan alam, manusia lain, bahkan Tuhan. Jika tak ada perubahan signifikan yang mengarah ke arah positif, agaknya kita mesti khawatir. Leo Tolstoy mengatakan, “merasa bersalah adalah salah satu tanda keimanan.” Tentu saja kita perlu berbenah dalam menjalani kehidupan baru agar tak menjadi manusia bebal yang, masih dari Tolstoy, “membanggakan kebodohannya.”

Andai saja kita mau mengganggap pandemi sebagai tanda dari Tuhan agar manusia mengambil jeda dan kontemplasi pada kehidupannya, mungkin seharusnya terjadi banyak perubahan pada diri kita saat ini. Perubahan yang bukan sekadar pembaharuan pola hidup sehat dan aktivitas saja, namun perubahan dalam memaknai kehidupan baru. Perubahan esensial, berasal dari individu yang menyadari pesan Tuhan dan mau menengok ke dalam dirinya sendiri. Menjadi manusia pasca-pandemi.

Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra

Manusia pasca-pandemi mestinya sadar bahwa dirinya dhaif dan penuh celah. Ia yang dahulu merasa berkuasa atas segala jalan cerita kehidupan, menyangka esok hari pasti adalah hari kemenangannya di mana ia meraup untung sebanyak-banyaknya, menggusur sebanyak-banyaknya, dan menipu sebanyak-banyaknya, kini harus bertekuk lutut pada keadaan yang membuat dirinya sulit bernafas, terkulai lemas, dan terisolasi. Seketika kita menjalani hidup yang berubah absurd meminjam istilah Albert Camus, yakni “ketika manusia menjadi lemah dan tumbang dengan kenyataan hidup dan tidak berani menantangnya, tidak berani berontak, dan mengharap suatu yang instan.”

Manusia pasca-pandemi mestinya sadar bahwa dirinya tak mampu hidup sendiri dan butuh cinta antar sesama. Ia yang dahulu egois, mementingkan perut sendiri, meremehkan dan menyingkirkan manusia lain, serta merasa berkuasa atas manusia-manusia lemah, kini harus menerima bahwa pandemi adalah cara Tuhan mengajarkan kita tentang kemanusiaan. Cinta kini hadir diantara tetangga yang tadinya saling diam tak menyapa, persis ketika Kierkegaard menerjemahkan cinta antar manusia sebagai “duty that frees one from selfishness”. Seberapapun ponggah dan gagahnya kita sebagai individu, kita tetap butuh orang lain dalam merawat hidup, menyembuhkan sakit, memberi obat, memberi harapan, dan menguatkan kita menjalani hidup. Kini kita mengerti, bahwa cinta antar manusia adalah kekuatan dalam badai kesulitan.

Manusia pasca-pandemi mestinya sadar bahwa alam adalah sesuatu yang perlu dijaga dan dimanfaatkan dengan baik, bukan dieksploitasi dan dimiliki sepihak. Ia yang dahulu banyak menebang hutan secara liar, menggusur lahan, mencemari air sungai, membunuh satwa liar, dan rajin membuat lubang di perut bumi, mestinya sadar bahwa virus ini adalah efek dari keserakahan manusia dalam menguasai alam. Sebagaimana tulisan M. Ridha Saleh dalam artikelnya “EKOSIDA dan Pandemic Covid-19” yang terbit di WALHI, bahwa “penyakit-penyakit baru diciptakan karena suatu model dominasi produksi pangan dan pertanian yang diglobalisasi, industri menjadi alat untuk menyerang habitat ekologis” apa yang kemudian ia sebut Ekosida. Kita merasa gagah menggenggam alam dan berkuasa atasnya, padahal tugas kita adalah menjaga dan memanfaatkannya dengan bijak. Kini harusnya kita sadar bahwa alam menyimpan banyak hubungan dengan kehidupan, dan siapapun yang tak menghargai alam maka tak mampu menghargai kehidupan.

Terakhir, manusia pasca-pandemi adalah orang-orang yang memperbaharui hubungannya dengan Tuhan. Lebih intim, lebih berharga, lebih hormat, dan lebih cinta. Tuhan yang sebelumnya hanya di tempatkan pada rumah ibadah dan hitungan amal, Tuhan yang sebelumnya hanya menjadi jargon politik dan kepentingan, Tuhan yang sebelumnya hanya disebutkan dengan nada olok-olok serta amarah, Tuhan yang sebelumnya dijadikan legitimasi untuk penindasan, Tuhan yang sebelumnya kita punggungi dan pinggirkan. Harusnya sekarang adalah waktunya kita mengalami suatu fase keinsafan yang mendalam.

Maka untuk menjadi manusia paca-pandemi adalah menjadi manusia baru yang lebih dalam memaknai alam, manusia, dan Tuhan. Sebab hidup begitu berharga hingga kita mampu bertahan sampai saat ini, ketika semua ombak kesedihan kita lalui apakah pengalaman hanya menjadikan kita “keledai pembawa buku?”

Tentu saja kita tak ingin menjadi setan yang dalam salah satu esai Goenawan Mohamad di “Catatan Pingggir”-nya mengatakan ”Ah, dunia memang tak akan bisa diperbaiki lagi”, menimbulkan keputusasaan pada kehidupan. Tentu tidak, manusia selalu punya do’a dan harapan untuk dirawat. Pengalaman adalah guru dan pengingat yang baik. Kita mesti sadar sebagai manusia yang menyongsong kehidupan baru pasca-pandemi agar belajar dari apa-apa yang telah kita lewati. Perubahan yang kita mulai dari dalam diri sendiri, yang coba kita manifestasikan ke luar sebagai laku hidup bersama. Sederhana sebetulnya menyongsong hidup setelah pandemi ini, yang semoga saja, cepat berakhir. Andai pandemi pergi, jadilah manusia pasca-pandemi. Bagaimana mewujudkannya?

Sekali lagi sederhana. Menjadi manusia baru yang banyak belajar dari pengalaman hidup agar jadi lebih baik, manusia yang membawa lilin harapan bagi kehidupan, manusia yang menghargai setiap apa-apa yang Tuhan telah sediakan. Manusia yang menebarkan dan menerima cinta kebersamaan.

Semua itu sederhana, namun bukankah terkadang apa-apa yang sederhana sering kita sepelekan?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image