Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Noven Kusainun

Andai Pandemi Pergi, Semangat Mereka Bertambah Lagi

Lomba | Friday, 24 Sep 2021, 23:29 WIB

Beberapa istilah seperti pandemi, corona, covid, vaksin, antigen, sepertinya tidak asing lagi terdengar di kehidupan sehari-hari masyarakat saat ini. Sejak awal tahun 2020 Indonesia dihadapkan pada pandemi Covid-19 yang berdampak pada semua aspek kehidupan. Mulai dari pendidikan, ibadah/keagamaan, ekonomi, pariwisata, sosial, kesehatan, dan lainnya. Kapan pandemi akan berakhir? Pertanyaan itulah yang mungkin terlintas di benak semua orang.

Meskipun pandemi menghampiri, hidup harus terus dijalani. Begitu kiranya kalimat yang dapat diungkapkan untuk menggambarkan ketangguhan para pejuang nafkah khususnya yang harus bekerja di luar rumah. Mereka dihadapkan pada dilema ketakutan akan terpapar virus atau bayang-bayang keluarga kelaparan karena tidak ada uang makan. Alasan bertahan hidup nyatanya menjadi pembangkit semangat untuk tidak mengeluh tetapi berusaha dengan teguh.

Salah satu contohnya adalah potret para pedagang di Pasar Gumawang, yang terletak di Belitang, OKU Timur, Sumatera Selatan. Bermacam-macam pedagang tetap semangat menjajakan dagangannya meski di tengah-tengah pandemi. Ada pedagang sayur, sembako, alat tulis, pakaian, makanan siap saji, alat-alat pertanian, dan lain-lain sebagaimana pasar pada umumnya.

Berikut ini jawaban Bu Iyah, salah satu pedagang beras dan kelapa di Pasar Gumawang saat ditanya apakah tidak takut berjualan di pasar saat pandemi? “takut ya takut tapi kalau gara-gara takut terus berhenti jualan ya mau dapat uang dari mana, nanti tidak bisa bantu-bantu keluarga, sebisa mungkin ya jaga kesehatan dan pakai masker” (15 September 2021). Jadi, semangat untuk membantu mencari nafkah mengalahkan rasa takut terhadap pandemi. Begitu pula pedagang-pedagang lainnya, tetap melanjutkan ritual tawar menawarnya dengan pembeli setiap hari. Mereka tidak mau kalah dengan kejamnya kondisi pandemi. Hasil yang didapat oleh pedagang saat pandemi tentu saja berbeda dengan hari-hari biasanya. Tantangan yang paling banyak dihadapi adalah pembeli berkurang karena banyak masyarakat yang takut pergi ke pasar selama pandemi. Seperti yang diceritakan oleh Bu Iyah, sebelum pandemi kelapa yang terjual bisa mencapai 100-200 butir per hari bahkan lebih. Sejak pandemi penghasilan menurun karena dalam sehari kurang dari 50 butir kelapa yang bisa terjual. Menurut Bu Iyah, selain karena takut terpapar virus juga banyak pembeli yang penghasilannya menurun sehingga hanya sedikit yang berbelanja. Belum lagi saat diberlakukannya larangan mengadakan acara besar seperti hajatan atau resepsi pernikahan. Hal tersebut sangat mempengaruhi penjualan kelapa karena biasanya permintaan terbesar adalah dari orang-orang yang akan mengadakan hajatan. Kemudian warung-warung makanan yang sudah menjadi pelanggan juga meredup sehingga permintaan beras dan kelapa juga menurun.

Cerita dari Bu Iyah hanya sebagian kecil dari banyaknya pejuang-pejuang nafkah yang menggantungkan penghasilannya di Pasar Gumawang. Sungguh menjadi cerminan bahwa pandemi Covid-19 membawa dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakat. Tidak semua pedagang mampu dan mengerti untuk beralih berjualan secara online. Ya, tidak semudah itu. Memang telah banyak wacana tentang adaptasi dan pemanfaatan teknologi, namun tidak semua kalangan punya kesempatan yang sama apalagi di situasi sulit saat ini. Tidak semua orang dapat bekerja dari rumah (work from home). Tidak semua keluarga memiliki fasilitas yang memadai untuk mengakses internet.

Andai pandemi pergi, semangat mereka bertambah lagi. Bu Iyah yang tekun dengan dagangan beras dan kelapanya. Para kuli panggul yang semakin semangat memikul beras dan tepung. Tukang becak yang tetap semangat mengayuh mengantar penumpang dan barang. Penjaga toko yang tetap tersenyum ramah di balik maskernya. Penjual gorengan yang selalu bersemangat meski berhadapan dengan panas matahari sekaligus panasnya minyak. Suara nyaring pintu-pintu ruko setiap pagi dan menjelang senja. Semua hiruk pikuk itu adalah contoh bertahan untuk kehidupan. Entah itu sebatas di Pasar Gumawang atau pasar-pasar lain di seluruh nusantara.

Lalu apa yang seharusnya dilakukan? Lakukan hal-hal kecil yang dapat membantu mereka. Tidak perlu gengsi membeli dagangan tetangga meskipun sedikit. Tidak perlu menganggap rendah mereka yang tidak bisa work from home dan harus ke pasar atau bekerja di pinggir jalan. Kita semua sedang sama-sama berjuang sudah semestinya saling menguatkan. Jika sebagai pemimpin dan pembuat kebijakan, berlaku adil dan berpihaklah pada rakyat. Sebagai rakyat, maka taatilah peraturan (dalam hal ini protokol kesehatan). Sebagai manusia, tetaplah semangat dan optimis bahwa hidup akan berjalan sebagaimana apa yang diusahakan dan didoakan.

Selayang pandang Pasar Gumawang:

https://www.instagram.com/reel/CTJCHBYB_o2/?utm_medium=copy_link

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image