Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image sri rachmawati

Terlibatnya Kembali Wakil Rakyat Dalam Kasus Korupsi

Politik | Friday, 24 Sep 2021, 17:11 WIB

Terlibatnya Kembali Wakil Rakyat Dalam Kasus Korupsi

Oleh : Sri Rachmawati, S.P.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikabarkan telah menetapkan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin sebagai tersangka. Sebelumnya, Azis sempat diduga menyuap penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju terkait proses penyelidikan kasus korupsi di Lampung Tengah. Kasus ini diduga menyeret nama politisi Partai Golkar tersebut.

Kasus ini, menambah deretan panjang banyaknya anggota dewan yang terlibat kasus korupsi. Dalam catatan ICW, sepenjang tahun 2010-2019 saja sedikitnya ada 586 anggota DPR dan anggota DPRD ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Masih menurut ICW, sepanjang 2020 terdapat penindakan 444 kasus korupsi serta kerugian negara mencapai Rp 18,6 triliun dengan jumlah tersangka sebanyak 875 orang.

Mengapa kasus korupsi di negeri ini tak kunjung selesai? Apa faktor penyebab yang mendorong mereka melakukan perbuatan yang merugikan negara dan juga rakyat? Apakah gajinya sangat kurang, sehingga kesejahteraan mereka dianggap kurang?

Seperti diketahui gaji pokok anggota DPR yang merangkap ketua sebesar Rp 5.040.000 dan Rp 4.620.000 yang merangkap wakil ketua. Sementara anggota DPR biasa Rp 4.200.000. Sekilas gajinya kecil, padahal belum ditambah dengan beberapa tunjangan, uang tambahan, biaya perjalanan dinas per hari, dan fasilitas kredit mobil sebesar Rp 70 juta per periode. Untuk anggota DPR biasa saja tunjangan jabatan bisa mencapai 200% lebih dari gaji pokok, tunjangan kehormatan 100% lebih, dan tunjangan komunikasi 300%. Sedang untuk yang merangkap ketua dan wakilnya nilainya lebih dari itu.

Mungkinkah perilaku para wakil rakyat yang gemar melakukan tindak korupsi disebabkan karena mahalnya mahar politik yang harus mereka keluarkan? Sehingga saat mereka meraih kursi kekuasaan berupaya keras mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan dengan berbagai cara temasuk korupsi.

Mengutip pernyataan dari salah seorang yang gagal nyaleg pada Pemilu 2019, yaitu Rahma Sarita di kanal You tube milik Refli Harun (05/06/2021), bahwa salah satu faktor kekalahannya adalah terlalu sedikitnya dana yang dikeluarkan (hanya ratusan juta, tidak sampai bernilai “M” alias milyaran). Sehingga ia tidak menafikan bahwa demokrasi sekarang ialah demokrasi terpadu (terpaksa pakai duit).

Fenomena mahalnya mahar ini kiranya menjadi sebab perlunya untuk melakukan tinjau ulang terhadap sistem pemilu yang boros dan cenderung mendorong wakil rakyat pasca terpilih melakukan praktek korupsi. Bahkan menurut Wakil Ketua DPD Sultan Najamudin, Pemilu Langsung sudah seperti industri dalam demokrasi kita.

Tentunya permasalahan korupsi ini tidak bisa dibiarkan. Di tengah lilitan hutang luar negeri yang kian membengkak, para pejabat masih sempat-sempatnya melakukan korupsi. Bahkan di tengah pandemi ini, (KPK) menyoroti hasil laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang mencatat sebanyak 70 persen penyelenggara negara memiliki harta yang kian berlimpah. Berbanding terbalik dengan kondisi rakyat makin melarat.

Selain bentuk Pemilu, hukuman bagi pelaku tindak korupsi juga perlu ditinjau ulang. Bisa jadi sanksi hukum yang ada tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Ketidakjeraan inilah yang mungkin mendorong pihak lain melakukan tindak perbuatan yang sama.

Apalagi jelang Pemilu 2024, semua partai politik sudah bersiap dan merencanakan dengan siapa mereka berkoalisi ataupun beroposisi. Termasuk dengan calon wakil rakyat yang akan maju ke Pemilu. Sehingga apabila negeri ini ingin melakukan perubahan, harus segera mungkin melakukan perubahan terkait dengan bentuk Pemilu.

Model pemilihan langsung untuk Pilkada mau pun Pilpres sangat menguras kas negara. Bahkan di saat pandemi Covid-19 yang belum berakhir, tersiar kabar KPU mengusulkan anggaran untuk Pemilu 2024 sebesar Rp 86 triliun. Miris rasanya anggaran Pemilu yang fantastis di tengah kondisi masyarakat yang sedang terhimpit berbagai masalah. Sayangnya, hal ini sangat berbanding terbalik dengan kinerja pemerintahan yang dihasilkan, yakni nihil keberhasilan mengentaskan problem rakyat apalagi mewujudkan rahmatan lil alamiin (baca : mewujudkan kesejahteraan bagi semua rakyat tanpa kecuali).

Rakyat hanya berharap, bahwa siapa pun yang menjadi wakilnya, betul-betul memperjuangkan nasib rakyat. Jangan sampai kerja wakil rakyat hanya memuaskan segelintir orang (yang berada di lingkaran oligarki kekuasaan) dan mengabaikan kepentingan mayoritas rakyat.

Jangan jadikan rakyat “Habis Manis Sepah Dibuang.” Di dekati hanya saat jelang pemilu. Setelah berhasil mendulang suara rakyat, wakil rakyat dengan tega mengkhianati rakyat. Tindak korupsi adalah salah satu pengkhianatan terbesar.

Renungkan bahwa amanah yang ada di pundak selain dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat, kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image